Beranda Literasi Wujudkan Swasembada Pangan di Perdesaan

Wujudkan Swasembada Pangan di Perdesaan

0
Engki Fatiawan*

Oleh: Engki Fatiawan*

Sejarah mencatat Indonesia pernah berhasil mencapai swasembada pangan pada tahun 1984. Keberhasilan swasembada pangan (beras) tersebut dicapai dari program bimbingan massa (BIMAS) yang dilakukan sejak tahun 1964. Program tersebut berhasil merangsang petani untuk menggunakan varietas yang baik, menggunakan pupuk, serta perlindungan tanaman. Selain itu, ketersediaan sarana fisik yang memenuhi syarat produksi dan ketersediaan kredit para petani juga sangat membantu dalam pembangunan pertanian untuk mencapai swasembada pangan dalam program tersebut.

Setelah tahun 1964 hingga saat ini Indonesia tidak pernah lagi mencapai swasembada pangan walaupun pemerintah gencar membangun program pengembangan dan pembangunan pertanian. Pemerintah kerap melakukan impor pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2024) impor beras tembus 3,23 juta ton pada Januari – September 2024. Komoditas lain seperti jagung, bawang putih, daging sapi, dan gula pasir juga masih dilakukan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Tingginya nilai impor pangan menandakan bahwa ada hal yang salah dalam ketersediaan pangan di Indonesia. Dalam hal ini bidang pertanian termasuk peternakan dan perikanan yang memiliki peran penting dalam memproduksi pangan. Olehnya itu, perlu dilihat kendala apa yang menyebabkan sehingga pangan tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri.

ADVERTISEMENT

Berdasarkan data yang disampaikan oleh Kementerian Pertanian sebanyak 90 ribu hingga 100 ribu hektar per tahun lahan pertanian teralih fungsi ke bentuk penggunaan lahan lain. Sementara itu, data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menunjukkan bahwa rata-rata konversi lahan sawah menjadi non-sawah di Indonesia mencapai 100 ribu hingga 150 ribu hektar per tahun. Konversi lahan yang tinggi tersebut berdampak terhadap menurunnya hasil produktivitas pangan khususnya beras.

Selain aspek ketersediaan lahan, pengaruh iklim dan cuaca juga sangat menentukan hasil produktivitas. El nino yang kerap melanda di berbagai daerah Indonesia menyebabkan defisit air sehingga kebutuhan untuk mengairi sawah tidak mencukupi. Apabila air berkurang maka akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan padi. Selain itu, serangan hama dan penyakit yang resisten juga menjadi tantangan dalam proses budidaya.

Jika melihat akar permasalahan serangan hama dan penyakit pada dasarnya bermula pada penggunaan pestisida. Revolusi hijau yang membiarkan penggunaan pestisida dalam proses budidaya pertanian telah berhasil membuat hama menjadi lebih resisten sehingga dosis yang digunakan juga meningkat. Begitupun dengan penggunaan pupuk sintetik telah berhasil membuat lahan mengalami degradasi kesuburan. Tanah pertanian yang telah banyak input pupuk sintetik apabila ditanami tanpa penggunaan pupuk maka produksinya akan menurun. Di Indonesia swasembada pangan pada tahun 1964 dicapai dengan penggunaan pupuk dan pestisida dan setelah itu penggunaannya semakin banyak oleh petani.

Tantangan dalam bidang pertanian bukan hanya persoalan teknis akan tetapi, tantangan yang dihadapi juga dalam regenerasi pertanian. Selain itu, petani juga masih ada yang sulit dalam memasarkan hasil pertaniannya. Jika hasil pertanian tidak dapat diserap oleh pasar maka harga akan turun atau petani tidak menjualnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan inovasi baik dari segi teknis maupun sistem dalam pertanian hingga pemasarannya untuk mencapai swasembada pangan.

Untuk mencapai swasembada pangan, desa bisa menjadi ujung tombak untuk memenuhi kebutuhan pangan. Lahan pertanian di desa masih banyak yang tidak terjamah dan tidak digunakan. Lahan tidur tersebut mesti dioptimalkan untuk mencapai swasembada pangan di desa. Maka dari itu BIMAS perlu lagi dilakukan untuk petani di perdesaan.

Dalam rangka meningkatkan kualitas SDM petani di desa maka perlu dilakukan program satu desa satu sarjana pertanian yang dapat membantu mengadvokasi petani berdasarkan bekal ilmu pertanian yang didapatkan di kampus. Dalam hal ini mesti direkrut tenaga pendamping desa khusus pertanian yang kompeten dalam bidang pertanian. Sehingga dapat disandingkan antara pengetahuan pertanian modern yang diajarkan di kampus dengan pengetahuan lokal masyarakat. Tentunya program ini juga harus melihat potensi pertanian yang ada pada suatu desa.

Mini food estate di desa perlu dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pangan pada satu desa. Di dalamnya terdapat berbagai jenis tanaman pangan seperti padi, sayuran, dan tanaman hortikultura lainnya yang bisa diintegrasikan dengan peternakan dan budidaya ikan air tawar. Jika semua desa yang memiliki potensi pertanian dapat memenuhi pangannya sendiri maka swasembada pangan akan dengan mudah dicapai.

Peran peneliti dan kampus juga sangat dibutuhkan untuk menciptakan varietas baru yang memiliki tingkat produksi yang tinggi serta tahan dengan serangan hama dan perubahan iklim. Begitupun dengan inovasi dalam mengembalikan kualitas kesuburan tanah serta konservasi tanah dan air. Oleh karena itu, pemerintah perlu melihat dan memberikan bantuan riset terhadap peneliti dan kampus. Sehingga swasembada pangan dapat dicapai dalam waktu dekat sesuai dengan keinginan presiden.

*) Penulis adalah Alumni Fakultas Pertanian Unhas

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT