oleh : Rizal Pauzi*
Public Corner – Musim tanam padi di Sulawesi Selatan biasanya berlangsung pada bulan Desember sampai Februari di setiap tahunnya. Tidak bisa dipungkiri, pertanian padi masih menjadi mayoritas mata pencaharian penduduk di pedesaan. Hampir sebagian besar Kabupaten masih mengandalkan pertanian sebagai pendapatan asli daerahnya. Bahkan Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang menjadi lumbung beras nasional.
Jika merujuk pada pendekatan historis, pertanian Indonesia pernah mencapai puncaknya di era orde baru . pada saat itu Indonesia mampu melakukan swasembada beras. Hal ini kemudian menjadikannnya mampu menuntaskan berbagai kelaparan di berbagai daerah di Indonesia. walaupun kebijakan swasembada pangan ini mengikuti program revolusi hijau yang di adopsi dari Amerika. Revolusi hijau memang telah menunjukkan prestasi dalam meningkatan produksi padi secara nasional, bahkan pernah menghantarkan Indo-nesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984, seperti dicatat oleh Wahono (1999b :15 -16) dan banyak peneliti lainnya, sehingga telah dianggap sebagai dewa penyelamat yang menuntun petani keluar dari perangkap involusi pertanian . Namun pada sisi lain, berdasarkan pada banyak hasil penelitian dan bukti, banyak pihak menyatakan bahwa revolusi hijau justru memperdalam proses marjinalisasi petani secara sosial, budaya, ekonomi, politik, dan pengetahuan menuju dehumani-sasi dan tidak menjadikannya petani sejati (Fakih,1999 : xx) tetapi mengantarkan petani kecil dan buruh tani ke dalam perangkap globalisasi (Wahono, 1999b : 29).
Terlepas dari kontroversi revolusi hijau tersebut, bagi petani istilah “swasembada pangan” sampai pada soal “impor beras” pun hanyalah istilah bagi kalangan elit negeri ini. Selalu dipercakapkan dibangku – bangku sekolah maupun di perkuliahan. Namun masih sangat asing bagi petani khususnya di pedesaan.
Dulu masih ada bantuan bibit, sedikit bantuan pupuk, juga ada penyuluh
yang datang saat rapat dikantor desa. Setelah itu tak muncul lg kesawah.
Saat ini, pemerintah sudah berfikir jauh kedepan. Sudah memikirkan lahan tidur, penggunaan pupuk alami dan sebagainya. Bahkan kesana kemari memaparkan pencapaian hasil pertanian serta mengadakan peresmian bendungan dan panen raya. Bahkan akhir – akhir ini keributan soal naiknya harga cabai, membuat pemerintah (menteri) menyuruh masyarakat menanam sendiri.
Benarkah semua itu dibutuhkan petani?
Petani di pedesaan rata – rata hanya menanam sekali setahun. Karena banyak sawah masih merupakan golongan sawah tadah hujan. Tapi itu tak masalah, petani tetap punya cara sendiri. Menanam palawija ketika musim kemarau, ataukah menggarap kebun masing – masing. Soal bibit pun, petani kadang menggunakan hasil panennya musim lalu untuk bibit. Mereka juga tak terlalu pusing dengan stok bibit terbaru apa lagi bibit gratis.
Hematnya, petani kecil saat ini semakin hari semakin tak tersentuh oleh kebijakan pemerintah. Mereka harus berjuang sendiri, untuk mengelola lahan mereka sendiri. Tak ada lagi intervensi pemerintah untuk memperjelas waktu bersamaan untuk memulai bercocok tanam. Petani yang memiliki tenaga yang kuat, akan mengolah lahannya lebih awal. Jadilah pertanian menjadi “hutan rimba”. Siapa yang kuat, dia yang berkuasa. Petani memperebutkan air irigasi, petani tak lagi gotong royong, dan petani lebih pada individunya masing – masing.
Olehnya itu, kami berharap pemerintah bukan hanya sekedar mengeluarkan kebijakan berupa program semata, tapi juga kebijakan yang sifatnya mengatur. Bukan hanya petani, tapi juga mengatur dan mengintervensi instansi pertanian di level bawah untuk lebih responsip dan inovatif.
Dinas pertanian dan perangkatnya harus betul – betul turun ke tengah – tengah masyarakat untuk melakukan pendampingan. Bukan sekedar sosialisasi tetapi harus memberi contoh dalam bentuk praktek. Seragam pegawainya pun harusnya yang lebih mampu turun kesawah, serta kantornya harus memiliki laboratorium yang mampu menjadi tempat belajar bagi petani. Begitu pun pengefektifan kembali tradisi tudang sipulung sebagai perlu dikuatkan oleh pemerintah setempat, sehingga musim tanam bisa diatur serta mampu melakukan penanaman secara bersamaan. Karena ini bisa mencegah gagal panen akibat hama.uk Selanjutnya, pemerintah harus mengintervensi sistem pendidikan dalam bidang pertanian untuk lebih impelementatif dan penekanan untuk betul – betul ingin mengembangkan pertanian. Karena selama ini banyak alumni pertanian yang memilih bekerja di tempat yang tidak sesuai dengan keilmuannya.
Terakhir, sebagai petani kecil tentu yang dibutuhkan adalah kebijakan yang bersentuhan langsung dengan petani. Karena kami mulai jenuh dengan berbagai program yang ternyata banyak di gerogoti “tikus berdasi”. Semoga musim panen kali ini bis berhasil. Biarlah tuhan menilai pekerjaan mulia ini, karena pekerjaan ini memberi keberkahan, Bukan untuk kekayaan semata.
*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas hasanuddin, Peneliti kebijakan Publik di Public Policy Network