Oleh : Rizal Pauzi*
Pemerintah wajib untuk membina masyarakatnya. Pembinaan itu harus meliputi segala aspek termasuk persoalan anggaran itu sendiri. Sejauh ini, konstitusi negara kita telah mengatur segala hal khususnya pembinaan terhadap organisasi Kemasyarakatan, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan, organisasi profesi dan sebagainya. Anggaran yang disiapkan pemerintah daerah dikenal dengan istilah hibah dan bantuan sosial (Bansos).
Secara teknis prosedur pemberian dana hibah dan bantuan sosial ini diatur dalam peraturan menteri dalam negeri nomor 14 tahun 2016. Permendagri ini merupakan perubahan kedua dari permendagri nomor 32 tahun 2011 dan selanjutnya permendagri nomor 39 tahun 2012.
Perubahan ini tak terlepas perubahan undang undang yang menaunginya yakni Undang – undang nomor 23 tahun 2014 dan undang undang nomor 17 tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan. Selain itu alasannya adalah banyaknya permasalahan yang muncul akibat pengelolaan dana hibah dan bansos yang disalahgunakan seperti penerima fiktif, digunakan untuk kampanye dan sebagainya.
Sehingga jika dicermati, perubahan permendagri ini tidak lepas dari keinginan pemerintah agar dana hibah dan bansos ini dikelola secara transparan, efektif dan efisien. Hal ini yang menyebabkan prosedur pengelolaan semakin ketat serta pelaporan pertanggung jawaban penggunaannya juga semakin ketat.
Begitu pun dalam hal penerima dana tersebut, harus terdaftar minimal 3 tahun di badan kesatuan bangsa dan politik (Kesbangpol) setempat.
Hal yang tentu perlu dicatat oleh organisasi penerima hibah adalah pada pasal 22 yang berbunyi “(1) pemerintah daerah dapat memberikan bantuan sosial kepada anggota/kelompok masyarakat sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. (2)pemberian bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada pasal 1 dilakukan setelah memprioritaskan pemenuhan belanja urusan wajib dan urusan pilihan dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, nasionalitas dan manfaat untuk masyarakat.
Disinilah ruang dimana pemerintah bisa berdalih untuk tidak memberikan bantuan kepada organisasi kemasyarakatan. Jika anggaran yang di sepakati di APBD rendah tentu ini akan membuat anggaran akan diprioritaskan kepada anggaran lain yang lebih mendesak.
Olehnya itu, merujuk ke pendekatan good governance bahwa salah satu prinsipnya yakni pemerintahan harus transparan. Dalam artian bukan hanya soal pelaporan keuangannya semata, tapi lebih kepada bagaimana prosesnya mulai dari datas base penerima, model proposal pengajuan, kesesuaian program sampai pada penyaluran dan pelaporan anggaran.
Hal ini sejalan dengan spirit UU 14 tahun 2008 tenang ketrbukaan informasi publik dimana masyarakat harus mendapatkan kepastian terhadap semua informasi publik. Tentu pengelolaan dana hibah ini harus ada kepastian, jangan semua di beri harapan kemudian tidak direalisasikan dengan dalih regulasi. Tentu ini sangat tidak bijaksana sebagai pemerintah daerah.
Olehnya itu, yang sbenarnya lebih di butuhkan organisasi kemasyarakatan, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan, organisasi prosesi dan sebagainya adalah proses pembinaan secara subtansial. dalam artian bahwa pemerintah daerah harus merangsang semua elemen untuk bisa beraktivitas, berbuat untuk daerah dengan pendekatan kemandirian. Jangan justru dimanjakan dengan bantuan tunai yang rawan disalahgunakan.
Setidaknya hal ini bisa dilihat seperti ormas Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama yang bisa eksis sebelum kemerdekaan sampai sekarang. Tentu mereka memiliki cara sendiri untuk menjalankan roda organisasi masing – masing. Ini yang patut di contoh untuk proses pengelolaan dana hibah dan bansos agar lebih efektif dan efisien.
Dengan demikian tentu dengan lahirnya Permendagri nomor 14 tahun 2016 adalah upaya mengoptimalkan penggunaan dana hibah dan bansos secara subtansial. Tentu peran aktif pemerintah daerah untuk menerjemahkan dan menjalankan kebijakan ini secara kreatif dan inovatif yang dibutuhkan untuk pembinaan secara subtansial. Sekali lagi, subtansi dari pemerintah adalah merangsang partisipasi dan memberdayakan masyarakat untuk kemajuan daerah dan bangsa Indonesia.
*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Hasanuddin dan peneliti kebijakan publik pada Public Policy Network (Polinet)