Beranda Kampus Mengapa Korban Pelecehan Seksual di Sekolah Enggan Bersuara?

Mengapa Korban Pelecehan Seksual di Sekolah Enggan Bersuara?

0

Oleh : Siti Naila Salsabila*

Isu pelecehan seksual di kalangan sekolah semakin marak terjadi. Sayangnya, pelecehan seksual ini seringkali menjadi permasalahan yang tersembunyi karena korban enggan untuk melaporkannya. Bagaimana tidak? Hal ini dipicu oleh rasa takut dan kekhawatiran yang dialami oleh korban. Muncul stigma negatif dari masyarakat yang menyatakan bahwa korban pelecehan seksual adalah manusia yang “tidak suci.” Dampak dari stigma ini sangat buruk bagi korban, membuat mereka merasa terisolasi, ditambah dengan kurangnya dukungan dan pemahaman dari masyarakat yang semakin memperkuat rasa takut mereka.

Pelecehan Seksual yang Semakin Meningkat

Berita-berita yang beredar menunjukkan banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah pendidikan. Data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat ada 202 anak yang menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan sekolah di bawah Kemendikbud Ristek dan Kementerian Agama.

Diperkuat oleh data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa kekerasan seksual pada anak merupakan tingkat kekerasan yang paling tinggi dibandingkan dengan kekerasan fisik dan psikologis.

Yang paling menyedihkan adalah para pelaku merupakan orang-orang yang seharusnya menjaga dan melindungi anak-anak saat berada di sekolah.

Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mayoritas pelaku kekerasan seksual di lingkungan pendidikan adalah pendidik/guru (55,55%), kepala sekolah/pimpinan pondok pesantren (22,22%), pengasuh (11,11%), tokoh agama (5,56%), dan pembina asrama (5,56%).
Menurut Madani (2014), faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual meliputi:
a. Faktor genetik, antara lain:

Sifat orang tua yang terkadang membawa sifat-sifat berkaitan dengan akhlak, temperamen, dan kecerdasan dari generasi ke generasi.

Penyusuan, di mana menyusui anak dapat mempengaruhi perkembangan karakter dan kondisi lain yang akan dialami anak di masa mendatang.

Hubungan seksual, di mana satu tetes sperma dapat mempengaruhi pertumbuhan karakter dan penerimaan unsur genetik seseorang.

b. Faktor lingkungan, antara lain:

Ketidaktahuan ayah mengenai pendidikan seks, yang dapat menyebabkan penyimpangan perilaku seksual anak.
Rangsang seksual dalam keluarga, akibat kebodohan orang dewasa terhadap hukum-hukum Islam mengenai perilaku seksual.

Anak yang tidak terlatih untuk meminta izin, sehingga membuka peluang bagi anak untuk melihat perilaku seksual orang tua.

Dekatnya tempat tidur, di mana beberapa orang tua membiarkan anak tidur dalam satu ranjang dan terkadang melakukan permainan seksual.

Perilaku imitasi seksual, melarang anak bertanya tentang seks, dan pengabaian terhadap media informasi.

Mengapa Remaja Korban Pelecehan Enggan Melaporkan Pengalamannya?

Sangat menyedihkan bahwa nasib anak muda korban pelecehan seksual seringkali dipenuhi dengan stigma negatif dari masyarakat. Banyak orang salah kaprah dengan menyimpulkan bahwa ketidaklaporan korban pelecehan seksual disebabkan oleh kesepakatan antara korban dan pelaku, padahal sebenarnya korban seringkali mudah terancam dan tertipu, yang membuat mereka merasa takut untuk melaporkan kejadian pelecehan yang mereka alami. Hal ini menunjukkan perlunya pemahaman yang lebih mendalam dan dukungan yang lebih besar kepada korban pelecehan seksual agar mereka merasa aman untuk mengungkapkan pengalaman mereka dan mendapatkan perlindungan yang layak.

Ancaman dari pelaku yang sering dirasakan oleh para korban antara lain:

Ancaman fisik: Pelaku mungkin mengancam untuk menyakiti korban atau orang-orang yang dicintainya jika mereka melapor.

Ancaman sosial: Pelaku mungkin mengancam untuk menyebarkan rumor tentang korban atau membuat mereka dijauhi oleh teman-teman mereka.

Berdasarkan hasil penelitian dari jurnal jurnal berjudul “Pengalaman Traumatik Anak dan Remaja Korban Kekerasan Seksual,” (Nova Ari Pangesti & Dita Ayu Nur Saputri, 2023), terdapat berbagai respon para korban. Beberapa di antaranya enggan memberitahukan pengalamannya, seperti yang diungkapkan oleh salah satu narasumber, “Tidak, saat kejadian itu masih saya pendam dalam diri.” Ia bahkan menyatakan bahwa prestasinya di sekolah anjlok dan menurun.

Bagaimana Dampak Psikologis dan Sosial yang Dialami Remaja Korban Pelecehan Seksual?

Pernyataan di atas dengan jelas mengungkap betapa mengerikannya dampak pelecehan seksual terhadap korban, baik secara psikologis maupun sosial. Trauma mendalam yang dialami korban, yang bahkan bisa berkembang menjadi PTSD, menunjukkan betapa merusak dan membekasnya pengalaman tersebut. Rasa putus asa, hilangnya kepercayaan diri, dan isolasi sosial yang menyertai depresi dan kecemasan, semakin memperburuk kondisi korban. Pelecehan seksual juga menghancurkan citra diri dan identitas korban, membuat mereka sulit membangun hubungan interpersonal yang sehat.

Tidak hanya itu, stigma negatif yang dihadapi korban di masyarakat semakin memperparah penderitaan mereka. Isolasi sosial dan kesulitan mendapatkan dukungan semakin mengintensifkan rasa sakit yang mereka alami. Kehilangan kepercayaan diri akibat pelecehan seksual juga membuat korban kesulitan membangun dan mempertahankan hubungan yang sehat, bahkan berdampak pada partisipasi mereka dalam masyarakat dan dunia kerja.

Pelecehan seksual bukan hanya tindakan kekerasan fisik, tetapi juga serangan brutal terhadap jiwa dan mental korban. Dampaknya yang luas dan mendalam menunjukkan betapa pentingnya untuk memberikan dukungan dan perlindungan kepada korban, serta menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.

Apa Solusi yang Dapat Dilakukan Pemerintah, Sekolah, dan Masyarakat?

Anak muda adalah aset berharga bagi bangsa, masa depan yang harus kita jaga dan lindungi. Namun, ancaman pelecehan seksual yang marak terjadi di lingkungan sekolah merupakan bahaya serius yang dapat merusak masa depan mereka.
Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak muda. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku pelecehan seksual, dengan hukuman yang setimpal, adalah langkah penting untuk memberikan efek jera dan melindungi korban. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang komprehensif tentang perlindungan anak dari kekerasan seksual sangat diperlukan untuk memberikan kerangka hukum yang kuat dalam menangani kasus-kasus pelecehan seksual. Kampanye kesadaran publik juga penting untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pelecehan seksual dan cara mencegahnya.

Sekolah juga memiliki peran vital dalam melindungi anak muda. Pendidikan seksual yang komprehensif dalam kurikulum dapat memberdayakan anak muda dengan pengetahuan dan keterampilan untuk melindungi diri dari pelecehan seksual. Sekolah juga harus menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi siswa, dengan program-program yang mendorong rasa percaya diri dan keberanian untuk melaporkan kejadian pelecehan seksual. Pelatihan bagi guru dan staf tentang cara menangani kasus pelecehan seksual juga penting untuk memastikan penanganan yang tepat dan profesional.

Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak muda. Meningkatkan kesadaran tentang pelecehan seksual dan pentingnya melindungi anak muda adalah langkah awal yang penting. Masyarakat harus memberikan dukungan kepada korban pelecehan seksual, dengan mendengarkan mereka dan membantu mereka mendapatkan bantuan yang diperlukan. Menghilangkan stigma negatif yang melekat pada korban pelecehan seksual juga sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung bagi mereka.

Menghilangkan pelecehan seksual di lingkungan sekolah membutuhkan upaya bersama dari pemerintah, sekolah, dan masyarakat. Dengan komitmen dan kerja sama yang kuat, kita dapat menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak muda, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan baik tanpa rasa takut dan ancaman.

*) Penulis adalah Mahasiswa Prodi Administrasi Kesehatan, Universitas Negeri Makassar

Facebook Comments Box