Beranda Hukum RUU Perampasan Aset: Dinamika Perlawanan Banalitas Korupsi di Indonesia

RUU Perampasan Aset: Dinamika Perlawanan Banalitas Korupsi di Indonesia

0

Oleh : Taufik Husain*

Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi secara meluas dan sistematis merupakan salah satu persoalan yang terus dihadapi bangsa Indonesia sampai hari ini. Meski disadari sepenuhnya bahwa selalu ada jalan untuk melakukan pemberantasan, namun, tidak ada jawaban sederhana untuk menjelaskan bagaimana cara efektif dan efisien untuk mengatasinya.

Praktik korupsi sebagaimana sudah diketahui, tidak hanya mengancam lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan lembaga-lembaga demokrasi serta hak-hak dasar warga negara, tetapi juga turut serta menghambat laju pembangunan dan memperparah masalah kemiskinan struktural di sebuah negara.

Parahnya korupsi di tanah air tergambar dalam laporan terbaru dari Transparency Internasional tentang indeks persepsi korupsi Indonesia 2023 yang mengalami penurunan terburuk dalam sejarah reformasi, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tercatat anjlok dari periode pencapaian tertingginya di tahun 2019 dengan skor 40 menjadi 34 poin dari skala 0-100 dan menduduki peringkat 115 dari 180 negara di tahun 2023, peringkatnya melorot dari 110 pada tahun 2022 menjadi 115 tahun 2023, dan dari 10 negara di Asia Tenggara Indonesia berada pada peringkat 6.

Skor ini merupakan penurunan paling drastis sejak 1995. Situasi ini menampilkan respon terhadap praktik korupsi yang masih cenderung berjalan lambat bahkan terus memburuk akibat minimnya dukungan yang nyata dari para pemangku kepentingan. Penurunan IPK ini turut menjatuhkan IPK Indonesia secara global, yang saat ini berada pada peringkat ke-115 dimana sebelumnya pada tahun 2022 misalnya tercatat berada pada peringkat ke-110.

Salah satu indikator yang menyebabkan penurunan IPK adalah penegakan dan sistem hukum antikorupsi yang belum efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi. Menurut pantauan ICW, dalam lima tahun terakhir penindakan kasus korupsi di dalam negeri terus meningkat hingga mencapai rekor baru pada 2023, yakni 791 kasus dengan total potensi kerugian negara mencapai Rp28,4 triliun.

Tidak hanya itu, ditengah ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga penegak hukum yang lain untuk memberantas korupsi, persoalan itu kian diperparah dengan kondisi KPK sebagai lembaga tumpuan semangat reformasi yang kredibilitasnya menurun sejak revisi UU 30 tahun 2002 menjadi UU No 19 tahun 2019 dan belakangan kehilangan jatidiri setelah pimpinannya Lili Pintauli mengundurkan diri karena dugaan gratifikasi. Puncaknya Firli Bahuri ditetapkan tersangka korupsi kasus Kementerian Pertanian.

Korupsi yang telah terjadi secara sistemik dan menggerogoti peran negara dalam menyelenggarakan pelayanan yang dapat meningkatkan kesejahteraan warga negara secara adil dan berkelanjutan ini tentu mengakibatkan keuangan negara yang seharusnya lebih banyak dipergunakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat juga menjadi semakin berkurang.

Setiap ancaman dan hambatan terhadap tercapainya kesejahteraan bangsa ini merupakan pelanggaran terhadap cita-cita bangsa. Akan tetapi, sebagai sebuah negara hukum, langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi harus dilandaskan kepada asas kepastian hukum dan juga harus dilandaskan kepada keadilan sebagai cita-cita bersama. Untuk itu, dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang modus operandinya juga semakin berkembang, Indonesia sudah melakukan formulasi dengan pendekatan perampasan aset tanpa pemidanaan.

Berdasarkan pengalaman Indonesia dan negara-negara lain menunjukan bahwa mengungkap tindak pidana, menemukan pelakunya dan menempatkan pelaku tindak pidana di dalam penjara (follow the suspect) ternyata belum cukup efektif untuk menekan tingkat kejahatan jika tidak disertai dengan upaya untuk menyita dan merampas hasil tindak pidana. Dalam hal ini membiarkan pelaku tindak pidana tetap menguasai hasil dan instrumen tindak pidana memberikan peluang kepada pelaku tindak pidana atau orang lain yang memiliki keterkaitan dengan pelaku tindak pidana untuk menikmati hasil tindak pidana dan menggunakan kembali instrument tindak pidana, atau bahkan mengembangkan tindak pidana yang pernah dilakukan.

Dampak dari korupsi dan kejahatan terorganisasi lainnya yang sangat luas, terutama dari aspek ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat, ditambah pula dengan ongkos untuk melawan berbagai kejahatan yang beririsan dengan tindak pidana korupsi begitu mahal, menjadikan aspek penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana menjadi bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan dan mengembalikan kerugian keuangan negara.

