Oleh: Rismawati Nur*
Pada awal tahun 2025, Presiden Prabowo menginstruksikan untuk melakukan efisiensi anggaran sebesar Rp 306,69 triliun dalam APBN dan APBD yang dimuat dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Pemangkasan anggaran meliputi belanja operasional dan non operasional sekurang-kurangnya terdiri atas belanja operasional perkantoran, belanja pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan dan mesin. Kebijakan ini tentu akan berdampak pada berbagai sektor, termasuk proyek ambisius Ibu Kota Negara (IKN).
Pembangunan awal IKN yang dimaksudkan untuk mencapai target Indonesia sebagai negara maju dengan mengubah orientasi pembangunan menjadi Indonesia-sentris serta mempercepat transformasi ekonomi Indonesia nampaknya hanya akan menjadi angan-angan belaka. Hal ini disebabkan karena Pembangunan tersebut kini terancam mangkrak karena dana pembangunannya diblokir oleh Presiden Prabowo sebagai imbas dari efisiensi anggaran.
Sejak awal, pembangunan IKN telah menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama dari para aktivis lingkungan. Pembangunan IKN di Kalimantan Timur yang memiliki 8.26 juta hektar hutan dengan luas hutan lindung mencapai 1,8 juta hektar dan 438 ribu hektar sebagai Kawasan konservasi dan cagar alam. Hal ini berarti bahwa luas hutan yang dimiliki Kalimantan Timur setara dengan 65% (enam puluh lima persen) dari total hutan Kalimantan (BPS Kaltim. 2023).
Luas hutan tersebut telah menjadi rumah bagi jutaan flora dan fauna serta sebagai penyeimbang ekosistem global. Meski fungsi tersebut begitu signifikan, tetapi pemerintah tetap melakukan pembabatan hutan untuk membangun ibu kota baru dengan konsep forest city atau kota hutan. Meski konsep tersebut dinilai menjanjikan, tetapi alih fungsi hutan Kalimantan untuk pembangunan IKN telah membawa dampak ekologi yang serius.
Hilangnya vegetasi alami akan mempercepat laju perubahan iklim, mengurangi kemampuan tanah menyerap air, dan meningkatkan risiko bencana banjir dan tanah lonsor. Satwa liar yang kehilangan habitatnya pun semakin terdesak, mempercepat kepunahan spesies yang selama ini terancam punah, misalnya orang utan Kalimantan.
Namun, alih-alih mendapatkan kemajuan yang dijanjikan untuk membangun kota modern ditengah hutan Kalimantan, gagasan tersebut nampaknya akan mangrak ditengah keputusan pemerintah untuk menunda bahkan menghentikan proyek IKN demi efisiensi anggaran.
Penghentian alokasi anggaran IKN untuk tahun 2025 menimbulkan pertanyaan besar bahwa apakah analisis anggaran pembangunan IKN telah dilakukan secara matang? Jika pembangunan ibu kota baru memang prioritas, lantas mengapa diberhentikan dengan alasan efisiensi?
Jika pembangunan IKN adalah prioritas nasional tentu memiliki anggaran (budged priority principle) sehingga seharusnya tidak terdampak kebijakan efisiensi ataupun pemotongan anggaran. Namun, jika proyek pembangunan tersebut ternyata dipotong hingga terjadinya mangkrak, jelas memperlihatkan bahwa proses perencanaan dan anggaran tidak siap.
Pembangunan IKN telah merusak hutan Kalimantan sehingga jika proyek ambisius ini mangkrak, lahan yang telah dibuka justru berpotensi menjadi kawasan terbengkalai. Daerah yang telah dirusak hanya akan menjadi tanah kosong tanpa fungsi yang jelas. Dari 41 ribu hektar hutan di kawasan pengembangan IKN, hanya terdapat 55% yang terlindungi karena berada di area hutan konservasi. Artinya, terdapat 20 ribu hektar hutan yang telah mendapatkan izin dan telah dibabat untuk pembangunan.
Jika pun pemerintah ingin melakukan rehabilitasi hutan, hal tersebut bukanlah perkara mudah, sebab dari catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa proses rehabilitasi hutan pertahun hanya seluas 900 hektar dengan tingkat keberhasilan rendah, artinya untuk mentransformasikan hutan IKN kembali akan membutuhkan puluhan bahkan ratusan tahun untuk pulih.
Hilangnya hutan Kalimantan demi proyek pemindahan Ibu Kota menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak terencana secara matang. Alih-alih berkelanjutan, keputusan ini justru telah merusak lingkungan dan menyebabkan kerugian finansial dalam pembangunan. Dampak lingkungannya kini telah dirasakan oleh masyarakat, seperti kelangkaan air bersih dan banjir semakin mudah terjadi.
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh Pembangunan IKN merupakan tanggungjawab negara untuk melakukan pemulihan dan memastikan bahwa lingkungan masyarakat baik dan sehat sebagaimana dimuat dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UGM