(adaptasi Fulan & Fulanah).
Oleh : Adi Taqwa
“Memang, Mencintai tidak selamanya memiliki, Namun memilikinya dalam dekapan Cinta adalah kebahagiaan yang selamanya akan terasa.
Makan tidak selamanya untuk kenyang, Namun kenyang setelah makan adalah kenikmatan tersendiri.
Hai Kasih dalam kisah, Jika Cinta dimatamu kau pandang seperti itu, maka bagaimana dengan Sang Maha Cinta?
Apakah kau hanya mencintai-Nya namun tidak untuk memiliki-Nya?
Apakah kau hanya mengakui-Nya namun tidak untuk Menyembah-Nya?
Jika Hal itu Serupa, Maka Sungguh Ateislah Cintamu…”
Begitulah kalimat hati yang teruntai tanpa cinta.
Ada kalanya cinta dirasakan ketika cinta tak tercapai.
Begitulah Majnun, yang ia gila karena cintanya pada Layla tak tercapai. Begitulah Romeo, yang terjang heroiknya terdengar seantero jagat karena cintanya pada Juliet. Dan begitulah Khalil Gibran, yang larut pada syair-syairnya tentang cinta & wanita. Walaupun dipenghujung hayatnya sosok yang dinanti tak kunjung datang. Merekalah yang merasakan cinta karena cintanya tak tercapai. Dan merekalah yang abadi dengan kisahnya karena cintanya yang tak tercapai.
Seorang Layla & Majnun, Romeo & Juliet, Khalil Gibran sampai pada Zainuddin & Hayati yang mungkin kisah-kisah mereka tak akan dikenal jika cinta mereka tercapai.
“Sejatinya cinta ada pada mereka yang pata-hati” (red, Tak tercapai) begitulah kata pujangga.
Kasih dalam kisah memandangmu ateis pada cinta. Cinta namun enggan memiliki. Rasionalitas perasaan coba kau paksakan, Sayangnya tidak semua bisa di rasionalkan. Dijalan buntu inilah kau sampai pada titik meng-ateiskan cinta.
Seperti kata Fulan pada Fulanah,
“Kau meneteskan cintamu di hati yang tandus akan rasa nan banjir akan lara.
Kau membasahinya dengan kasih yang takkan kukenang sebagai kisah.
Seolah hati mngalirkannya pergi sebelum kucoba serap.
Setakat kebahagian yang kini kau anggap sebagai kesilapan,
Merenggut asa yg coba kulambungkan.
Melanglang tak teralang, Ber alasan namun tak ber-alas.
Sendamu kau dendangkan, larakupun ikut berdendang.
guraumu kau aungkan,
larakupun ikut ber-aung.
Seolah guraumu takberguru.
Perasa namun tak terasa,
Peka namun tak pekaa…
Merasa kau ku ukir diatas pasir yang kau menghempasnya hilang dengan ombakmu.
Dan aku,? pun termangu-mangu dengan itu,.
Hingga pada sadarku, kau tetap apa yang kuinginkan”
Sering kali kita menganggap bahwa terkadang cinta datang bukan pada waktu yang tepat. Seakan cinta menabrak rambu-rambu kehidupan tak mengenal waktu dan kondisi. Namun inilah cinta, Datangnya tak bisa dihalang perginya tak bisa ditahan.
Adalah konsekuensi logis ketika patah hati jadi tawaran tunggal pada Fulan, ketika Fulanah meng-ateiskan cinta nya.
Namun inilah Fulan, yang tak bisa disalahkan ketika cintanya tak tersampaikan, asa mengantarnya pada keyakinan tanpa ragu sedikitpun (cinta).
Seperti pada syairnya,
“Matahari meneriki seonggok daging yang berharap air di padang sahara,
Berilusi cinta dengan kisah tanpa kasih,
Meratap harap, takdir berkawan dengannya.
.
Dingin malam belum lagi beranjak dri semayamnya,
Melambai tubuh dengan lunglaian asa yang tak harap diputusnya,
memijar diri pada tengkupan waktu yang belum berpihak.
.
Terik mengantar Sepoian angin menembusi kulit daging pada tulang,
Berirama seolah mengelus ubun-ubun yang terpaku pada waktu,
Menerepong Hati yang sedang gersang akan kasih yang diharapnya,
.
Hanyalah kattus harapan menumbuhi lobang-lobang hati yang malang itu,.
“Mencintai tidak selamanya memiliki…” Sepoianmu… “
Seperti jawaban Fulanah, Mencintai tidak selamanya memiliki.
Fulan sampai pada titik nadir, walau pada titik itu Fulan tetap pada asa-nya menganggap ini adalah perjuangan seorang pujangga.
Seperti kata Fulan pada Fulanah, kau mengakui-Nya namun tidak Menyembah-Nya? Kau mencintai-Nya namun tidak memiliki-Nya?.
Disinilah ia sampai kalau wanita yang dikejarnya sedang ateis. Sungguh Ateislah Cintamu…
#Note. Elaborasi Kumpulan puisi “Mengejar Kesempurnaan Cahaya”
*) Penulis adalah ketua Koordinator Komisariat (Korkom) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Universitas Hasanuddin