Beranda Policy Corner Membaca (Ulang) Sejarah Gerakan 30 September

Membaca (Ulang) Sejarah Gerakan 30 September

0
Rizal Pauzi

Oleh : Rizal Pauzi

Tak selamanya sejarah selalu memberi kepastian, tapi kadang justru melahirkan kontroversi yang tak mungkin lagi di ungkap kebenarannya.beberapa rentetan sejarah bangsa indonesia masih menjadi polemik,sebut saja gerakan 30 September, Surat perintah sebelas maret dan beberapa peristiwa lainnya.

Ini tidak lepas dari anekdot yang mengatakan bahwa “sejarah adalah milik para pemenang”. sehingga penguasa berusaha mengaburkan sejarah untuk dijadikan propaganda dalam melanggengkan kekuasaannya. Ini bisa saja menjadi kenyataan,kita bisa menyaksikan di masa orde baru setiap tanggal 30 September diadakan pemutaran film dokumenter serta upacara hari kesaktian pancasila di Tanggal 1 Oktober. Namun pasca reformasi pemutaran film ditiadakan karena dianggap alat propaganda orde baru.

Ini tidak boleh dibiarkan, karena sejarah memiliki peran vital bagi sebuah bangsa. Sejarah merupakan refresentasi identitas sebuah negara. Mengutip pernyataan Peter Carey ,peneliti Asal Amerika Serikat yang menulis biografi Pangeran Diponegoro. Peter cary mengatakan bahwa dari semua sejarah indonesia,hanya sekitar 20% ditulis oleh orang indonesia sendiri. Dan 80%nya ditulis oleh para peneliti asing.jika kita bersepaka bahwa sejarah adalah identitas sebuah bangsa,maka Ini menandakan bahwa 80% identitas bangsa Indonesia ini ditulisakn oleh orang – orang asing. Ini sangat memprihatikan dan jika ini terus berlanjut maka beberapa tahun kedepan indonesia tidak lagi memiliki identitas yang murni Indonesia.

penulis tetarik untuk sedikit mengurai sebuah sejarah yang kontroversi. Apa lagi baru – baru ini Presiden Joko Widodo di isukan akan meminta maaf kepada para keluarga Partai Komunis Indonesia (PKI). Walaupun hanya wacana, tapi juga itu dilakukan bisa saja terjadi konflik seperti pada peristiwa 30 September lalu.

Sedikit mengulas kembali sejarah kelam bangsa ini, Peristiwa G 30 S PKI terjadi pada malam hari tepat waktunya saat pergantian dari tanggal 30 September hari Kamis, menjadi 1 Oktober pada hari Jumat tahun 1965 tepat tengah malam dengan melibatkan Pasukan Cakrabirawa dan Anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Gerakan ini bertujuan menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno dan menginginkan pemerintahan Indonesia menjadi pemerintahan komunis. Gerakan 30 S PKI dipimpin oleh ketua saat itu, yaitu Dipa Nusantara Aidit atau sering dikenal dengan nama DN. Aidit. DN. Aidit gencar memberikan hasutan kepada seluruh masyarakat supaya mendukung PKI dengan iming-iming Indonesia akan lebih maju dan sentosa.

Gerakan 30 S PKI bergerak atas satu komando yang dipimpin oleh Komandan Batalyon I Cakrabirawa, Letnan Kolonel Untung Syamsuri. Gerakan ini dimulai dari Jakarta dan Yogyakarta, gerakan ini mengincar Dewan Jendral dan Perwira Tinggi. Awal mula gerakan ini hanya bermaksud menculik dan membawa para Jendral dan perwira tinggi ke Lubang Buaya. Namun, ada beberapa prajurit Cakrabirawa yang memutuskan untuk membunuh Dewan Jendral dan perwira tinggi. Jendral yang dibantai oleh PKI diantaranya Jendral Ahmad Yani dan Karel Satsuit Tubun. Sisa Jendral dan perwira tinggi meninggal dunia secara perlahan karena luka penyiksaan di Lubang Buaya.
Atas kejadian yang membuat luka Bangsa Indonesia, rakyat menuntut kepada Presiden Soekarno supaya membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan rasa terpaksa akhirnya Partai PKI yang menjadi kekuatan bagi Presiden Soekarno dalam aksi “Ganyang Malaysia” di bubarkan. Selanjutnya Presiden Soekarno memberikan mandat pembersihan semua struktur pemerintahan nya kepada Mayor Jendral Soeharto yang terkenal dengan Surat Perintah 11 Maret 1966.

Namun dari beberapa referensi sejarah, masih terjadi kesimpang siuran mengenai siapa dalang dari peristiwa percobaan kudeta tersebut. Setidaknya di ajarkan dalam bangku – banguk sekolah bahwa ada enam versi yang dianggap dalang dari gerakan 30 September ini diantaranya Partai Komunis Indonesia (PKI), Perwira Angkatan Darat, Soekrno, Soeharto,Sjam Kamaruzaman sebagai biro khusus central PKI. Ketidak pastian sejarah ini membuat masyarakat persepsi masyarakat pun berbeda beda.

Dari beberapa referensi yang mencoba penulis baca dan telusuri, sampai pada sebuah kesimpulan bahwa buku yang ditulis Julius Pour dengan judul “Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan & Petualang” Penerbit Buku Kompas pada tahun 2010 mampu memberikan pencerahan terhadap persitiwa gerakan 30 september ini. Buku ini mengurai satu persatu aktor-aktor utama dalam peristiwa kelam G-30 S/PKI yang terdiri dari 13 orang diantaranya Aidit, Bung Karno, Heroe, Latief, Mangil, Nasution, Sarwo Edhie Wibowo, Soebandrio, Soeharto, Soepardjo, Untung, Nyoto, dan Omar Dani. Buku yang ditulis bukan untuk mengorek luka lama bangsa ini, akan tetapi penulis berharap dengan semakin jernihnya sebuah fakta sejarah, kita dapat mengambil pelajaran agar arah perjalanan bangsa lebih baik. Kita sebagai bangsa harus menyadari bahwa peristiwa 30 September adalah sejarah kelam bangsa yang tidak boleh terulang lagi. (Ali Sodikin, Jurnal Politika Volume 8 No.1 tahun 2012 Terbitan Akbar Tanjung Institute)

Olehnya itu, perdebatan ini tentang sejarah ini harus diakhiri sebab ini hanya bisa menjadi bom waktu yang sewaktu – waktu bisa meledak. Bagaimana pun sejarah tak mesti bisa diungkap fakta keseluruhan tapi kadang menjadi misteri yang sengaja di kubur dalam – dalam oleh para aktor dan saksi mata untuk mencegah konflik yang lebih besar. Biarlah sejarah ini menjadi pelajaran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan demikian, refleksi peristiwa gerakan 30 september ini harus menjadi tamparan bagi kita untuk kembali peduli dengan bangsa kita. Setiap peristiwa penting harus ditulis dan didokumentasikan sebagai arsip dan warisan masa depan. Ini menjadi penting tentunya untuk menjaga kebenaran sejarah bangsa kita dimasa mendatang dan tentunya menjawab tantangan Peter Carey, Indonesia harus menuliskan sejarahnnya sendiri. Selanjutnya, bagaimana pun dan referensi apa pun, PKI tetap menjadi aktor dalam peristiwa ini dengan segala propaganda termasuk dalam persinggungannya dengan partai dan ormas Islam di era tersebut. Sehingga biarlah TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, 5 Juli 1966 tidak diganggu gugat, demi menjaga keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT