Beranda Fajlurrahman Jurdi Rumah Demokrasi Yang Kian Retak

Rumah Demokrasi Yang Kian Retak

0
Fajlurrahman Jurdi (tengah)

Oleh : Fajlurrahman Jurdi*

Reformasi berjalan bukan tanpa interupsi. Kekuasaan orde baru tumbang, bukan berarti tak ada lagi partikel-pertikel masa lalu itu berjalan mengikuti gemuruh massa manusia yang meneriakan perubahan. Orde baru pergi secara fisik, tetapi mentalitas dan sifat rakus nya tak pernah berhenti. Kutukan antara apakah kita menuju Negara demokrasi yang menjanjikan kebaikan, kesejahteraan dan kebebasan, atau melesak mundur ke belakang adalah diskursus yang tak henti diperdebatkan di setiap ingatan kita digulung kembali mengenai totalitarianisme yang berakhir 20 tahun silam.

Demokrasi tumbuh bersama sejarah. Demokrasi tak bisa dibuat hanya sekedar gegap gempita dan merayakannya secara rutin seperti Pemilu. Demokrasi tidak melulu soal perebutan kekuasaan melalui lembaga formal, dan berakhir dengan cara-cara buruk seperti di masa silam.

Mengelola demokrasi sama dengan merawat tubuh manusia. Demokrasi bisa sakit, tetapi juga bisa sehat, tergantung bagaimana cara kita merawatnya. Kekuasaan selalu punya alasan untuk terus mengatakan dirinya sebagai pendukung setia seluruh proses demokrasi, namun rakyat bisa menolak klaim itu dengan “perasaan” yang mereka terima dalam kehidupannya sehari-hari. Perilaku kekuasaan adalah alasan yang paling otoritatif untuk menolaknya. Jika kekuasaan tumbuh dengan “kekerasan”, rakyat bisa bilang, bahwa mereka kehilangan kendali dan anti demokrasi. Tetapi dalih kekuasaan selalu mengajukan alasan-alasan klise untuk mempertautkan antara “tindakan” dan “klaim”.

Jika aparat memukul atau membunuh masyarakat sipil tanpa prosedur, mereka beralasan “demi keamanan” dan “kebaikan bersama”. Tindakan “memukul atau membunuh” dan alasan “demi keamanan atau demi kebaikan” adalah kontradiksi-kontradiksi yang diidap oleh kekuasaan dalam mencari alasan atas tindakannya. Jelas semuanya bermuara pada satu soal, menjaga dan merawat kekuasaan agar terus bertahan.

Tetapi perlu di ingat, klaim-klaim sepihak dari kekuasaan itu bisa berakibat fatal jika berlarut-larut. “Menginjak” manusia terlalu lama, bisa menyebabkan arus balik dan perlawanan yang berbahaya. Gerombolan Semut saja kalau diinjak dia akan menggigit, apalagi rakyat, ia sekumpulan orang/manusia. Maka kekerasan, penangkapan atau pesan-pesan yang menakutkan bagi rakyat tanpa alasan dan argumentasi yang rasional, bisa menyebabkan titik balik yang tidak saja bisa merobohkan tiang kekuasaan, tetapi juga bisa menghancurkan sekaligus “istana” penguasa.

Kini, sudah 20 tahun berlalu, “istana” penguasa yang suka menginjak dan melakukan kekerasan terhadap manusia itu pergi. Ia pergi dengan meninggalkan bayang-bayang yang tak pernah sirna hingga kini. Bayang-bayang itu bisa jadi nyata pada suatu waktu, namun tak tertutup kemungkinan akan sirna abadi dan tak akan kembali lagi bila datang takdir yang akan menghapusnya.

Si penguasa kini, yang sedang mengendalikan istana, kelihatannya bisa menghidupkan kembali bayang-bayang kekerasan dan despotisme. Dalam waktu yang tidak lama, bila karakter yang kini dipertontonkan terus-menerus dipupuk, ia akan tumbuh rindang sebagai mesin kekuasaan yang membahayakan demokrasi.

Penangkapan, “pengasingan” atau dalam bahasa hukum adalah penetapan tersangka kepada mereka yang berbeda pandangan politik, berbeda pikiran, dan yang berbeda ideologi dengan si penguasa, memperlihatkan makin menguatnya bayang-bayang kekuasaan yang berwajah totaliter itu tumbuh kembali. Ia memang tumbuh dengan akar despotisme, lalu menjadi pohon otoritarianisme dan berubah wujud menjadi totaliter. Pada titik pertama, demokrasi masih bisa diubah kembali, namun pada tahap selanjutnya, jejak-jejak demokrasi akan ditiadakan. Kekuasaan akan menjadi monster bagi yang dikuasai.

Kini rumah demokrasi kita sedang retak dihampir semua sudut. Pada suatu waktu akan runtuh jika tidak segera diperbaiki. Cara memperbaikinya bisa dengan mengubah banyak hal, salah satunya mengganti aktor. Aktor di dalam tubuh demokrasi harus diperbaharui jika tidak mau berubah. Tak lama lagi..tak lama lagi..kita akan kembali ke zaman, dimana kebebasan akan menjadi perkakas yang paling mahal. Kita berdoa, semoga semuanya berhenti sampai disini dan tidak menjadi wabah yang berkelanjutan.

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT