Oleh : Sitti Nurliani Khanazahrah*
Pelecehan seksual ibarat bayangan hitam yang merusak ruang-ruang akademik. Ia tidak datang begitu saja, melainkan tumbuh dari akar yang dalam, yaitu ketimpangan kuasa dan budaya patriarki yang mengakar selama berabad-abad. Kampus, tempat di mana ilmu pengetahuan seharusnya tumbuh subur, sering kali menjadi panggung di mana dominasi dan subordinasi dipertontonkan.
Dalam The Second Sex, Simone de Beauvoir menulis dengan lantang: “Laki-laki adalah Subjek, sedangkan perempuan adalah liyan.” Pernyataan ini tidak hanya menjadi refleksi sosial, tetapi juga menemukan relevansinya dalam ruang akademik. Mahasiswi yang duduk di bangku kuliah sering kali merasa menjadi “liyan,” berada di bawah bayang-bayang otoritas laki-laki. Ketika kekuasaan dosen berubah dari alat mendidik menjadi alat menekan, relasi pedagogis berubah menjadi jerat kekuasaan yang membungkam.
Di dalam ruang perkuliahan, konsep liyan menjadi nyata. Mahasiswi bukan sekadar peserta didik, tetapi mereka adalah yang diamati, dinilai, atau bahkan dalam banyak kasus, dieksploitasi. De Beauvoir pernah berkata, “Manusia hanya bisa merdeka jika ia tidak lagi menjadi objek bagi orang lain.” Tetapi bagaimana merdeka bisa diraih jika tubuh perempuan terus dilihat sebagai objek kuasa?
Kampus, dengan segala romantismenya, sering kali disebut sebagai ruang peradaban. Ia adalah tempat di mana gagasan-gagasan besar dirumuskan, di mana manusia membangun dirinya melalui pengetahuan. Tetapi ternyata, ada paradoks yang mengendap di dalamnya, kampus juga menjadi ruang di mana ketimpangan kuasa dipelihara secara bersama-sama.
Dalam relasi antara dosen dan mahasiswa, kekuasaan bukan hanya soal otoritas akademik. Ia menyentuh hal-hal yang lebih personal, seperti nilai, rekomendasi, bahkan masa depan. Dalam hal ini, dosen tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga figur yang memiliki kuasa untuk menentukan nasib mahasiswa. Ketika kekuasaan ini disalahgunakan, maka yang muncul adalah luka yang dalam. De Beauvoir pernah mengingatkan, “Ketimpangan bukan hanya soal struktur, tetapi juga tentang kesadaran yang diperbudak oleh rasa takut.”
Mahasiswi yang menjadi korban pelecehan seksual sering kali merasa terbungkam oleh ketakutan. Mereka khawatir akan nilai buruk, ancaman reputasi, atau stigma sosial yang tidak pernah adil. Dalam hal ini, pelecehan seksual tidak hanya menjadi tindakan individu, tetapi juga cerminan dari struktur yang melanggengkan ketimpangan.
Pelecehan seksual di kampus tidak bisa dilepaskan dari akar budaya yang lebih luas, yaitu maskulinitas toksik. Dalam budaya patriarki, laki-laki diajarkan untuk mendominasi, untuk mengambil apa yang mereka inginkan, bahkan untuk hal-hal yang melibatkan pelanggaran terhadap orang lain. De Beauvoir menyebut ini sebagai “ilusi superioritas.” Ia menulis, “Laki-laki merasa berhak atas dunia, bukan karena mereka lebih unggul, tetapi karena mereka hidup dalam sistem yang mengajarkan bahwa mereka unggul.”
Tetapi, maskulinitas toksik bukan hanya merugikan perempuan. Ia juga merampas kemanusiaan laki-laki. Dalam keinginan mereka untuk mendominasi, laki-laki kehilangan kemampuan untuk menjadi manusia yang utuh. Sebagaimana De Beauvoir mencatat, “Kebebasan sejati tidak datang dari kekuasaan atas orang lain, tetapi dari kemampuan untuk menjadi diri sendiri.”
Ketika kampus merupakan ruang yang melanggengkan ketimpangan, maka ia juga harus menjadi ruang resistensi. Tetapi, melawan pelecehan seksual tidak cukup hanya dengan tindakan-tindakan teknis. Ia membutuhkan refleksi mendalam, keberanian untuk menantang sistem yang sudah ada, dan komitmen untuk menciptakan ruang yang lebih adil.
Langkah pertama adalah menciptakan ruang yang aman, baik secara fisik maupun sosial. Kamera pengawas, mekanisme pelaporan yang transparan, hingga pengawasan ketat terhadap relasi kuasa adalah beberapa langkah yang bisa diambil. Tetapi, persoalannya kemudian, De Beauvoir mungkin saja akan berkata, “Perubahan sejati tidak hanya datang dari kebijakan, tetapi lebih kepada perubahan kesadaran.”
Langkah berikutnya adalah membangun kesadaran kolektif melalui kampanye anti kekerasan seksual. Kampus harus menjadi ruang di mana nilai-nilai kesetaraan terus disuarakan. Poster, seminar, dan diskusi bukan hanya sekadar kegiatan tambahan, tetapi harus menjadi denyut nadi kehidupan kampus.
Akan tetapi, langkah-langkah ini tidak akan berarti apa-apa tanpa upaya memberdayakan korban. Korban pelecehan seksual harus diberi ruang untuk berbicara tanpa rasa takut. Sebagaimana De Beauvoir menulis, “Suara adalah senjata pertama untuk melawan ketidakadilan. Diam adalah tanda bahwa penindasan telah menang.”
Perubahan sejati membutuhkan keberanian untuk merombak budaya. Ini berarti menantang paradigma maskulinitas yang dominan, mendidik mahasiswa tentang pentingnya consent, dan menghapuskan gagasan bahwa laki-laki berhak atas tubuh perempuan. Tetapi, sebagaimana De Beauvoir sering mengingatkan , bahwa perubahan tidak pernah mudah. “Kebebasan tidak diberikan. Ia adalah hasil dari perjuangan yang panjang dan melelahkan.”
Kampus mesti menjadi tempat di mana semua orang, tanpa terkecuali, merasa dihargai sebagai individu. Ia tidak boleh lagi menjadi ruang di mana ketakutan dan ketimpangan menjadi norma. Sebagaimana De Beauvoir menulis, “Manusia adalah makhluk yang terus melampaui dirinya. Kebebasan adalah panggilan untuk menjadi lebih dari sekadar apa yang kita warisi.”
Pelecehan seksual adalah pengingkaran terhadap kebebasan itu sendiri. Ketika kita melawan pelecehan, kita tidak hanya melindungi korban, tetapi juga membangun ruang di mana manusia bisa hidup dengan martabatnya. Dan, sebagaimana De Beauvoir mengingatkan, “Kebebasan adalah tugas moral kita sebagai manusia.” Di kampus, tugas ini mesti dimulai sekarang.
Refleksi ini bukan hanya sebuah ajakan, tetapi juga sebuah pengingat. Bahwa perjuangan melawan pelecehan seksual adalah perjuangan untuk menjadi manusia yang lebih baik, untuk menciptakan dunia yang lebih adil. Dan dalam perjuangan ini, seperti yang De Beauvoir tulis, “Tidak ada kemenangan kecil, karena setiap langkah menuju kebebasan adalah kemenangan atas ketidakadilan.”