Oleh : Khaeriyah Adri*
Kebijakan stunting di Indonesia, termasuk di Provinsi Sulawesi Selatan, telah menjadi perhatian serius pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Stunting, yang didefinisikan sebagai kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kekurangan gizi kronis, merupakan masalah kesehatan masyarakat yang kompleks. Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi stunting di Indonesia mencapai 30,8%, dengan Sulawesi Selatan mencatat angka yang cukup tinggi, yaitu sekitar 30,9% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018). Dalam upaya menanggulangi masalah ini, pemerintah telah mengeluarkan berbagai aturan dan kebijakan, salah satunya adalah Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.
Dalam Perpres tersebut, pemerintah menekankan pentingnya intervensi gizi yang terintegrasi dan berkelanjutan. Salah satu langkah konkret yang diambil adalah melalui program pemberian makanan tambahan (PMT) bagi ibu hamil dan anak balita. Program ini bertujuan untuk meningkatkan asupan gizi dan mencegah stunting sejak dini. Selain itu, pemerintah juga mendorong kolaborasi antara berbagai sektor, termasuk kesehatan, pendidikan, dan sosial, untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan anak (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2021).
Namun, meskipun ada berbagai aturan yang telah ditetapkan, tantangan dalam implementasi kebijakan ini masih sangat besar. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa hanya 60% dari sasaran PMT yang tercapai pada tahun 2022. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kebijakan yang direncanakan dan realisasi di lapangan. Selain itu, kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya gizi seimbang juga menjadi faktor penghambat dalam upaya penanganan stunting.
Masalah Implementasi kebijakan penanggulangan stunting di Sulsel
Implementasi kebijakan stunting di Sulawesi Selatan menghadapi berbagai masalah yang kompleks. Salah satu masalah utama adalah kurangnya koordinasi antar instansi terkait. Meskipun terdapat berbagai program yang dirancang untuk mengatasi stunting, seringkali pelaksanaan di lapangan tidak terkoordinasi dengan baik. Misalnya, program PMT yang dijalankan oleh Dinas Kesehatan seringkali tidak sejalan dengan program pendidikan gizi yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan, sehingga efektivitasnya menjadi berkurang (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, 2022).
Selain itu, masalah anggaran juga menjadi kendala signifikan. Banyak daerah, termasuk Sulawesi Selatan, mengalami keterbatasan anggaran untuk mendukung program-program penanganan stunting. Menurut laporan dari Kementerian Dalam Negeri, alokasi anggaran untuk program kesehatan dan gizi di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan masih jauh dari cukup, yang berdampak pada pelaksanaan program di lapangan (Kementerian Dalam Negeri, 2022). Keterbatasan ini sering kali mengakibatkan penundaan dalam distribusi PMT dan kegiatan edukasi gizi kepada masyarakat.
Salah satu contoh kasus yang mencolok adalah di Kabupaten Wajo, di mana meskipun telah ada program penanganan stunting, angka stunting tetap tinggi. Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Wajo menunjukkan bahwa prevalensi stunting mencapai 35% pada tahun 2022. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada kebijakan yang jelas, implementasinya masih menghadapi banyak kendala (Dinas Kesehatan Kabupaten Wajo, 2022).
Untuk mengatasi masalah stunting di Sulawesi Selatan, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah peningkatan koordinasi antar instansi pemerintah. Dengan membentuk forum koordinasi yang melibatkan Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, dan Dinas Sosial, diharapkan dapat tercipta sinergi dalam pelaksanaan program-program penanganan stunting. Forum ini dapat menjadi wadah untuk berbagi informasi, sumber daya, dan pengalaman terbaik dari berbagai daerah (Badan Perencana Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan, 2023).
Selain itu, peningkatan anggaran untuk program penanganan stunting juga sangat penting. Pemerintah daerah perlu mengalokasikan lebih banyak dana untuk mendukung kegiatan PMT, edukasi gizi, dan pelatihan bagi tenaga kesehatan. Dengan anggaran yang memadai, program-program tersebut dapat dilaksanakan dengan lebih efektif, sehingga dapat menurunkan angka stunting secara signifikan. Data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menunjukkan bahwa setiap tambahan 1% anggaran untuk kesehatan dapat mengurangi angka stunting hingga 0,5% (Bappenas, 2023).
Terakhir, edukasi masyarakat tentang pentingnya gizi seimbang dan pola makan yang sehat juga perlu ditingkatkan. Kampanye kesadaran gizi yang melibatkan tokoh masyarakat, kader kesehatan, dan media lokal dapat membantu meningkatkan pemahaman masyarakat. Contoh dari program sukses adalah di Kabupaten Gowa, di mana kampanye gizi yang melibatkan masyarakat berhasil menurunkan angka stunting dari 32% menjadi 25% dalam waktu dua tahun (Dinas Kesehatan Kabupaten Gowa, 2023).
Referensi :
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018.
- Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2021). Laporan Tahunan 2021.
- Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. (2022). Laporan Hasil Pengawasan 2022.
- Kementerian Dalam Negeri. (2022). Laporan Kinerja Kementerian Dalam Negeri 2022.
- Dinas Kesehatan Kabupaten Wajo. (2022). Data Prevalensi Stunting 2022.
- Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan. (2023). Rencana Aksi Penanganan Stunting 2023.
- (2023). Analisis Anggaran Kesehatan dan Dampaknya Terhadap Stunting.
- Dinas Kesehatan Kabupaten Gowa. (2023). Laporan Penanganan Stunting di Kabupaten Gowa.
*) Penulis adalah Mahasiswi S3 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret Surakarta