Penulis : Ahmad Rosandi Sakir, S.I.P. M.A.P.
(Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Pattimura)
Stunting masih menghantui Maluku Tengah dengan angka yang mengkhawatirkan. Meski pemerintah pusat telah menggelontorkan berbagai program, persoalan ini tak bisa diselesaikan tanpa menyentuh akar lokal. Kini, pemerintah daerah bersama tokoh adat dan agama mulai didorong untuk bahu-membahu membangun kolaborasi berbasis kearifan lokal demi melahirkan generasi Maluku Tengah yang sehat dan berdaya saing.
Stunting menjadi salah satu tantangan serius yang dihadapi Indonesia, termasuk Maluku Tengah. Data Survei Kesehatan Indonesia 2023 mencatat prevalensi stunting secara nasional masih berada di angka 21,5%, jauh dari target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 20%. Kondisi ini juga dirasakan di Maluku Tengah, wilayah kepulauan dengan karakteristik geografis yang menantang dan akses layanan kesehatan yang belum merata.
Faktor penyebab stunting di Maluku Tengah cukup kompleks. Mulai dari keterbatasan distribusi pangan bergizi, pola konsumsi masyarakat yang masih dominan pada karbohidrat, rendahnya edukasi gizi, hingga sanitasi yang belum memadai. Padahal, Maluku Tengah sejatinya kaya dengan potensi sumber daya laut dan hasil pertanian lokal yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat ketahanan gizi masyarakat.
Kebijakan Nasional, Tantangan Lokal
Pemerintah pusat melalui Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting telah mengarahkan agar setiap daerah melaksanakan penanganan secara konvergen, terintegrasi, dan lintas sektor. Namun, penerapannya di Maluku Tengah membutuhkan pendekatan yang sesuai dengan konteks lokal.
Regulasi nasional tersebut perlu diterjemahkan dalam bentuk kolaborasi yang lebih membumi, dengan melibatkan pemimpin adat, tokoh agama, akademisi, pelaku usaha, dan media. Tanpa partisipasi aktif dari pemangku kepentingan lokal, program nasional berpotensi sulit menjangkau masyarakat di desa-desa terpencil.
Kepemimpinan Kolaboratif Berbasis Adat dan Agama
Konsep kepemimpinan kolaboratif yang digagas Peter Senge dalam The Fifth Discipline menekankan pentingnya sinergi lintas sektor. Hal ini sangat relevan bagi Maluku Tengah, di mana peran raja negeri, kepala soa, dan tokoh agama (gereja maupun masjid) memiliki pengaruh besar dalam membentuk perilaku masyarakat.
Pemimpin daerah pasca Pilkada serentak diharapkan mampu menjadi fasilitator yang menyatukan berbagai pihak. Bukan hanya mengarahkan, tetapi juga membuka ruang partisipasi untuk merancang strategi penanggulangan stunting yang berkelanjutan.
Model Kolaborasi Maluku Tengah
Penanganan stunting di Maluku Tengah dapat dimaksimalkan melalui kolaborasi berbasis adat, agama, dan pemerintah daerah, yang diperkaya dengan dukungan akademisi, pelaku usaha, dan media. Model ini mencakup:
Pemerintah daerah memastikan layanan kesehatan ibu-anak menjangkau wilayah terpencil serta mengintegrasikan kebijakan pusat dengan kebutuhan lokal.
Lembaga adat melalui peran raja negeri dan kepala soa dalam mengedukasi masyarakat terkait pola konsumsi dan pola asuh.
Tokoh agama yang menjadikan gereja dan masjid sebagai pusat edukasi gizi dan kesehatan pada setiap ibadah dan pertemuan jemaat.
Akademisi lokal seperti Universitas Pattimura, IAIN Ambon, dan perguruan tinggi lainnya berperan menyediakan riset berbasis bukti.
Pelaku usaha untuk mendukung program Corporate Social Responsibility (CSR) berupa penyediaan pangan bergizi dan pembangunan sanitasi.
Media lokal untuk mengkampanyekan pencegahan stunting dengan bahasa daerah yang mudah dipahami masyarakat akar rumput.
Harapan untuk Pemimpin Baru
Stunting adalah persoalan multidimensi yang membutuhkan pendekatan menyeluruh. Pemimpin Maluku Tengah yang terpilih pasca Pilkada dituntut untuk menempatkan isu stunting sebagai prioritas pembangunan. Dengan menggerakkan seluruh potensi lokal dan membangun kolaborasi yang melibatkan adat, agama, dan pemerintah, Maluku Tengah dapat menekan angka stunting secara signifikan.
Masa depan anak-anak Maluku Tengah ada di tangan kita semua. Langkah kecil yang dilakukan hari ini, mulai dari memastikan akses gizi hingga memperkuat layanan kesehatan yang akan menjadi investasi besar bagi generasi yang sehat, cerdas, dan berdaya saing di masa depan. Inilah saatnya bergerak bersama menuntaskan persoalan stunting di bumi Pamahanunusa.









































