Beranda Mimbar Ide Modal Milyaran, Pemilu Dimata Pendatang Baru

Modal Milyaran, Pemilu Dimata Pendatang Baru

0

Oleh : M. Candra Haskar*

Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tahapan Pemilu 2024 sedang berjalan, ini dijadikan momentum yang baik bagi para kaum ber uang untuk terlibat langsung mencalonkan diri sebagai peserta untuk mengisi kursi kursi legislatif.

Banyak diantara mereka dengan penuh percaya diri menyatakan sikap siap bertarung.

Tak tanggung tanggung persiapan kekuatan keuangan yang terbilang wah mereka gembor gemborkan.

Sebagai pengawas pemilu Melihat pemikiran demikian sangat disayangkan, Mengapa ?  karena dalam proses perjalanan demokrasi Indonesia, kali ini seharusnya sudah bebas dari sekian banyak asumsi beli suara dikalangan para bakal calon peserta pemilu. Salah satu konsentrasi pengawas pemilu adalah bagaimana menghilangkan praktek politik uang dikalangan masyarakat. Bukan berarti peserta harus tanpa uang, tetapi sebagai calon pemimpin seharusnya keuangan tidak dijadikan tolak ukur kekuatan. Dalam aturanpun dijelaskan bahwa ada beberapa tahapan yang akan dilalui para calon dan itu membutuhkan biaya yang disebut dengan istilah cost politics.

Bukan berarti biaya beli suara atau politik uang. Nah ini yang harus diluruskan terhadap persepsi para pendatang baru yang sejauh ini menggaungkan hitung hitungan meraih suara dengan ketetapan harga.

Sejarah pemilu sejak tahun 1955 hingga tahun 2019 yang lalu banyak kasus politik uang dan tindakan melawan hukum lainnya yang terkait pemilu terjadi.

Ditahun 2023 ini sangat di butuhkan kekuatan massal dalam melawan tindakan tersebut demi menyelamatkan Demokrasi bangsa ini.

Dalam Pasal 515 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017, yakni “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.

Soal pengaturan politik uang juga diatur lebih lanjut dalam Pasal 523 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017, baik pada saat kampanye, masa tenang, maupun pada hari pemungutan suaranya berlangsung, praktik semacam ini juga dilarang dan dikenakan sanksi pidana dan juga denda.

Dalam rangka mewujudkan pemilu yang demokratis, terdapat standar internasional untuk menguji apakah pelaksanaan pemilu sudah berjalan secara demokratis atau belum.

Setidaknya terdapat 15 aspek kriteria pemilu demokratis. Standar Internasional ini merupakan syarat minimum bagi kerangka hukum yang harus terpenuhi untuk menjamin pemilu demokratis.

Standar ini bersumber pada berbagai deklarasi dan Konvensi Internasional maupun Regional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, perjanjian internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik 1960, Konvensi Eropa 1950 untuk perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Asasi serta Piagam Afrika 1981 tentang Hak Asasi Manusia dan Masyarakat.

Berdasarkan dokumen tersebut, dirumuskan 15 aspek standar pemilu demokratis, diantaranya:

1. Penyusunan kerangka hukum pemilu;

2.Pemilihan sistem pemilu;

3.Penetapan daerah pemilihan;

4.Hak untuk memilih dan dipilih;

5.Badan penyelenggara pemilu;

6.Pendaftaran pemilih dan daftar pemilih;

7.Akses kertas suara bagi partai politik dan kandidat

8.Kampanye pemilu yang demokratis;

9.Akses media dan kebebasan berekspresi;

10.Pembiayaan dan pengeluaran;

11.Pemungutan suara;

12.Penghitungan dan rekapitulasi suara;

13.Peranan wakil partai dan kandidat;

14.Pemantau pemilu; dan

15.Kepatuhan terhadap hukum dan penegakan peraturan pemilu.

Dari sekian standar Demokrasi tersebut, pada poin ke 10 pembiayaan dan pengeluaran.

Dari sekian standar Demokrasi tersebut, pada poin ke 10 pembiayaan dan pengeluaran bukan dimaksudkan sebagai politik uang. sebab politik uang adalah perbuatan curang dalam pemilu yang hakikatnya sama dengan korupsi. Semakin besar dana yang dikucurkan pada saat pemilihan, semakin besar pula potensi melakukan tindakan korupsi saat menjabat.

Masa depan negara Indonesia harus dipastikan berada ditangan orang orang yang berintegritas dan menjunjung tinggi moralitas, tentu pertarungan visi dan misi akan menjadi tolak ukur jatuhnya pilihan rakyat.

Nah, semua itu bisa diraih dengan mengenal secara utuh peserta pemilu tersebut.

Kedepan harapan kita masyarakat juga berperan aktif dalam menyadari, menyebarluaskan serta mengawasi secara bersama sama dalam menyukseskan pemilu yang bebas dari tindakan melawan hukum.

*) Penulis adalah Ketua Panwaslu Kecamatan Sukamaju Selatan Kabupaten Luwu Utara

Facebook Comments
ADVERTISEMENT