Beranda Mimbar Ide Tunjuk-Tunjuk Penjabat Kepala Daerah

Tunjuk-Tunjuk Penjabat Kepala Daerah

0

(Minim legitimasi dan transparansi)

Oleh : Ade Irmawan M. Asyrakal*

Kebutuhan Penjabat Kepala Daerah untuk mengisi kekosongan jabatan Kepala Daerah akibat Pilkada serentak adalah hal yang tidak bisa dihindari, sebab UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah sudah mengamanatkan itu.

Oleh karenanya, terdapat 271 Kepala Daerah yang selesai masa jabatannya sebelum tahun 2024, yang mana harus di ganti dengan Penjabat Kepala Daerah sampai terpilihnya Kepala Daerah definitif hasil Pilkada Serentak 2024.

Mekanisme pengangkatan Penjabat Kepala Daerah yang terstruktur dan transparan sangat diperlukan dalam proses menetukan Penjabat. 

Hal tersebut menjadi penting guna memastikan Penjabat yang ditunjuk mempunyai kinerja dan kompetensi yang mumpuni dalam menjalankan Pemerintahan, dan menjaga stabilitas konflik politik di daerah menjelang Pemilu 2024.

Dengan rentang waktu yang cukup lama Penjabat mengisi kekosongan Kepala Daerah, sayangnya belum ada mekanisme dan aturan teknis soal perekrutan sampai pengangkatan Penjabat Kepala Daerah. UU No.10 Tahun 2016 Tentang Pilkada hanya mengatur syarat kualifikasi Penjabat saja. 

Mantan Ketua MK, Hamdan Zoelva, memandang perlu adanya aturan main terkait dengan pengangkatan agar terhindar dari lobi-lobi dan kepentingan satu pihak saja.

Sejauh ini, Penjabat Kepala Daerah hanya di pilih berdasarkan keputusan Presiden semata melalui usulan Menteri Dalam Negeri. 

Tentu hal ini sangat mencedrai semangat berdemokrasi kita. Sebagai negara demokrasi, dalam menjalankan pemerintahan, pemerintah wajib melibatkan rakyat. 

Demokrasi menjadi ruang untuk rakyat selalu berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara. Jika keterlibatan publik dihilangkan, maka legitimasi atas kepemimpinannya patut dipertanyakan.

Apabila Menteri Dalam Negeri menggunakan aturan main seperti ini berdasarkan Permendagri No.1 Tahun 2018, tentu ini adalah kesalahan besar. 

Sebab Permendagri tersebut mengatur pengangkatan Penjabat Sementara karena cuti. Berbeda dengan Penjabat yang mengisi kekosongan jabatan akibat selesai periodesasi. 

Amanat UU No. 10 Tahun 2016 merupakan fenomena baru. Dimana sangat banyak Kepala Daerah yang di ganti dengan rentang waktu yang sangat panjang. Jika tidak disikapi dengan transparan dan partisipatif, tentu yang paling dirugikan adalah masyarakat. 2,5 tahun masyarakat tidak tahu pasti siapa pemimpinnnya, dan apa yang akan dia kerjakan.

Kita tahu, menjadi kepala daerah itu tidak mudah. Menurut Bima Arya, ada 3 standar minimal yang harus di miliki. Pertama, Legitimasi, jika legitimasi rendah, maka mengatur pemerintahan akan semakin rumit, karena minim dukungan dari dewan setempat dan dari masyarakat. Kedua, pemahaman politik pemerintahan. 

Ketiga, skill politik, bagaimana mobilisasi politik, mencari dukungan dewan, forkopimda, ormas, tokoh setempat dan lain-lain. 3 hal tersebut lah yang menentukan jalan atau tidaknya sebuah pemerintahan.

Jika Presiden hanya menentukan sepihak tanpa melibatkan publik. Tentu ini berbahaya, selain mencedrai nilai demokrasi, juga akan menimbulkan legitimasi yang rendah dan resistensi yang tinggi. 

Hal tersebut akan menimbulkan political stalemate (kebuntuan politik) dimana-mana. Tidak terbayangkan, jika 271 daerah RPJMDnya tidak tercapai, pengelolaan APBD yang tidak tepat sasaran, dan target-target strategis nasional yang melibatkan daerah tidak berjalan lancar. 

Apalagi merujuk analisis data sosial-ekonomi yang dilakukan oleh litbang kompas menyatakan bahwa 66 kabupaten/kota dan 4 provinsi yang akan dipimpin penjabat, memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata kemiskinan nasional yang sebesar 9,71%, 54% tingkat pengangguran diatas rata-rata nasional yang mencapai 6,49%, dan sekitat 55% IPM kategori sedang dan rendah.

Melihat tantangan-tangan tersebut, maka pemerintah harus menyiapkan Penjabat yang mumpuni, yang memiliki pemahaman atas daerahnya, dan yang memiliki legitismasi dari warga yang akan dipimpinnya. 

Untuk itu, penulis memandang Pemerintah perlu segera  membahas aturan yang mengatur proses perekrutan, pengangkatan, pengawasan dan pemberhentian yang bersifat transparan, akomodatif, dan partisipatif.

*) Penulis adalah Alumni FH UMJ

Facebook Comments
ADVERTISEMENT