Beranda Mimbar Ide Diskursus Relasi Kuasa dan Tebang Pilih Korban

Diskursus Relasi Kuasa dan Tebang Pilih Korban

0

Oleh: Muh. Deny Syafei Yulia Dwi Putra*

Errare humanum est, trupe in errore perseverare (Membuat kekeliruan adalah manusiawi, tapi tidak baik untuk terus mempertahankan kekeliruan. Sebait kalimat yang pas di tujukan kepada kasus viral dan heboh sejagat indonesia yakni penabrakan mahasiswa UI oleh mobil oknum purnawiran kepolisian. Kecelakaan lalu lintas  menewaskan Hasya merupakan mahasiswa UI, menimbulkan sebuah problematika ikhwal ditetapkannya sebagai tersangka korban kecelakaan tersebut. “Sudah jatuh, ketindih tangga pula” seuntai kata untuk korban kecelakan yang membutuhkan keadilan. Kekeliruan rekam konstruksi memacu nalar logika penulis sehingga memunculkan spekulasi dengan menilik sebuah Kejanggalan demi kejanggalan dalam penanganan peristiwa tersebut. Ada sebuah pertanyaan krusial Mengapa korban ditetapkan sebagai tersangka. Apakah ada udang dibalik batu. Hukum tidak tebang pilih namun refleksi kepentingan yang membuatnya bergerak kearah pilihan ketidakadilan terhadap korban kecelakaan menewaskan mahasiswa UI.

Tebang Pilih Korban

Tidak sedikit menjadi perhatiana publik dalam kasus kecelakaan tersebut, karena terdapat beberapa kejanggalan pada proses penyelidikannya. salah satunya, Penyidik polisi menetapkan korban kecelakaan tersebut, sebagai tersangka tanpa adanya penjelasan atau dasar hukum yang jelas. Dan penetapannya sebagai tersangka pun tidak sesuai dengan aturan didalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pasal 77 disitu diterangkan : Hak menuntut hukum gugur (tidak laku lagi) lantaran si terdakwa meninggal dunia. Hal ini juga tidak sesuai dengan syarat-syarat penetapan tersangka yang diatur dalam KUHAP yang kemudian telah disempurnakan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No.21/PUU-XII/2014, dimana putusan tersebut harus berdasarkan 2 alat bukti sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya. Jadi dari 2 alat bukti tersebut harus ada tersangka dan tersangkanya harus masih hidup, dan bisa dilakukan pemeriksaan sehingga 2 alat bukti yang menurut putusan Mahkamah Konstitusi bisa terpenuhi. Nah yang menjadi persoalan mahasiswa yang ditabrak oleh pensiunan polisi ini meninggal dunia, jadi menurut saya penetapan tersangka oleh penyidik polisi kepada mahasiswa yang meninggal  dunia dikarenakan ditabrak oleh pensiunan polisi ini tidak sesuai dengan undang-undang atau aturan yang berlaku. Kalaupun penyidik polisi berpedoman kepada pasal 310 ayat (4) berbunyi “Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 12.000.000”. sehingga langsung menetapkan korban kecelakaan sebagai tersangka. Ini merupakan interpretasi keliru dan ambigu. Karena unsur didalam pasal 310 ayat 4 itu tidak terpenuhi yaitu ”Kelalaian kecelakaan yang mengakibatkan orang lain meninggal” akibatnya harus ditujukan kepada ”orang lain”, bukan untuk ”Diri sendiri”. Bagaimana mungkin dia menjadi tersangka atas kelalaiannya sendiri, Jadi hal ini perlu untuk dikaji ulang berdasarkan rekonstruksi fakta yang terjadi di TKP, menurut penulis polisi harus mencabut status tersangka dari korban kecelakaan tersebut, karena memang tidak sesuai dengan pasal yang berlaku, juga akan mencemarkan nama baik almarhum korban dan melukai hati pihak keluarga, serta harus ada pertanggung jawaban pemulihan nama baik kepada korban, atas dasar ketidakprofesionalan pihak kepolisian dalam melakukan prosedur penetapan tersangka kepada korban hasya.

Relasi Kuasa

Penulis menduga adanya implikasi kekuatan kekuasaan yang mencoba bermain-main didalam institusi ini, hal ini sejalan dengan perkataan Thomas ”Relasi Kuasa power relation adalah hubungan antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya berdasarkan ideologi tertentu. Kekuasaan power adalah konsep yang kompleks dan abstrak, yang secara nyata mempengaruhi kehidupan mereka. Selain itu kekuasaan juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan pemangku kepentingan, untuk menentang atau mendukung individu atau kelompok lainnya”. Bukan tidak mungkin menjadi perbincangan ramai dan menjadi berita nasional, karena hal yang menyangkut institusi ini sudah beberapa kali terjadi, bahkan kasusnya harus timbul dulu kepermukaan dan menyebar luas seperti virus, sehingga barulah menjadi perhatian lebih kepada para petinggi polri. Proses rekonstruksi telah dilakukan oleh pihak kepolisian dimana ada beberapa hal yang tidak sesuai, seperti lambatnya penanganan pertama untuk membawa korban langsung kerumah sakit dengan menunggu ambulance. serta menurut pihak keluarga korban, adanya sikap arogan pelaku kepada orang tua korban saat berada dirumah sakit, dan beberapa hal lainnya. Hasil dari proses rekonstruksi ini membuat penyidik kepolisian mencabut status tersangka yang melekat kepada hasya atas dasar ketidaksesuaian fakta-fakta pada proses rekonstruksi ulang tersebut. Purnawirawan polisi Susno Duadji angkat bicara disalah satu wawancara  stasiun tv, beliau mengatakan ”Dari segi peristiwa ini sebenarnya kasus biasa, kecelakaan lalu lintas memang sering terjadi, tetapi ada yang aneh. Orang mati entah ditabrak atau menabrak yang jelas dia mati, kok jadi tersangka. Kenapa? Orang mati jelas dalam definisi hukum dia bukan lagi menjadi subjek hukum, tidak bisa lagi dimintai pertanggungjawaban hukum”. Dan kasusnya pun di SP3 tanpa keterangan yang jelas, sehingga saya berasumsi bahwa terdapat adanya perbuatan diskriminasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian. ”Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang terhadap perorangan atau kelompok berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas seperti ras, suku, agama atau keanggotaan kelas-kelas sosial” (Fulthoni, et. al).

Menarik benang merah kasus ini, bahwa prosedur penyelidikan harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku, siapapun warga negara tanpa membedakan ras, suku, agama dan kelas sosial lainnya sehingga mampu menciptakan rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, seperti termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, ”Negara indonesia adalah negara hukum. Oleh karenannya setiap Warga Negara Indonesia wajib menaati hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945”. Hukum sesungguhnya tidak menghendaki tebang pilih. Namun kekuatan relasi kuasa yang absolut menggenggam hukum sehingga memantik ketidakadilan korban. Kesalahan fakta-fakta dapat dimafkan tetapi kesalahan akan mengetahui hukum dapat membawa kekeliruan fatal. Sebagai penutup Equum et bonum est lex legum (apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum).

)*Penulis adalah Alumni STIH Bone

Facebook Comments
ADVERTISEMENT