Bola panas RUU Perampasan Aset hingga kini masih terus bergulir. Terakhir, Presiden Jokowi telah mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Mei tahun 2023. RUU Perampasan Aset ini selaras dengan upaya pemulihan aset yang menjadi fokus utama komunitas global dalam rangka penanggulangan tindak kejahatan, tidak hanya kejahatan tindak pidana korupsi, tetapi juga jenis tindak pidana lainnya seperti tindak pidana perdagangan orang, narkotika, terorisme, dan lainnya.

Salah satu konsep yang termuat dalam RUU Perampasan Aset yang kini masih menunggu proses pengesahan adalah konsep perampasan aset tanpa pemidanaan atau Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture sebagaimana yang termuat dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pemberantasan Korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003. NCB adalah konsep pengembalian kerugian negara yang pertama kali berkembang di negara Common Law, seperti Amerika Serikat. Konsep ini bertujuan untuk mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindak kejahatan tanpa terlebih dahulu menjatuhkan pidana pada pelakunya.

Konsep perampasan aset tanpa pemidanaan Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture ini merupakan bentuk pembaruan terhadap sistem hukum penanganan kasus tindak pidana yang saat ini yang masih berfokus pada tuntutan perampasan aset yang bergantung pada tuntutan kesalahan terdakwa dengan penggunaan standar pembuktian yang digunakan harus cukup bukti.

Meskipun awalnya konsep perampasan aset tanpa pemidanaan ini mulanya berasal dari sistem hukum negara common law, bukan berarti tidak dapat diterapkan di negara-negara civil law. Pasal 54 ayat (1) huruf c UNCAC 2003 telah mendorong semua negara pihak (common law maupun civil law) untuk mempertimbangkan tindakan-tindakan yang dianggap perlu sehingga perampasan aset hasil korupsi dimungkinkan tanpa adanya proses pidana dalam kasus-kasus dimana pelanggar tidak dapat dituntut dengan alasan kematian, pelarian atau tidak ditemukan, maupun dalam kasus-kasus yang lainnya. Dalam Konsep ini, upaya perampasan aset tidak perlu menunggu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk menyatakan terdakwa bersalah dan yang dituntut adalah aset atau barang (in rem), bukan pelaku (in personam).

Disamping itu, kendala-kendala yang timbul dalam upaya pengembalian aset melalui mekanisme pidana dapat teratasi. Walaupun pelakunya sakit, tidak ditemukan atau meninggal dunia, perampasan aset tetap dapat dilakukan secara fair karena tetap melalui suatu sidang pengadilan. Dengan mekanisme baru ini, sistem pembalikan beban pembuktian dapat ditempatkan secara tepat sesuai standar internasional yang menggariskan, bahwa sistem pembalikan beban pembuktian tidak patut diterapkan dalam peradilan pidana dimana kegagalan dalam pembuktian menurut sistem tersebut dijadikan sebagai dasar untuk menghukum atau memidana seseorang secara fisik.

Masalah tingginya tingkat korupsi di Indonesia telah menjadi bahan kajian serius pasca reformasi 1998. Ini dibuktikan dengan upaya untuk mengubah orientasi penanganan tindak pidana korupsi dalam RUU Perampasan Aset, yaitu dari pendekatan follow the suspect (mencari, menangkap dan memenjarakan si pelaku) menjadi follow the money atau menelusuri aliran dana dalam rangka merampas aset yang bersumber dari tindak pidana.

RUU Perampasan Aset ini bukan hanya bertujuan untuk merampas aset hasil korupsi, tapi semua aset yang terkait dengan tindak pidana dengan nominal 100 juta dan ancaman pidana minimal 4 tahun, dan juga ada 6 jenis aset yang dapat dirampas seperti yang tercantum pada Pasal 5 ayat (1) dan (2). Pertama, aset hasil tindak pidana atau aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana. Termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau korporasi, baik berupa modal, pendapatan, maupun keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut. Kedua, aset yang diketahui atau patut diduga digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana. Ketiga, aset lain yang sah milik pelaku tindak pidana sebagai pengganti aset yang telah dinyatakan dirampas oleh negara. Keempat, aset yang merupakan barang temuan yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.

Aset lain yang dapat dirampas, meliputi aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan aset tindak pidana yang diperoleh sejak berlakunya UU ini, selain itu aset yang merupakan benda sitaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana.

Semangat yang mendorong berbagai pihak untuk mewujudkan bentuk penanganan kasus korupsi dengan model pendekatan baru ini punya akar masalah yang jelas, yaitu dengan melihat upaya mengungkap, menemukan dan menempatkan pelaku kejahatan di dalam penjara ternyata belum cukup efektif untuk menekan tingkat kejahatan jika tidak disertai dengan tindakan menyita dan merampas hasil tindak pidana. Dalam hal ini, membiarkan pelaku atau orang lain yang memiliki keterkaitan dengan pelaku tindak pidana untuk tetap menikmati hasil kejahatannya sama saja memberi celah agar mereka dapat menggunakan kembali hasil kejahatan tersebut untuk mengembangkan tindak pidana yang pernah dilakukan.

Upaya penyembunyian hasil tindak pidana korupsi semakin lama juga semakin kompleks. Tidak hanya disimpan atau disembunyikan dalam negeri, namun hasil kejahatan tersebut kini disembunyikan melampaui lintas batas wilayah negara. Hal inilah yang menjadi salah satu hambatan perampasan hasil tindak pidana korupsi di Indonesia.

Korupsi pada dasarnya merupakan kejahatan yang bersifat voluntary, yang tumbuh dan berkembang secara dinamis seiring laju perkembangan zaman. Oleh karenanya, waktu demi waktu, ragam korupsi semakin bertambah, dan tekniknya juga semakin canggih. Melihat kenyataan kenyataan terhadap apa yang telah ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi itu, maka diperlukan hal luar biasa dalam hal penanggulangan serta pemberantasan tindak pidana korupsi. Pendekatan perampasan aset tanpa pemidanaan membawa harapan dari keterpurukan Indonesia akibat korupsi tersebut adalah dengan melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang tidak hanya berorientasi pada penghukuman terdakwanya, tetapi juga perampasan aset khususnya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

Pentingnya pendekatan ini dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia mengingat konsep perampasan aset tanpa pemidanaan ini menjadi salah satu strategi untuk merampas aset milik tersangka kasus korupsi yang belum sempat diseret ke persidangan karena melarikan diri dari proses hukum, atau kasus sindikat penipuan online, judi online dan jaringan narkoba, pelakunya tidak muncul namun uang hasil kejahatannya dapat ditelusuri. Dalam kasus seperti ini, negara dapat merampas aset meski tindak pidananya telah memasuki masa kedaluwarsa.

Mekanisme perampasan sejatinya dengan terang telah mendeskripsikan fenomena banalitas korupsi yang sejak dulu menjadi masalah di negeri ini. Kondisi demikian dapatlah dikatakan mencerminkan kondisi budaya hukum yang berjalan dalam sebuah negara, sebab hukum pada hakikatnya merupakan kaidah sosial yang tidak lepas dari nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat.

RUU Perampasan aset yang sampai hari ini masih keluar masuk Prolegnas memang masih seringkali menuai kontroversi dengan perdebatan karena satu sisi dinilai berpotensi bersinggungan dengan HAM, terutama terkait dengan hak milik, perlindungan hukum yang setara, dan sistem peradilan.

Disisi lain, RUU ini dimaksudkan untuk memerangi berbagai macam kejahatan keuangan dalam negara, namun yang perlu menjadi catatan bahwa fenomena penyalahgunaan kekuasaan yang menjadikan penegakan hukum sebagai komoditas politik, kualitas aparat penegak hukum yang tidak memadai, ketidakjelasan terkait aturan turunan yang menjadi pedoman teknis pelaksanaan, serta muatan-muatan RUU Perampasan Aset yang sewaktu-waktu masih dapat berubah bukanlah dalam proses pembahasan di DPR bukanlah sebuah kekhawatiran yang tidak berdasar, olehnya itu penting untuk mengatakan bahwa jangan sampai perdebatan tentang RUU Perampasan Aset ini hanya diwarnai oleh perdebatan politis dan transaksional semata, bukan perdebatan yang bersifat substansial agar muatan-muatannya dengan secara ketat mengatur dan memastikan agar jaminan terhadap proses hukum dan peradilan yang jujur menjadi dasarnya.

RUU Perampasan Aset secara formil diharapkan mampu menjawab harapan publik terkait perampasan aset yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi atau tindak pidana pencucian uang tanpa perlu membuktikan tindak pidana asalnya (predicate crime). Terlepas dari semangat dalam upaya mewujudkan konsep perampasan aset tanpa pemidanaan demi mewujudkan Indonesia yang bersih, RUU Perampasan Aset ini nantinya diharapkan tidak membuka celah bagi timbulnya ketidakadilan dalam proses penerapannya.

Mengutip ungkapan orang yang pertama menyuarakan cita-cita kaum sosialis bernama Francois Noel Babeuf (1760-1797) yang juga merupakan agitator politik dan jurnalis pada masa revolusi Perancis, bahwa secara etis apa yang dicuri dari rakyat harus sedapat mungkin dirampas kembali. Oleh karena itu, hak masyarakat yang dicuri harus dikembalikan kepada rakyat yang berhak atasnya.

*) Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT