Beranda Mimbar Ide Miracle in Court : Korupsi Maksimal, Vonis Minimal

Miracle in Court : Korupsi Maksimal, Vonis Minimal

0

Oleh : Muh. Syalsabil Ikhwan*

Korupsi merupakan suatu permasalahan yang seakan tiada ujung penyelesaiannya. Korupsi kerap menjadi penyakit akut yang menggerogoti batang tubuh pemerintahan yang sudah tentu akan berimplikasi terhadap pembangunan dan merusak perekonomian bangsa. Maka dari itu, diperlukannya aturan hukum baru yang dapat memberikan efek jera yang lebih.

Tahun 2024 kita diperhadapkan dengan berbagai kasus korupsi raksasa dengan nominal fantastis merugikan keuangan negara namun hasil akhirnya tak kunjung memberi rasa puas dengan penegakan hukum negara yang kita cintai ini. Kasus tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah tbk yang mencuri perhatian masyarakat indonesia dikarenakan nilannya yang sangat fantastis mencapai Rp 300 Triliun.

Beberapa hari lalu vonis terhadap salah satu tersangka kasus korupsi timah yang merugikan negara tersebut telah dibacakan majelis hakim tindak pidana korupsi Jakarta Pusat. Dalam amar putusannya, Harvey Moeis mendapatkan vonis 6,6 tahun penjara dan sanksi denda Rp 1 Miliar. Vonis majelis hakim jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa yaitu 12 tahun penjara. Olehnya, vonis tersebut dinilai sangat ringan bahkan tidak pantas dijatuhkan kepada koruptor apalagi dengan nominal kerugian negara yang sangat besar.

Apa yang terjadi dengan penegakan hukum di Indonesia? Sungguh sebuah ironi. Hukuman yang diberikan kepada Harvey Moeis justru menjadi gambaran nyata tentang betapa ringan dan mudahnya sistem hukum kita terhadap mereka yang memiliki uang dan pengaruh. Kenapa harus repot-repot menghukum berat, jika pelaku sudah memberikan “kontribusi” yang begitu besar bagi perekonomian (dalam artian keuangan pribadi, tentu saja)? Vonis 6 tahun 6 bulan adalah bukti bahwa hukum kita sangat fleksibel dan tahu betul kapan saatnya memberikan perhatian lebih kepada mereka yang berkuasa.

Salah satu ketakutan terbesar bagi koruptor adalah kehilangan hartanya. Jika ada aturan hukum yang memungkinkan koruptor untuk kehilangan seluruh kekayaannya, maka ketakutan itu akan sangat nyata. Namun, berbagai vonis hukum yang diterima oleh koruptor akhir-akhir ini tidak memberikan efek jera yang signifikan. Mengapa tidak? Karena hukuman yang dijatuhkan dan kerugian negara yang ditimbulkan tidak sebanding.
Harvey Moeis adalah contoh konkret dari betapa rusaknya sistem hukum dalam penegakan korupsi di Indonesia.

Bagaimana mungkin seseorang yang menyebabkan kerugian negara sebesar 300 triliun rupiah hanya dihukum 6,6 tahun penjara, dengan kemungkinan hukuman tersebut berkurang jika ia mendapatkan kebebasan bersyarat? Penegakan hukum seperti ini jelas tidak masuk akal dan mencederai rasa keadilan masyarakat yang sangat dirugikan oleh praktik korupsi.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset seharusnya menjadi angin segar di tengah lesunya penegakan hukum kasus korupsi di indonesia. Dalam RUU ini diatur penyitaan aset-aset koruptor, yang dapat membuat mereka “dimiskinkan” sebagai bagian dari upaya negara untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi.

Namun sayangnya, hingga saat ini RUU tersebut belum mendapatkan perhatian serius dari DPR, karena tidak dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS). Hal ini bisa dimaklumi karena Partai Politik, DPR, dan Eksekutif tampaknya tidak menginginkan pengaturan tersebut, mengingat banyaknya anggota DPR dan pejabat eksekutif mulai dari kementerian hingga kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi. Oleh karena itu, jika RUU ini disahkan, banyak pihak yang akan terancam posisinya. Kebijakan khusus atau diskresi dari presiden sangat diperlukan jika ingin menyelesaikan masalah korupsi di indonesia.

