Beranda Mimbar Ide HUT RI Ke-79; Kemerdekaan yang Dirampas Kotak Kosong

HUT RI Ke-79; Kemerdekaan yang Dirampas Kotak Kosong

0

Oleh : Abdul Gafur*

Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang Ke – 79 akan menjadi tahun dimulainya pemerintahan yang baru, 2024 menjadi tahun terakhir kekuasaan pemerintahan Presiden Jokowi setelah memimpin Indonesia selama sepuluh tahun atau dua periode kepemimpinan presiden, 20 Oktober 2024, Presiden Jokowi akan menyerahkan tampuk kepemimpinan nasional pada Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih, selain kepemimpinan nasional yang akan berganti, 2024 juga akan melalui fase baru dalam sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Pilkada 2024 akan dicatat dalam sejarah sebagai Pilkada serentak terbesar yang pernah terjadi, Pilkada yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 ini, akan dilaksanakan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota, dengan total daerah yang akan melaksanakan pemilihan sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 Provinsi, 415 Kabupaten, dan 93 Kota. Pada pilkada serentak ini hanya Provinsi DIY dan Kota Administratif yang ada di DKJ yang tidak mengikuti Pilkada, secara aturan kepada daerah pada wilayah tersebut tidak dipilih melalui pilkada.

Pelaksanaan Pilkada sejatinya adalah upaya untuk memperkuat konsolidasi demokrasi di tingkat local, pemilihan langsung ini bukan hal baru dalam proses politik Indonesia, sejak 2004 setelah dilaksanakan pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya, setahun berikutnya pada 2005 Pilkada juga dilaksanakan secara langsung untuk pertama kalinya sebagai bagian dari tuntutan reformasi dan berlakunya sistem otonomi daerah, akan tetapi 2024 menjadi yang pertama dalam pelaksanaan Pilkada langsung serentak yang diikuti seluruh daerah otonom yang ada di Indonesia.

ADVERTISEMENT

Pilkada serentak yang dilaksanakan secara langsung ini adalah manifestasi demokratisasi, secara teoritis pemilihan langsung merupakan instrumen penting dari demokratisasi itu sendiri, melalui pemilihan langsung, masyarakat dapat melibatkan diri secara riil dalam penentuan kepala pemerintahan yang nantinya akan memproduksi kebijakan publik. Huntington dalam menerjemahkan pendapat Schumpeter tentang demokrasi menjelaskan bahwa demokrasi secara prosedural esensinya adalah pelaksanaan pemilihan umum, selain itu, Huntington juga menambahkan bahwa Pemilu tidaklah cukup, akan tetapi pemilu yang bebas, jujur dan kompetitif harus berkorelasi dengan kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, kebebasan pers serta adanya kelompok oposisi yang dapat memberikan kritik terhadap penguasa tanpa rasa khawatir.

Pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2024 diharapkan menjadi kado kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia di usia republik yang ke – 79, Salah satu perwujudan kemerdekaan adalah adanya kemerdekaan dalam politik, dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), Hak Sipil dan Politik merupakan hak dari seluruh warga Negara, dimana perwujudan dari hak politik diantaranya adalah hak untuk dipilih, hak untuk memilih, kebebasan berserikat, kebebasan berpendapat serta akses terhadap informasi publik.

Hak politik tersebut adalah dasar utama terselenggaranya proses demokrasi yang baik, dengan pemenuhan hak tersebut, masyarakat diberikan kebebasan dalam menentukan kebijakan politik termasuk menentukan kepemimpinan politik, termasuk kepemimpinan politik di tingkat lokal. Demokrasi yang kuat ditentukan oleh partisipasi aktif dari seluruh warga negara dalam ruang-ruang sipil dan politik. Namun demikian pelaksanaan Pemilu maupun Pilkada tidak serta merta menjadikan proses demokratisasi berjalan dengan baik, dalam banyak kasus pemilu dan pilkada sekedar legitimasi untuk menetapkan seseorang menjadi pemimpin namun dalam prosesnya menegasikan hak-hak politik warga Negara.

Pilkada dapat dikatakan berjalan demokratis apabila dalam prosesnya warga Negara difasilitasi oleh sistem politik Negara yang memungkinkan haknya sebagai manusia politik yang merdeka dapat terpenuhi. Pada abad ke-20, demokrasi sudah menjadi sistem politik yang dianut mayoritas Negara yang ada di dunia yang termanifestasikan dalam bentuk demokrasi elektoral. Pemilihan umum merupakan pintu masuk demokratisasi yang memungkinkan para calon secara bebas bersaing guna memperoleh suara dan seluruh warga dewasa sebagai pemilik suara demikian Huntington memberikan penjelasan.

Mencermati dinamika pilkada 2024, kecenderungan untuk menegasikan hak warga Negara menjadi salah satu diskursus publik, bulan agustus sebagai bulan kemerdekaan harusnya memberikan harapan perbaikan masa depan republik, nyatanya ruang publik kita hanya disibukkan dengan bagi-bagi kue kekuasaan menjelang pelaksanaan pilkada sebagai kelanjutan kompromi elit pasca pemilu dan pilpres. Menuju pendaftaran dan penetapan calon kepala daerah, keterlibatan publik bisa dikatakan nihil, masyarakat hanya menjadi penonton menunggu hasil kompromi Partai Politik dan bagi-bagi jatah kekuasaan dari segelintir pemain politik.

Di berbagai daerah, kandidat mencoba memenangkan Pilkada tanpa lawan, dengan melakukan monopoli partai politik, rekomendasi parpol diborong seluruhnya sehingga tidak memungkinkan adanya kandidat lain, akhirnya hanya akan berhadapan dengan kotak kosong, di kasus yang lain, untuk menghindari gerakan publik memenangkan kotak kosong, maka diciptakan kandidat boneka, figur yang sama sekali tidak mengancam dan tidak punya peluang untuk memenangkan pertarungan.

Robert Dahl menekankan, bahwa demokrasi elektoral mewajibkan dua dimensi terpenuhi, yaitu dimensi kompetisi dan dimensi partisipasi, kedua dimensi ini menentukan suatu pemilihan dapat dikatakan demokratis atau tidak.

Kompetisi dimaksudkan memberikan kesempatan yang sama bagi warga negara untuk saling bersaing dalam memperebutkan posisi atau memperoleh akses terhadap kekuasaan melalui proses yang teratur dan tanpa kekerasan dalam bentuk pertarungan ide dan gagasan, sementara itu, Partisipasi dihadirkan agar publik dapat berpartisipasi aktif dalam pemilihan pemimpin dan penentuan kebijakan, tanpa menyingkirkan kelompok sosial yang lain.

Pertarungan kotak kosong atau pun kandidat boneka dalam pilkada tentu mengkhianati prinsip demokrasi, pernyataan elit politik yang mengatakan bahwa pilihan kotak kosong bagian dari pilihan demokrasi adalah kebohongan, karena esensi demokrasi dalam pilkada adalah adanya kompetisi dan partisipasi. Kotak kosong akan menghilangkan aspek kompetisi, karena dengan sendirinya menegasikan pertarungan ide dan gagasan sebagai referensi publik dalam menentukan pilihan, bahkan mengkampanyekan kotak kosong memiliki konsekuensi hukum. Pilkada dengan kotak kosong sudah pasti pilkada yang tidak demokratis.

Perampasan hak politik warga Negara dalam pilkada 2024 begitu terasa, dimensi kompetisi dihilangkan dengan kotak kosong atau pun dengan kandidat boneka, sementara dimensi partisipasi sama sekali tidak diberikan, penetapan calon kepala daerah sepenuhnya kompromi elit, calon kepala daerah bisa ditempatkan di daerah mana saja sesuai kompromi yang disepakati tanpa mempertimbangkan kehendak publik. Politik transaksional menjadi tontonan warga Negara di momen kemerdekaan republik yang ke 79. Masyarakat difungsikan sekedar untuk melegitimasi pilihan-pilihan penguasa politik melalui pilkada, tidak ada pilihan alternatif bagi publik.

Oleh karena itu perlawanan harus dihadirkan, masyarakat tidak boleh sekedar menjadi komoditas politik bagi kelangsungan kekuasaan yang membajak demokrasi melalui Pilkada, semangat agustus sebagai bulan kemerdekaan harus menjiwai bangsa ini, bahwa kemerdekaan dalam menentukan pilihan politik pada pilkada adalah hak warga Negara sebagai manusia yang merdeka, jangan membiarkan komparador politik merampas kemerdekaan kita melalui pilihan kotak kosong atau pun calon boneka, demokrasi harus terus diperjuangkan.

*) Penulis adalah Koordinator Jaringan DEEP Indonesia Sulawesi Selatan

 

Facebook Comments Box