Beranda Mimbar Ide Ingatan Lama

Ingatan Lama

0

Sebuah Cerpen, oleh : Carrisa Aqila Putri Mahendra

“Ingatan lama itu sungguh kembali…”
Anyer, 01 Februari 1883
“Hei Jen! Kemarilah”, ucap seorang gadis bernama Naresha,
“Kenapa Sha?”, jawab Jenandra,
“Kamu sudah buat PR?”, tanya Naresha,
“Sudah, Kalau kamu?”, Jenandra menanyakan kembali,
“Belum Jennn, bantuin yaaa??”, pinta Naresha,
“Kamu selalu begitu, huftt yasudah, sini, saya bantu kamu di sebuah tempat dekat pantai”, ajak Jenandra,
“Boleh saja, ayoo‼!”, jawab Naresha dengan semangat.

Jenandra pun membantu Naresha membuat tugasnya itu. Sore berganti malam, suara hening yang disertai suara ombak kecil, membuat desa ini sangat hangat dan damai. Ombak itu kejar berkejaran dengan gembira, seperti anak kecil yang lari menuju pelukan seorang ibu yang riang gembira.

Sementara itu. Terdengar suara langkah kaki menuju dapur, “Lagi masak apa Buk?”, tanya Naresha dengan wajah yang sangat penasaran apa yang dimasak oleh Ibuknya itu.

“Masak ikan, Ndook. Hari ini kita hanya bisa makan ini saja, tidak apa?”, jawab Ibuk sambil memasak ikan bawal yang hanya cukup untuk 2 orang saja.

“Tidak apa kok Buk, yang penting kita masih bisa makan”. Ucap Naresha seraya berjalan ke ruang tamu.

Setibanya Naresha di ruang tamu suasana berubah menjadi tegang, ia melihat Ayu (adik Naresha) yang sedang dibentak dan dipukuli oleh bapak,

“PIYE KAMU NDOK! PUAS KOWE MEMPERMALUKAN BAPAK!? HA? JAWAB KOWE!”, bentak Bapak disertai pukulan yang sangat kencang.

“Pak, berhenti Pak..! Deweke ora salah apa-apa loh, Pak”, ucap Naresha disertai perasaan yang cemas terhadap adiknya.
“KOWE JANGAN MEMPERKERUH SUASANA! ANAK-ANAK SEPERTI KALIAN INI PERLU DIBERI PELAJARAN‼ BISANYA HANYA MEMPERMALUKAN BAPAK SAJA”, bentak Bapak ke Naresha sembari mendorong dengan kencang sehingga Naresha terjatuh,
“MBAKK‼ Mbak tidak apa-apa??”, jawab Ayu seraya menolong Naresha,
“Rapopo Dek, hanya sakit saja punggung mbak..”, jawab Naresha dengan muka yang menahan sakit.

Ya, Kejadian seperti ini sudah menjadi kebiasaan keluarga kecil ini, sementara itu Ibuk yang baru tiba sembari membawa piring berisi ikan dan nasi hangat, lekas menaruh piringnya di meja dan cepat-cepat membantu putri-putrinya itu,
“KOWE SELALU SAJA BEGINI. KAPAN KOWE SADAR HAH!? Kita capek.. Pak.. Apa Bapak ora capek..?” Ucap Ibuk.
“SAYA TANYA BALIK, APAKAH MEREKA TIDAK LELAH MEMPERMALUKAN SAYA!?”, tanya balik Bapak dengan nada bicara yang sangat keras.

“Mereka mempermalukan kowe gimana, Pak? Mereka masih gadis loh Pak. Bapak tega sekali ya..” Jawab ibu seraya masuk kamar.

“SUDAHLAH! KALIAN GA NGERTI‼”. Ucap Bapak sembari keluar rumah.

Semua semut yang sedang menggopong butiran nasi dan ikan diam seketika, suasana hening. Tidak menakutkan bagi hewan mungil itu, sungguh tidak dimengerti alasan pertengkaran itu berasal dari mana dan mengapa mesti seribut itu. Kawanan semut yang berada di sudut kanan itupun tak tahu harus sedih atau gembira; suasana mencekam namun nasi sudah ada di tangan. Tak lama kemudian ada angin besar disertakan dengan gempa yang lumayan besar.

“Tolongggg, Tolongggg”, teriak Bapak meminta pertolongan, “Ibuuuu ayoooo keluarrrr”, ajak Naresha. Mereka pun berlari dengan kencang ke tempat yang aman. Setelah hanya satu menit saja gempa itu berlangsung, kemudian seakan-akan tiba-tiba reda.

Tak lama kemudian air di laut pun surut, warga di desa itu sangat khawatir, dan kekhawatiran itu pun ternyata terjadi lima menit setelah gempa. Ombak besar atau yang sering disebut tsunami itu menghantam desa tersebut, warga pun berlarian mencari pertolongan, berharap ada sesuatu yang menolong mereka, ternyata harapan mereka tidak terkabul.
Pagi hari setelah kejadian
“Euhh, S-seseorang t-tolong b-b-bantu sayaa…”, suara itu terdengar oleh tim evakuasi. Tim evakuasi segera menolong korban satu itu dan membawanya menuju rumah sakit terdekat, ternyata korban yang dimaksud adalah Naresha.

Kondisi rumah sakit itu sangat ramai, korban demi korban dari tsunami itu terus berdatangan, sehingga rumah sakit itu tidak bisa menampung Naresha. Akhirnya tim evakuasi pun bergegas menuju rumah sakit yang lain.

Lima menit kemudian, mereka sudah sampai di rumah sakit tersebut. Luka yang dialami Naresha tidak terlalu parah, jadi perawatannya pun tidak lama.
Sebulan kemudian
Naresha akhirnya sembuh total, ia hanya perlu istirahat yang cukup. Naresha pergi melihat desa, ia sangat sedih karena desa itu sudah hancur. Setelah sambil melihat-lihat keadaan desanya, ada momen yang paling menyedihkan.

Ia berjalan kurang lebih 500 meter dari desanya itu, ia melihat pemakaman ibunya, adeknya dan ayahnya, ia pun langsung mengunjungi makam itu dan menangis sesegukan. Ia pikir keluarganya selamat, kenyataannya berbanding 180 derajat dari yang terpikirkan. Setelah setengah tahun, akhirnya Naresha hidup tenang dan merelakan keluarganya.

*) Penulis adalah Siswi Hilaris School Tangerang-Banten, Anak didik Sir Syarif al-Bimawi

Facebook Comments
ADVERTISEMENT