Oleh : Idham Malik*
Seperti Corona, kabar perusakan mangrove oleh oknum-oknum tertentu tidak kunjung berhenti. Lagi-lagi, di Mei-Juli 2021, terdapat 6 petak tambak terbangun di pesisir Dusun Tanroe, Desa Bababinanga, Kec. Duampanua, Kab. Pinrang, dengan menebang mangrove, memotong jalur sungai/delta, serta mendemoralisasi semangat kaum muda yang tumbuh-tumbuhnya melakukan rehabilitasi mangrove di tempat itu. Kaum muda telah menanam di lokasi tersebut sebanyak 25.000 bibit mangrove, dan sepertinya akan menjadi sia-sia.

Pelaku-pelaku ini seperti tak tersentuh hukum, mereka dengan gampang mengangkangi mangrove sebagai benteng pesisir untuk melindungi hal-hal apa saja di belakangnya, baik itu tambak itu sendiri, maupun rumah-rumah warga – jika tak ada mangrove, kemungkinan akan terjadi abrasi pantai, yang justru dapat merusak infrastruktur pemukiman maupun infrastruktur tambak itu sendiri.
Segala peraturan, baik yang disusun di Jakarta, maupun di level kabupaten seperti Rancang Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang menjelaskan aturan Sempadan Pantai dan Sungai, pun seakan tak berguna, dan tak mampu menggerakkan penyelenggara pemerintahan untuk menegakkan aturan yang telah dibuat.
Jika terus menerus begini, mangrove kita akan terus terkikis dan tergantikan oleh peruntukan lain, yang tentunya hanya dinikmati oleh individu atau segelintir orang. Sedangkan, jika mangrove tetap bertahan dan berkembang, akan menguntungkan semua pihak, baik orang setempat, masyarakat dunia (penyerapan carbon dan produksi oksigen), serta organisme-organisme lokal dan yang bermigrasi di lokasi tersebut.
Okelah oknum itu memiliki bukti alas atau sertifikat kepemilikan lahan, dan merasa berhak memanfaatkan lahan tersebut. Tapi, jika ia menebang mangrove sama saja ia melanggar peraturan terkait penebangan pohon mangrove, karena mestinya hukum lebih mempertimbangkan manfaat/dampak secara luas (dengan mempertahankan mangrove) dibandingkan manfaat hanya pada individu tertentu.
Berdasarkan data clark labs, luasan konversi mangrove ke tambak dari tahun 1999 hingga tahun 2018 seluas 9.689 hektar. Bisa dibayangkan berapa pertambahan konversi mangrove ke tambak pada 2021 ini, dimana pada 2020-2021 saja sudah terdapat beberapa kasus perusakan mangrove, dimulai dari Lantebung Makassar, Bonto Bahari Maros, Tekolabbua Pangkep, hingga Tanroe Pinrang, belum dihitung kasus-kasus perusakan mangrove lain yang tidak terdata dan dibiarkan begitu saja.
Coba bandingkan dengan kegiatan rehabilitasi mangrove, kegiatan penanaman mangrove program akuakultur WWF-ID saja dalam 4 tahun terakhir hanya dapat menanam sekitar 28 hektar, dengan mengorbankan materi yang tidak sedikit, tenaga massa, dan lain-lain. Coba bandingkan lagi dengan program-program rehabilitasi mangrove pemerintah, yang berlangsung selama ini, yang telah mengorbankan banyak dana, tenaga kerja, dan waktu.
Jadinya, jika ini betul-betul tidak diseriusi, lebih baik program penanaman mangrove itu dihentikan saja. Uang untuk mangrove itu konversi saja untuk dibagi-bagikan kepada warga yang membutuhkan.
Bagi teman-teman yang sudah biasa tanam mangrove, mending bobo-bobo siang aja dulu. Peristiwa-peristiwa seperti ini tidak akan berhenti jika payung hukum yang dibuat untuk menjaga mangrove ini terus menerus bocor.
*) Penulis adalah koordinator kader hijau Muhammadiyah Sulsel









































