

Oleh : M. Miftahul Hidayat*
Bangsa sedang berada dalam ketimpangan, kesenjangan yang berdampak pada ketidakadilan. Tidak cukup dengan kabar maraknya kekerasan seksual yang terjadi pada institusi pendidikan, Ada hal yang sangat menjijikkan sekaligus membingungkan mengingat kejadian tersebut dilakukan oleh pihak (predator) yang selalu bersembunyi di balik lencananya. Masih banyak kelompok terpinggirkan yang terus menderita di tangan orang-orang yang seharusnya melindungi mereka.
Mereka adalah korban pelecahan seksual polisi.
Pengkhianatan terhadap kepercayaan orang-orang yang memandang mereka sebagai pelindung dan keselamatan dalam tinjauan data yang tersedia di The Crime Report menunjukkan bahwa pelanggaran seksual oleh polisi sangat mempengaruhi kaum muda dan masyarakat yang paling rentan. Dalam hal ini, mereka yang merasa berada di dalam cangkang kuasa yang besar. Oleh karena tepat jika Andrea Ritchie mengatakan bahwa “Pelanggaran seksual polisi adalah masalah yang tersembunyi dalam bayang-bayang.”
Bagaimana tidak, bahwa polisi memiliki begitu banyak kekuatan, dan mereka menggunakan kekuatan itu dengan cara yang sangat salah. Sama seperti yang dilakukan orang lain yang memiliki kekuatan. Misalnya, predator yang bersembunyi di balik jubah (agama), dosen cabul di perguruan tinggi. Lalu, seperti biasa polisi akan menjadi tempat mereka dapat melaporkan segala kejahatan yang dialami seseorang. Kecuali..,saya akan menjelaskannya dengan detail dibawah ini.
Ritchie, Researcher-in Residence sebagai peneliti yang fokus pada pembahasan ras, gender, seksualitas, dan kriminalitas di Barnard Center for Research on Women, percaya bahwa angka-angka yang kita ketahui, fakta yang kita ketahui tentang pelecehan seksual yang dialami beberapa orang hanyalah puncak gunung es. Saat ia mengamati para korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum polisi menunjukkan bahwa mereka memiliki motivasi yang lebih rendah daripada kebanyakan orang untuk melaporkan pelecehan tersebut.
Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat ada 18 kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota polisi di berbagai wilayah di Indonesia dalam kurun waktu Juli 2021 hingga Juni 2022. Bagaimana dengan mahasiswi (korban) yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun di atas makam ayahnya? Ditambah lagi, baru-baru ini kasus yang kemudian ramai diperbincangkan yaitu kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum polda Sulsel terhadap tahanan wanita di dalam sel (Makassar, Sulawesi Selatan) begitu pula yang terjadi di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
Kasus yang menimpa anak berusia 15 tahun sejak April 2022 hingga Januari 2023. Begitu mengerikan, hingga korban sempat kritis dan dioperasi untuk pengangkatan rahim. Selain itu, Polres Parigi Moutong mengungkapkan bahwa sebanyak 11 orang ditetapkan sebagai tersangka, di antaranya seorang oknum perwira polisi, kepada desa, guru dan mahasiswa.
Mari membayangkan masa depan bangsa yang diisi dengan Predator seperti mereka. Sangat kompleks. Polisi sebagai pelindung dan keamanan, kepala desa sebagai pemerintah yang adil, guru yang mengajarkan kebaikan, dan mahasiswa sebagai agent of change. Namun, dibalik itu masih terdapat orang-orang yang menggunakannya untuk memenuhi nafsunya.
Kemana kita akan mengadu?
Penulis merasa bahwa pembaca akan mulai paham di titik ini. Alasan korban tidak dapat melaporkan pelecehan tersebut ke KEPOLISIAN. Mari kita perjelas poin ini. Bayangkan saat para penyintas kekerasan seksual oleh oknum polisi adalah satu-satunya kekerasan seksual yang harus melaporkan penyerangan tersebut kepada orang yang melakukannya. Pada dasarnya imajinasi itu terbentuk dalam kepala kita, bahwa polisi hendak mengawasi dirinya sendiri.
Kurangnya Kontrol (Pelatihan)
Dalam hal ini, sebagai warga sipil biasa. Saya beranggapan bahwa pihak dapertemen kepolisian seharusnya dengan secara terbuka memperbaiki kembali program pelatihan mereka dan mempromosikan de-eskalasi, resolusi konflik dan taktik kepolisian yang lebih empati untuk membendung arus pertemuan kekerasan antara petugas dan warga sipil.
Saya merujuk pada Stan Mason bahwa bagian terbesar dari kepolisian, yang tidak disadari oleh profesinya, adalah mereka harus siap secara mental. Mengapa demikian? Sebagain besar berfokus pada keterampilan fisik dan taktis namun gagal mempersiapkan mereka pada apa yang mereka saksikan saat sedang berpatroli (persiapan mental). Bagaimana dengan petugas baru yang ketika melihat anak yang berumur enam tahun telah dilecehkan secara seksual, atau mereka mengambil foto telanjang korban karena mereka harus mengumpulkan bukti? Apakah mereka siap menangani itu?
Dalam sebuah studi tahun 2018 oleh Kantor Layanan Pemolisian Berorientasi Masyarakat menyatakan bahwa pekerjaan petugas polisi memiliki risiko tinggi (PTSD=gangguan stress pascatrauma) yang jika tidak ditangani dapat mengganggu kesehatan mental mereka dan menyebabkan disfungsi perilaku seperti penyalahgunaan zat dan agresi. Sejalan dengan itu, studi tahun 2015 oleh Walden University Collage of Social and Behavioral Sciences yang meneliti efek seringnya terpapar kekerasan dan trauma pada petugas polisi ditemukan bahwa paparan yang terus menerus terhadap elemen-elemen ini tentu dapat mengakibatkan perilaku hiper- agresif, impulsive dan terlalu percaya diri.
Dan saat mereka keluar dari akademi (pendidikan) mereka akan menemukan dua tipe yang tidak dapat dihindari. Pertama adalah mereka memiliki orang-orang yang yang benar-benar berkomitmen untuk melatih orang menjadi petugas yang jujur seperti Hoegeng, dan kedua mereka akan memiliki orang-orang yang ingin disembah seperti dewa. Sehingga saat tatanan moral dan nilai-nilainya tidak kokoh, maka akan mudah untuk mereka dapat terpengaruh. Oleh karena itu, nampaknya pihak kepolisian harus kembali bermuhasabah pada seluruh elemen tubuh yang mencakup kepolisian, baik fisik maupun psikis. Penyakit yang mengakar pada organ tubuh jika tidak diatasi (diatasi) maka akan mempengaruhi organ lain. Sekian
.Allahu a’lam Bissawab. Wassalam.
*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta