Oleh : Fadli Dason
(Pengamat Hukum dan Politik)
Ketika Pertumbuhan Tak Selalu Berarti Kesejahteraan
Di sepanjang pantai barat Sulawesi Selatan, Kota Parepare berdiri sebagai simpul ekonomi dan perhubungan yang menghubungkan utara dan selatan pulau. Ia bukan kota besar, tapi juga bukan kota kecil yang bisa diabaikan. Di sinilah denyut ekonomi perdagangan, jasa, dan transportasi laut berpadu dalam skala yang unik: cukup hidup untuk mencatat pertumbuhan, tapi juga cukup rapuh untuk menampakkan jurang sosial di bawah permukaan statistik.
Data dalam Dokumen BPS: Kota Parepare Dalam Angka 2025 menunjukkan bahwa pada tahun 2024, ekonomi Parepare tumbuh 5,09 persen, dengan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencapai Rp 9,97 triliun. Pertumbuhan ini disertai kenaikan PDRB per kapita menjadi Rp 61,97 juta per tahun, menandakan peningkatan daya beli rata-rata warga. Inflasi pun terkendali di angka 1,73 persen, sebuah capaian yang menunjukkan stabilitas harga dan efisiensi pasar lokal.
Namun di balik anka-angka yang menjanjikan, terdapat persoalan mendasar: kesejahteraan belum sepenuhnya merata. Dokumen BPS mencatat bahwa persentase penduduk miskin memang menurun dari 5,41% (2022) menjadi 5,27% (2024), tapi di sisi lain, sebagian masyarakat masih terperangkap dalam struktur sosial-ekonomi yang membuat mereka sulit keluar dari kerentanan.
Parepare bukan kota miskin, tapi juga belum bisa disebut sejahtera bagi semua. Pertumbuhan ekonomi di kota ini lebih banyak digerakkan oleh sektor perdagangan besar dan eceran, transportasi, serta jasa, sementara sebagian wilayah pinggiran seperti Bacukiki masih bergantung pada ekonomi informal dan pekerjaan subsisten. Kesenjangan spasial antara pusat kota yang modern dan kawasan pinggiran yang lamban tumbuh menciptakan ketimpangan yang subtil, tapi nyata.
Dalam konteks ini, pemerintah kota, di bawah kepemimpinan Wali Kota Tasming Hamid, menegaskan komitmennya membangun ekonomi inklusif melalui TPAKD (Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah). Dalam pernyataannya yang dimuat di PortalInsiden (12 Oktober 2025), Wali kota Tasming Hamid menegaskan bahwa Parepare harus menjadi kota yang inklusif secara ekonomi di mana akses keuangan tidak hanya dimiliki oleh segelintir orang, tetapi menjangkau pelaku usaha mikro, perempuan, dan kelompok rentan.
Visi tersebut sejalan dengan semangat nasional untuk memperkuat ketahanan ekonomi melalui perluasan akses keuangan. Namun pertanyaan penting yang muncul adalah apakah inklusi finansial otomatis menghasilkan kesejahteraan sosial yang merata? Apakah beliau justru membuka babak baru dari ketimpangan di mana modal, alih-alih memberdayakan, justru menundukkan yang lemah dengan logika pasar?
Pertanyaan inilah yang menuntun kita meninjau fenomena Parepare bukan sekadar dari sisi ekonomi deskriptif, tetapi dari kacamata ekonomi politik inklusif-restriktif, sebagaimana dijelaskan oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam karya mereka Why Nations Fail (2012).
Ekonomi Politik Inklusif-Restriktif dan Dilema Institusi Lokal
Dalam Why Nations Fail (2012), Daron Acemoglu dan James A. Robinson mengajukan tesis monumental: bahwa kemajuan ekonomi suatu negara—atau wilayah—tidak terutama ditentukan oleh sumber daya alam, teknologi, atau budaya, melainkan oleh sifat institusinya.
Institusi yang bersifat inklusif memungkinkan partisipasi luas dalam kegiatan ekonomi, memberi perlindungan terhadap hak milik, dan menyediakan kesempatan yang relatif setara bagi semua warga untuk berinovasi dan berusaha.
Sebaliknya, institusi ekstraktif dikuasai oleh kelompok kecil yang memonopoli kekuasaan dan sumber daya, menggunakan kebijakan ekonomi untuk mempertahankan dominasinya.
Teori ini memberikan kacamata tajam untuk membaca Parepare hari ini. Pemerintah kota memang memiliki visi ekonomi inklusif, tetapi pertanyaannya: apakah institusi lokal di Parepare sudah benar-benar inklusif, atau justru masih bersifat restriktif dalam praktiknya?
Dalam konteks Dokumen BPS 2025, indikator makro ekonomi menunjukkan stabilitas yang menjanjikan, namun struktur ekonomi Parepare masih sangat tergantung pada sektor jasa dan perdagangan yang cenderung padat modal, bukan padat karya.
Ini berarti manfaat pertumbuhan lebih cepat mengalir ke kelompok yang sudah memiliki modal, akses ke pasar, dan jaringan dengan lembaga keuangan.
Sebaliknya, masyarakat kecil—pedagang kaki lima, nelayan, dan pekerja informal—masih berputar dalam ekonomi berisiko tinggi dengan pendapatan tidak stabil.
Acemoglu dan Robinson menyebut bahwa pertumbuhan di bawah institusi ekstraktif bisa terjadi, tetapi bersifat rapuh. Ia seperti pohon yang tumbuh di tanah tipis—tampak subur di permukaan, tapi mudah tumbang ketika badai datang.
Parepare sedang menghadapi risiko yang sama: pertumbuhan yang tak disertai demokratisasi ekonomi akan menghasilkan kemajuan tanpa pemerataan.
Kita bisa melihat dilema itu dalam kebijakan TPAKD.
Dari satu sisi, TPAKD merupakan instrumen potensial untuk membuat ekonomi lebih inklusif, karena membuka akses keuangan bagi masyarakat yang selama ini tak terjangkau bank.
Namun dari sisi lain, keberhasilan lembaga semacam itu sangat bergantung pada struktur kelembagaan: siapa yang mengendalikannya, siapa yang menentukan penerima manfaat, dan sejauh mana prosesnya transparan.
Jika TPAKD hanya berfungsi sebagai saluran administratif yang diatur dari atas ke bawah (top-down), maka ia berisiko menjadi versi lembut dari ekonomi ekstraktif—di mana birokrasi lokal, lembaga perbankan, dan elite ekonomi mendikte pola akses kredit.
Alih-alih membuka ruang partisipasi, TPAKD justru bisa menjadi mekanisme kontrol baru: masyarakat didorong untuk mengakses kredit dan menjadi “produktif”, tapi tanpa kuasa menentukan arah kebijakan ekonomi yang mereka jalani.
Inilah paradoks yang sering muncul dalam pembangunan lokal: kebijakan inklusif di tataran naratif, tetapi restriktif dalam struktur.
Dengan teori Acemoglu & Robinson, kita bisa menyimpulkan bahwa Parepare baru berada pada tahap transisi antara inklusi simbolik dan inklusi substantif—antara niat baik untuk memperluas partisipasi ekonomi, dan kenyataan bahwa struktur ekonomi-politiknya masih hierarkis.
Tantangan bagi Parepare bukan lagi sekadar tumbuh, melainkan tumbuh dengan cara yang membuka ruang bagi sebanyak mungkin warganya untuk ikut menentukan arah pertumbuhan itu sendiri.
Menuju Ekonomi yang Benar-Benar Inklusif
Ke depan, Parepare punya potensi besar untuk menjadikan visi ekonomi inklusifnya bukan sekadar jargon, melainkan strategi pembangunan yang berkelanjutan dan adil. Namun itu hanya mungkin jika pemerintah berani mengubah logika kelembagaan dari yang bersifat administratif menjadi partisipatif, dari simbolik menjadi substantif.
Berikut beberapa proyeksi dan rekomendasi kebijakan yang bisa menjadi arah bagi pemerintah kota
1. Membentuk Institusi Keuangan Partisipatif. TPAKD perlu direformulasi bukan sekadar sebagai tim koordinasi, tetapi sebagai ruang deliberatif ekonomi di mana masyarakat lokal, pelaku UMKM, akademisi, dan lembaga keuangan bisa bersama-sama menentukan arah kebijakan inklusi finansial.
Pendekatannya harus co-creation, bukan top-down.
Dengan demikian, keuangan bukan lagi sekadar alat distribusi kredit, tetapi sarana memperkuat modal sosial dan kepercayaan ekonomi di tingkat komunitas.
2. Menumbuhkan Ekonomi Lokal yang Padat Partisipasi. Kebijakan pembangunan Parepare harus berfokus pada sektor-sektor yang padat karya dan bernilai sosial tinggi—seperti industri kreatif, ekonomi maritim, dan koperasi produksi.
Pendekatan ini memungkinkan terciptanya lapangan kerja yang inklusif, bukan hanya pertumbuhan PDRB yang terpusat di segmen formal.
Khususnya, pelaku usaha perempuan, generasi muda, dan masyarakat pesisir perlu dilibatkan dalam rantai nilai ekonomi baru.
3. Meningkatkan Literasi Keuangan dan Kemandirian Warga. Akses keuangan tanpa pengetahuan adalah jebakan.
Program literasi keuangan yang sistematis harus menjadi bagian dari kebijakan ekonomi kota, agar warga memahami hak, risiko, dan peluang dalam sistem keuangan.
Pemerintah dapat menggandeng universitas, bank daerah, dan komunitas untuk menyusun kurikulum literasi yang aplikatif: mulai dari pengelolaan keuangan rumah tangga hingga strategi investasi mikro.
4 Desentralisasi Pengambilan Keputusan Ekonomi. Pemerintah kota perlu membangun mekanisme di mana kelurahan dan kecamatan bisa merancang program ekonomi lokal berbasis potensi wilayah. Misalnya, Bacukiki dengan potensi pertaniannya dapat difokuskan pada agroindustri mikro, sementara kawasan pelabuhan dapat diarahkan ke logistik dan perdagangan maritim.
Desentralisasi ini akan mendorong munculnya “mini-ekonomi” yang saling menopang, bukan satu pusat ekonomi yang menghisap pinggiran.
5 Mengukur Kesejahteraan Secara Holistik
Parepare perlu memperluas indikator keberhasilan pembangunan. Selain PDRB dan kemiskinan, harus ada pengukuran yang menangkap dimensi kesejahteraan subjektif: kebahagiaan, keamanan sosial, dan kualitas relasi sosial.
Ini bisa dilakukan dengan mengadopsi Human Well-being Index atau Gross National Happiness framework dalam konteks lokal. Kebijakan ekonomi yang manusiawi tak hanya menghitung pertumbuhan, tapi juga menghargai ketenangan hidup warga.
6. Digitalisasi dan Transformasi Inklusif
Era digital membuka peluang besar bagi inklusi ekonomi, tapi juga membawa risiko baru: digital divide (kesenjangan digital).
Pemerintah harus memastikan digitalisasi ekonomi—melalui e-commerce lokal, pembayaran non-tunai, dan sistem data UMKM—tidak hanya dinikmati oleh pelaku usaha besar. Diperlukan infrastruktur internet yang kuat di seluruh wilayah dan pelatihan digital bagi pelaku usaha kecil agar ekonomi digital Parepare tidak menjadi milik segelintir orang.
Dari Angka ke Narasi Keadilan
Parepare sedang menulis bab penting dalam sejarah ekonominya. Ia punya potensi menjadi laboratorium kota kecil yang mampu membuktikan bahwa pertumbuhan dan keadilan bisa berjalan beriringan.
Namun, hal itu hanya bisa dicapai bila pemerintah berani menafsir ulang makna “inklusif”—tidak sebagai distribusi kredit, melainkan sebagai redistribusi kekuasaan ekonomi.
Teori ekonomi politik inklusif-restriktif mengingatkan bahwa pertumbuhan tanpa inklusi hanyalah penundaan ketimpangan.
Parepare harus memilih: menjadi kota yang tumbuh di atas stabilitas semu, atau menjadi kota yang benar-benar hidup karena seluruh warganya ikut tumbuh bersama.
Kota yang sejati bukan diukur dari tingginya gedung atau besarnya PDRB, melainkan dari sejauh mana setiap warganya merasa punya tempat dalam cerita kemajuan itu.
Di situlah ekonomi inklusif menemukan makna terdalamnya—bukan sebagai program, melainkan sebagai peradaban.









































