Oleh : Muh. Ilham Dhani Asriawan*
Dosen Demo. Sebuah panorama yang tidak setiap saat dapat disaksikan. Hanya pada saat-saat tertentu barulah dosen kemudian akan turun melakukan aksi demonstrasi. Saat tertentu tersebut kemudian mewujud dalam Tunjangan Kinerja (tukin) tahun 2020-2024 yang tidak dibayarkan.
Kisruh tukin dosen di bawah Kementerian Pendidikan, Sains dan Teknologi yang tak dibayar (rentang 2020-2024) masih terus bergema bahkan hingga berbagai aliansi dosen melakukan aksi demonstrasi. Padahal tukin tersebut menyangkut kesejahteraan dosen. Dapat dibayangkan bagaimana jerih payah dosen-dosen dalam memajukan instansinya dan mencerdaskan anak didiknya selama rentang waktu 202-2024 tetapi kemudian harus menerima kenyataan getir bahwa tukin 2020-2024 tidak masuk dalam penganggaran Kemendiktisaintek tahun 2025.
Padahal ada dua landasan hukum yang kemudian menempatkan tukin tersebut menjadi wajib sifatnya yaitu: pertama, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nomor 49 Tahun 2020 tentang Ketentuan Teknis Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Pasal 2 ayat (1), dan kedua, Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nomor 447/P/2024. Dua landasan hukum tersebut kemudian dimentahkan oleh Kemendiktisaintek melalui Surat Edaran Nomor 247/M.A/KU.01.01/2025 perihal Tunjangan Kinerja Dosen.
Dosen-dosen di berbagai wilayah pun mulai melakukan aksi demonstrasi sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan tenaga pengajar. Demonstrasi ini sering kali dijadwalkan di depan kampus, di kantor pemerintah daerah, dan melalui platform media sosial, dengan harapan suara mereka didengar dan hak-hak mereka dipenuhi. Bahkan pembentukan serikat pekerja kampus menjadi salah satu respons strategis. Serikat ini bertujuan untuk mengorganisir dosen-dosen dalam memperjuangkan hak-hak mereka serta membangun kesolidaritas di antara anggota. Hal ini menandakan kesadaran yang semakin meningkat di antara dosen mengenai pentingnya pengorganisasian dan advokasi.
Ada Apa dengan Dosen di Kota Makassar?
Berbeda dengan situasi di wilayah lain seperti di Pulau Jawa, di Kota Makassar sendiri menunjukkan fenomena yang menarik. Di tengah berbagai informasi dan aksi demonstrasi yang marak, dosen-dosen di Kota Makassar seolah tidak terpengaruh oleh ketidakpastian pembayaran tunjangan kinerja. Tidak ada laporan demonstrasi yang luas, tidak ada hiruk-pikuk di media sosial, dan tampaknya tidak ada bentuk aksi kolektif yang terjadi. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar:
ADA APA DENGAN DOSEN DI KOTA MAKASSAR?
Tentu saja ada berbagai macam jawaban yang dapat muncul ketika pertanyaan ini ditanyakan kepada dosen-dosen di Kota Makassar. Akan muncul jawaban seperti: Pertama, adanya dukungan institusi yang lebih baik dalam bentuk pemberikan insentif lain atau dukungan finansial yang menjadikan situasi dosen-dosen lebih stabil. Kedua, Sikap profesional yang lebih mendewasakan dalam menghadapi krisis sehingga lebih memilih untuk tetap fokus pada pengajaran dan penelitian ketimbang terlibat dalam protes. Ketiga, Situasi ekonomi di wilayah Kota Makassar bisa saja lebih baik dibandingkan dengan daerah lain, yang membuat dosen-dosen tidak merasakan dampak ketidakpastian tunjangan kinerja dengan signifikan. Keempat, Ada jaringan sosial yang kuat dan saling mendukung satu sama lain secara informal, sehingga meredam kecenderungan untuk melakukan aksi protes.
Tetapi apapun motif dari tidak hadirnya dosen-dosen di Kota Makassar dalam memprotes polemik tukin ini diyakini telah mmembuat adanya rasa ketidakseperjuangan yang dirasakan oleh seluruh dosen-dosen di Indonesia. Dosen di Kota Makassar telah mengalienasi dirinya sendiri dari perjuangan yang dilakukan oleh dosen-dosen di Indonesia.
Dosen adalah Kelas Pekerja?
Pemikir asal Jerman, Karl Marx mengeluarkan konsep mengenai Teori Kelas. Kelas bagi marx selalu didefinisikan berdasarkan potensinya terhadap konflik. Individu-individu membentuk kelas sepanjang mereka berada di dalam suatu konflik biasa dengan individu-individu yang lain tentang nilai-surplus. Konflik ini yang kemudian membagi struktur kelas di dalam masyarakat menjadi dua yaitu kelas proletariat (pekerja) dan kelas borjuis.
Mengacu pada UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan di Pasal 1 ayat (3) telah menjelaskan secara detail bahwa dosen merupakan pekerja yang menempatkan dirinya pada kelas proletariat. Tetapi dikarenakan adanya streotip bahwa pekerja diasosiasikan dengan buruh yang bekerja kasar dan upah rendah, sedangkan dosen dianggap sebagai kaum intelektual dengan gaji yang lebih tinggi dan status sosial yang lebih prestisius. Streotip tersebut lahir dari rasa khawatir bahwa pengakuan dosen sebagai buruh akan mendegradasi martabat profesi dan menghambat otonomi akademik. Streotip itu juga yang telah membuat pekerja dan dosen sering dilihat sebagai dua kelompok yang berbeda dengan kepentingan yang bertolak belakang.
Pada titik tersebut, dosen di Kota Makassar kemudian menciptakan konflik dengan dirinya sendiri (kelas pekerja). Dosen kemudian menarik diri dari setiap gelombang protes-protes ketidakadilan. Dosen kemudian tidak lagi tahan untuk mencium aroma keringat dari tukang harian atau manusia silver yang kerapkali muncul di pemberhentian traffic light. Penarikan diri ini yang kemudian membuat dosen mengalami alienasinya. Dosen di Kota Makassar kemudian teralienasi, terombang-ambing, dan menjadi ambigu posisinya. Berpura-pura menempatkan dirinya berada pada kelas menengah yang memiliki akses kepada pendidikan tinggi dan berpendidikan tinggi tetapi menjual tenaga dan pengetahuan mereka kepada institusi pendidikan yang dikelola oleh borjuasi. Dosen berpura-pura tidak memiliki kerentanan dalam relasi kerjanya dengan pemberi kerjanya. Alienasi dan Ke-pura-pura-an tersebut kemudian membuat dosen di Kota Makassar kesulitan untuk menjalin komunikasi progresif dengan kelompok-kelompok rentan marginal lainnya.
Alih-alih harus sibuk mengkonsolidasikan persoalan tukin dengan berbagai kelompok rentan mangrinal. Alih-alih harus sibuk melakukan protes dan demontrasi. Alih-alih membentuk Serikat Pekerja Kampus agar hak-haknya sebagai pekerja tetap dapat diadvokasi sesuai dengan regulasi ketenagakerjaan di Indonesia. Dosen di Kota Makassar tetap memilih untuk mengembang secara amanah tridharma Perguruan Tinggi tanpa adanya kesadaran kelas di dalamnya.
*) Penulis adalah Ketua Umum Forum Mahasiswa Magister Sosiologi FISIP UNHAS Periode 2025