Oleh : Mattewakkan
Transportasi online ibarat air. Mengalir ke mana saja. Menyesuaikan bentuk. Masuk ke celah-celah kebutuhan manusia. Mau pergi ke kantor? Ada. Mau antar makanan? Bisa. Kirim barang? Tinggal klik. Semua di ujung jari. Praktis.
Tapi air juga butuh wadah. Agar tidak liar. Agar tidak menabrak ke mana-mana. Begitulah transportasi online. Butuh aturan. Butuh kepastian hukum. Itulah mengapa revisi Undang-Undang Transportasi jadi penting.
Masalahnya, bagaimana aturan ini bisa menjaga keseimbangan? Jangan sampai terlalu ketat hingga menghambat inovasi. Tapi juga jangan terlalu longgar sampai merugikan banyak pihak.
Yang pertama, kepastian hukum. Pengemudi transportasi online itu mitra, bukan karyawan. Tapi tanpa perlindungan, bagaimana mereka bisa tenang bekerja? Asuransi? Perlu. Jaminan sosial? Sebaiknya ada. Tapi status karyawan tetap? Itu yang harus dipikirkan matang-matang.
Lalu soal tarif. Transportasi online menggunakan sistem dinamis. Diatur algoritma. Ada jam sibuk, ada jam lengang. Jika tarif diatur kaku, sistem bisa terganggu. Jangan sampai, misalnya, harus mengikuti model transportasi konvensional yang lebih kaku.
Bagaimana dengan pajak? Ini juga perlu diatur adil. Jangan sampai pengemudi terbebani pajak yang tidak sesuai dengan pendapatan mereka. Harus ada keseimbangan antara perusahaan dan mitranya.
Integrasi dengan transportasi publik juga tidak bisa diabaikan. Seharusnya transportasi online melengkapi, bukan bersaing mati-matian. Bayangkan jika ada sistem tiket terpadu. Naik bus, lanjut transportasi online, semua terhubung. Efisien.
Dan terakhir, jangan sampai revisi UU ini justru membunuh inovasi. Teknologi berkembang cepat. Jika aturan dibuat terlalu ketat, transportasi online bisa kehilangan keunggulannya. Bisa jadi malah kalah saing dengan negara lain yang lebih fleksibel.
Jadi, revisi UU Transportasi ini bukan sekadar mengatur. Tapi juga memberi ruang. Agar transportasi online tetap bisa mengalir. Menyesuaikan. Dan tetap menguntungkan bagi semua.
