Matakita.co, Surabaya- Memperhatikan situasi kebebasan akademik yang kembali mendapatkan serangan baik fisik dan psikis saat dan pasca aksi massa #Daruratdemokrasi. Hal ini terjadi di berbagai daerah di antaranya Jakarta, Bandung, Makassar, Samarinda, dan Semarang, hingga hari Senin 26 Agustus 2024 malam.
Pada Insiden tersebut Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengeluarkan pres rilis dengan mengecam Aparat Kepolisian Republik Indonesia agar menghentikan tindakan represif yang dilakukan terhadap demonstran. Adapun isi kecaman tersebut disampaikan sebagai berikut. (27/08/2024)
“Aparat keamanan telah menggunakan gas air mata, kekerasan fisik termasuk dengan menggunakan alat, melakukan penangkapan terhadap peserta aksi, serta diduga melakukan sweeping hingga masuk ke area mall”.
Bahwa Tindakan brutal yang dilakukan aparat tersebut memberikan efek trauma, dan bahkan menciptakan cedera permanen. Di Jakarta pada aksi pertama terdapat 39 korban yang mendapat serangan, bahkan terjadi penahanan oleh aparat kepolisian. Di Kota Bandung ada 2 korban luka parah, hingga berpotensi kehilangan bola mata akibat lemparan polisi.
Selain itu, KIKA pun membeberkan data korban lainnya yang berhasil dihimpun sebagai akibat dari tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian di Lapangan.
“Di Semarang ada 22 pelajar peserta aksi massa ditangkap dan tak boleh didampingi, hal serupa terjadi di berbagai kota lainnya yang menunjukkan brutalitas Kepolisian. Penahanan pelajar di Kota Semarang juga diikuti dengan terbitnya surat himbauan dari Kapolrestabes Semarang untuk manajemen sekolah menengah agar memberikan sanksi kepada pelajar yang ikut dalam aksi demonstrasi. Tindakan ini membahayakan partisipasi publik dan masa depan pendidikan bagi pelajar yang mendapatkan sanksi”.
Menimbang penggunaan kekuatan berlebih, kekerasan, dan/atau penangkapan sewenang-wenang dalam menangani aksi demonstrasi berisiko melanggar HAM, khususnya pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berkumpul secara damai serta hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin konstitusi dan UU 39 tahun 1999 tentang HAM Kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan aspirasi dalam dunia pendidikan tinggi juga merupakan hak yang melekat pada seluruh sivitas, termasuk dalam Pasal 19 Kovenan SIPOL (ICCPR) yang telah menjadi hukum Indonesia melalui UU No.12 Tahun 2005 sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, dan Pasal 13 Kovenan EKOSOB (ICESCR) menjadi hukum Indonesia melalui UU No.11 Tahun 2005) sebagai bagian dari hak atas pendidikan.
Selanjutnya KIKA pun mengingatkan aparat keamanan agar supaya memahami prinsip-prinsip kebebasan akademik yang merupakan dijamin oleh HAM.
“Aparat keamanan juga perlu memahami prinsip-prinsip kebebasan akademik yang juga disebut sebagai Surabaya Principles on Academic Freedom 2017 (SPAF) yang telah diadopsi dalam Standar Norma & Pengaturan (SNP) Kebebasan Komnas HAM, khususnya pada standar 4 dan 5, yaitu: (4). Insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan; (5). Otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik. Sehingga perenggutan, pendisiplinan, bahkan serangan terhadap kebebasan akademik kepada mahasiswa seperti yang terjadi selama aksi darurat demokrasi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran atas kebebasan akademik”. paparnya (**)