Opini : Dina
(Mahasiswi Universitas Negeri Makassar)
Fenomena meningkatnya kasus asam lambung, baik gastritis maupun GERD di kalangan remaja dan mahasiswa Indonesia bukan sekadar persoalan medis, tetapi juga potret sosial yang menarik untuk dikaji. Di balik nyeri ulu hati, rasa panas di dada, dan gangguan pencernaan yang sering dianggap sepele itu, tersimpan kisah tentang tekanan hidup, perubahan gaya hidup, dan struktur sosial yang membentuk keseharian anak muda masa kini.
Dalam satu dekade terakhir, gejala asam lambung kian jamak ditemukan di usia produktif 15–27 tahun. Gaya hidup yang serba cepat, pola makan tidak teratur, konsumsi makanan instan dan pedas, hingga kebiasaan begadang demi mengejar tenggat tugas akademik menjadi faktor utama pemicunya. Stres akademik yang tinggi juga memperburuk kondisi, karena sistem saraf yang tertekan dapat memicu peningkatan produksi asam lambung. Akibatnya, mahasiswa sering kali berada dalam lingkaran setan antara beban akademik dan gangguan kesehatan.
Dari sudut pandang sosiologi kesehatan, fenomena ini tidak bisa dilihat semata-mata sebagai kegagalan individu menjaga pola makan. Teori determinan sosial kesehatan mengajarkan bahwa status sosial ekonomi, tekanan akademik, dan budaya hidup cepat turut membentuk kondisi fisik seseorang. Mahasiswa yang hidup di bawah tekanan prestasi sering kali tidak punya ruang untuk sekadar makan tepat waktu. Maka, pilihan untuk mengonsumsi mie instan atau kopi berlebihan bukanlah keputusan pribadi semata, melainkan refleksi dari struktur sosial yang menuntut produktivitas tanpa henti.
Kita juga melihat bagaimana budaya modern turut memperparah keadaan. Gaya hidup instan seperti makanan cepat saji, minuman berkafein tinggi, dan pola konsumsi berlebihan telah menjadi bagian dari identitas anak muda urban. Dalam kacamata kapitalisme budaya, industri makanan cepat saji dan minuman energi secara halus menanamkan nilai bahwa “cepat, sibuk, dan efisien” adalah gaya hidup ideal. Padahal, di balik citra modern itu, tersembunyi risiko kesehatan yang mengintai.
Solusi terhadap persoalan ini tidak cukup dengan anjuran medis atau perubahan perilaku individu semata. Kita membutuhkan pendekatan multidimensi. Kampus dan sekolah perlu aktif melakukan edukasi kesehatan dan manajemen stres, menyediakan layanan konseling, serta menata ulang beban akademik agar lebih manusiawi. Pemerintah pun perlu mengatur promosi dan distribusi makanan cepat saji serta minuman berkafein tinggi yang kian menguasai pasar anak muda.
Lebih jauh, masyarakat perlu membangun kesadaran baru bahwa menjaga kesehatan bukanlah bentuk kemewahan, melainkan tanggung jawab sosial. Sehat tidak hanya berarti bebas penyakit, tetapi juga mampu menyeimbangkan tuntutan sosial dan kebutuhan biologis secara berkelanjutan.
Fenomena asam lambung di kalangan remaja dan mahasiswa, pada akhirnya, adalah cermin krisis gaya hidup kita sendiri, krisis yang hanya bisa disembuhkan jika kita berani meninjau ulang cara hidup, sistem pendidikan, dan nilai-nilai budaya yang selama ini kita anggap wajar.









