Hukuman penjara atau bahkan hukuman mati sekalipun tidak efektif dalam penegakan hukum korupsi. Selama aset-aset koruptor tidak disita dan diambil oleh negara, mereka tidak akan merasa takut untuk melakukan korupsi lagi. Karena meskipun mereka dihukum, kekayaan mereka tetap akan diwariskan kepada keluarga mereka.

Itulah kesimpulan keajaiban hukum di negeri ini. Mari kita tutup dengan kesimpulan yang bijak bahwa hukum di Indonesia adalah tempat yang sangat ramah bagi mereka yang memiliki cukup uang dan koneksi untuk menghindari “beban berat”. Kasus Harvey Moeis dengan Rp 300 Triliun yang dikorupsi adalah bukti nyata bahwa hukum di negara ini tidak pernah ingin terlihat terlalu keras, apalagi menekan mereka yang memiliki sumber daya untuk “mengatur” semuanya.

Siapa yang peduli tentang keadilan yang sejati, jika sistem sudah begitu cerdas dalam memberi kesempatan kedua, ketiga, dan bahkan keempat kepada mereka yang paling membutuhkan seperti Harvey Moeis, yang pasti akan menikmati “cuti panjang” sambil merencanakan masa depan yang lebih cerah. Dan kita? Kita mungkin harus menunggu lebih lama untuk merasakan keadilan yang sesungguhnya atau mungkin itu hanya sekadar impian.

Sebagai penegasan akhir dengan vonis 6 tahun 6 bulan untuk kasus korupsi 300 triliun rupiah, kita hanya bisa tersenyum sinis. Jika ini adalah cara hukum bekerja di negara kita, maka kita patut bertanya: apakah sebenarnya hukum itu untuk melindungi rakyat, atau justru untuk mengamankan para pelaku kejahatan besar? Inilah mengapa penting untuk segera disahkannya Undang-Undang Perampasan Aset. Sebuah keputusan yang mempertontonkan bahwa hukum tidak lagi memihak keadilan, melainkan hanya pada kenyamanan para penguasa yang tahu bagaimana cara menghindari hukuman yang setimpal. Tentu saja, kita semua berhak untuk tertawa atau menangis melihat “keadilan” versi kita.

Nawacita RUU Perampasan Aset sebagai game changer dalam upaya pemberantasan korupsi tidak ditanggapi serius, disahkannya RUU ini untuk memastikan para pelaku tindak pidana korupsi tidak bertambah kaya dari hasil korupsinya. Hal ini juga untuk memberikan kepastian hukum bagi negara dalam merampas aset hasil tindak pidana korupsi secara lebih cepat (in rem) tanpa perlu menunggu para pelaku dijatuhi hukuman yang berkekuatan hukum tetap (in persona).

RUU Perampasan Aset tentunya tidak menjamin secara absolut mengenai pemberantasan korupsi di Indonesia, setidaknya dengan disahkannya RUU ini dapat menjadi border hukum yang progresif untuk membuat seseorang berpikir ulang dalam melakukan tindak pidana korupsi terlebih berniat untuk menyembunyikan hasil kejahatannya.

Sebagai penegasan akhir, RUU Perampasan Aset yang diharapkan menjadi sebuah solusi dalam menyelamatkan keuangan negara membutuhkan sinergitas kooperatif antara pemerintah dan DPR-RI dalam menciptakan proses legislasi yang didasarkan pada kepentingan bangsa dalam menyongsong upaya pemberantasan tindak pidana korupsi serta menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat. Perampasan aset ke depan diharapkan bisa lebih banyak menyelamatkan kerugian negara, terlebih yang berkaitan dengan kasus tindak pidana korupsi.

)*Penulis merupakan Sekertaris Bidang Hikmah Pikom IMM Fakultas Hukum Unhas.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT