Beranda HISTORIA Filosofi Nene Mallomo Dalam Lagu Navicula

Filosofi Nene Mallomo Dalam Lagu Navicula

0

Oleh : A.Achmad Fauzi Rafsanjani*

Malam itu Benteng Fort Rotterdam Makassar begitu dipadati oleh pengunjung. Mereka yang datang adalah pelajar, mahasiswa hingga tokoh-tokoh masyarakat. Di tengah-tengah halaman berdiri panggung yang diperuntukkan bagi komunitas-komunitas yang ingin menampilkan karyanya. Terlihat dua layar mengapit kedua sisi panggung. Di sana terlihat video seseorang yang sedang menyampaikan testmoninya. Orang itu adalah Bambang Widjayanto (wakil ketua KPK) yang saat itu sedang ditahan karena terlibat kisruh dengan POLRI. Kami yang berkumpul malam itu adalah peserta festival anti korupsi yang mana kegiatan ini merupakan manifestasi dukungan moril terhadap KPK dalam memberantas tikus-tikus kantor.

Tidak lama kemudian, satu orang perempuan dan satu orang pria muncul dari belakang panggung dan berteriak menyapa penonton. Yah, anda benar. Mereka adalah host acara ini.

“Selamat malam kawan-kawan, selanjutnya kita akan menyaksikan persembahan dari…
Mafia hukum, hukum saja
Karena hukum tak mengenal siapa”

Terlihat host mengajak penonton untuk menyanyikan reff salah satu lagu yang masih asing bagi telinga saya. Namun, orang-orang yang hadir sepertinya sudah tidak asing dengan lirik ini. Terlihat wajah senyum di samping kiri dan kanan saya yang berujung pada teriakan tatkala sang vokalis muncul dari belakang panggung.
***

Mafia hukum
Hukum saja
Karena hukum tak mengenal siapa (2x)

Korupsi korupsi kata ini lagi
Selalu menghantui negeri yang frustasi
Korupsi korupsi semakin menjadi
Apapun terjadi di atas transaksi
Tertangkap bercinta dihukum penjara
Korupsi berjuta masih berkuasa
Prinsip imparsial tak berlaku lagi
Siapa punya modal takkan masuk bui

Mafia hukum
Hukum saja
Karena hukum tak mengenal siapa (2x)

Mau lawan mereka, hati-hati saja
Karena mereka dijaga buaya
Buaya-buaya piaraan mafia
Mafia-mafia isinya pengusaha
Pengusaha-pengusaha kongsi dengan penguasa
Walau sudah kaya masih kurang juga
Hukum direkayasa hanya buat yang kaya
Yang jadi korbannya rakyat jelata

Mafia hukum
Hukum saja
Karena hukum tak mengenal siapa (6x)

Meski baru pertama kali mendengarkan lagu ini, namun ketajaman liriknya berhasil menembus bawah sadar saya yang pada saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa baru.
***

Sedikit Tentang Navicula dan Mafia Hukum

Dengan komposisi personel Roby (vokal gitar), Dankie (gitar), Made (Bass), Gembull (drum), Navicula memulai debutnya di tahun 1996. Band asal Bali ini dibentuk oleh dua orang aktivis yaitu Roby dan Dankie. Band ini di awal pembentukannya telah melakukan beberapa kali pergantian personel hingga komposisi terakhirnya seperti yang telah saya sebutkan di atas.

Band ini mengusung genre rock alternative yang banyak dipengaruhi band-band di era 90-an seperti Sound Garden, Pearl Jam, dan Alice Inchairs. Sub genre rock dengan gaya underground seperti indie, santai dengan lantunan beat drummer yang jelas menjadikan setiap lagu Navicula nikmat untuk dikonsumsi. Pesan -pesan moral, sosial dan lingkungan di setiap lirik lagunya menjadikan band ini dijuluki “the Green Grunge Gentleman”.

Lagu dengan judul “Mafia Hukum” adalah salah satu single dalam album ke-tujuh Navicula yang bertajuk “Love Bomb”. Lagu ini adalah hasil kolaborasi antara Navicula dengan Indonesia Corruption Watch (ICW). Lagu ini dirilis pada tahun 2013, tahun dimana begitu banyak oknum pejabat yang terjaring operasi KPK mulai dari aparat pemerintahan, anggota parlemen hingga penegak hukum itu sendiri. Jika melihat konteks waktu rilisnya, lagu ini sangat pas dengan kondisi hukum di Indonesia pada saat itu.

Sebagaimana berita yang dirilis oleh Kompas, jumlah kasus yang ditangani KPK di tahun 2013 adalah sebanyak 70 kasus. Angka ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 49 kasus. 70 kasus ini jika dijabarkan terdiri dari 51 kasus suap, 9 kasus pengadaan barang dan jasa, 3 kasus perizinan dan 7 kasus penucian uang.
Kasus-kasus korupsi ditahun ini menyeret nama-nama besar seperti ketua Mahkmah Konstitusi (MK) Akil Mokhtar yang terlibat kasus suap sengketa pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Lebak, Banten. Dalam profesi kehakiman, KPK berhasil menetapkan dua hakim sebagai tersangka yaitu adhoc pengadilan tipikor palu dan hakim pengadilan tipikor yang terlibat suap kasus penanganan perkara korupsi pemeliharaan mobil dinas di DPRD Grobongan, Jawa Tengah. Pada profesi jaksa, KPK berhasil menangkap tangan kepala Kejaksaan Negeri Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat yang terlibat perkara pemalsuan sertifikat tanah seluas 2.270 meter persegi di kawasan wisata Selong Blanak, Lombok Tengah. Dan masih banyak lagi kasus yang menyeret sejumlah nama dalam bidang profesi advokat dan penyidik pajak.

Lirik lagu Mafia Hukum secara gamblang menjelaskan kepada kita bahwa korupsi adalah sesuatu yang hampir menjadi kebudayaan di negeri ini. Apapun ditransaksikan demi meraup keuntungan, sementara di lain sisi kondisi kerakyatan masih jauh dari kerakyatan. Lagu ini juga berusaha menjelaskan kepada pendengarnya bahwa kondisi hukum ini begitu tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Berbagai produk hukum tidak ditujukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk para kaum kapitalis dan melindungi penguasa. Hal ini bisa dilihat ketika adanya isu bahwa sanksi yang tepat bagi koruptor adalah dimiskinkan. Sontak, wacana ini langsung menuai kontroversi di kalangan pejabat.

Anak-anak muda yang terlibat cinta terlarang begitu mudahnya diringkus dan dijatuhi sanksi moral yang berat berupa pelekatan predikat pezinah oleh masyarakat. Sementara tikus-tikus kantor meski telah ditetapkan sebagai tersangka, mereka masih bebas melenggang sana-sini termasuk memimpin rapat paripurna DPR.
***

Filosofi Nene Mallomo di Dalam Lagu

Jika Yunani memiliki filsuf sekelas Socrates, Plato hingga Aristoteles, maka peradaban bugis juga memiliki filsuf terkemuka di masanya. Salah satunya adalah filsuf asal Sidenreng yang tak lain adalah Nene Mallomo. Beliau hidup di abad ke-16 pada masa Addatuang Sidenreng, La Patiroi. Salah satu referensi menyebutkan bahwa Nene Mallomo memiliki nama asli La Pagala. Nene Mallomo adalah gelar yang disematkan kepadanya karena beliau mampu atau mudah dalam menyelesaikan permasalahan. Beliau dikenal sebagai kaum intelektual yang ahli dalam hukum dan pemerintahan.

Nene Mallomo terkenal dengan salah satu hasil buah pemikirannya tentang azas “Temmappasilaingeng” yang berarti tidak membeda-bedakan. Azas ini kemudian beliau turunkan ke dalam konsep “Ade’ Temmakkiana’, Temmakkieppo” yang artinya hukum tidak mengenal darah baik itu anak maupun cucu.

Pernah suatu ketika rakyat Sidenreng mengalami keresahan dikarenakan hewan ternak pada mati, padi yang ditanam juga mengalami kerusakan. Nene Mallomo yang melihat situasi ini berkesimpulan bahwa kejadian ini adalah akibat dari suatu sebab yang tidak disukai oleh Tuhan, sehingga Tuhan memberikan tegurannya.
Nene Mallomo kemudian memerintahkan untuk diadakan penyelidikan terkait dengan kejadian ini. Ternyata, pernah suatu waktu anak dari Nene Mallomo mengalami ketika membajak sawahnya, sehingga tanpa pikir panjang sang anak langsung mengambil kayu yang telah dipotong untuk digunakannya. Sederhananya, anak Nene Mallomo menggunakan sesuatu yang bukan haknya untuk membajak sawahnya.

Nene Mallomo yang mengetahui kejadian ini mengambil keputusan bahwa hukuman yang pantas untuk anaknya adalah hukum mati sebagaimana adat yang berlaku. Tokoh masyarakat yang mengetahui itu menganggap bahwa hukum yang dijatuhkan Nene Mallomo terlalu berlebihan. Namun Nene Mallomo menanggapi dengan mengatakan “makko gatu pale taro bicarae temmakki ana’  temmakki ambo ada pura onroe” artinya apakah demikian hukum kita, tidak melihat anak atau bapak ?
***

Spirit yang dibawa oleh Navicula dalam lagunya adalah spirit penegakan hukum. Bahwa pelanggaran hukum bisa terjadi dimana saja termasuk kepada orang yang mengerti hukum dan aturan. Maka dari itu, hukum harus ditegakkan karena sebagaimana yang tertuang di dalam Undang-Undang bahwa setiap warga negara mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum. Dalam konteks pemikiran Nene Mallomo, inilah yang dikenal dengan “Ade’ Temmakkiana’ Temmakkieppo”. Bahwa hukum tidak mengenal pertalian darah dan kekerabatan, siapapun yang bersalah maka harus dijatuhi sanksi sebagaimana aturan yang berlaku.

Navicula berusaha menyampaikan kepada kita bahwa apabila hukum direkayasa maka akan mengakibatkan lemahnya supremasih hukum sehingga rakyat yang menjadi korbannya. Nene Mallomo telah membuktikan bahwa penyimpangan-penyimpangan yang terjadi akan memberikan kesengsaraan bagi rakyat jika tidak diadili. Hal ini terbukti setelah Nene Mallomo menjatuhi hukuman mati kepada anaknya, kehidupan rakyat sidenreng kembali sejahtera.

*) Penulis merupakan mahasiswa di Jurusan akuntansi Politeknik Negeri Ujung Pandang dan sekarang menjabat sebagai ketua Umum Rumpun Pemuda Wajo

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT