Matakita.co, Makassar – Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FH Unhas) menggelar kuliah umum bertajuk “Transformasi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Kontemporer” pada Selasa, 11 Maret 2025. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian Dies Natalis ke-73 FH Unhas yang mengusung tema “Unggul untuk Indonesia Maju, Sinergi Menuju Indonesia Emas”. Acara ini berlangsung di Ruang Moot Court Harifin Tumpa, Fakultas Hukum Unhas, dan menghadirkan Surianto, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, sebagai pembicara utama.
Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FH Unhas, Prof. Dr. Maskun, S.H., LL.M., membuka acara kuliah umum pada hari ini. Dalam sambutannya, Prof. Maskun mengharapkan agar mahasiswa dapat mencatat inti-inti materi yang disampaikan dalam kuliah umum ini untuk kemudian dirumuskan ke dalam penulisan tugas akhir. “Materi yang disampaikan hari ini sangat relevan dengan perkembangan sistem peradilan pidana di Indonesia. Saya berharap mahasiswa bisa menggali lebih dalam materi ini dan menjadikannya dasar dalam penulisan tugas akhir,” ujarnya.
Dalam kuliah umum tersebut, Surianto membahas secara mendalam tentang perkembangan dan tantangan dalam sistem peradilan pidana kontemporer di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa sistem peradilan pidana kontemporer adalah sistem yang telah mengalami berbagai penyesuaian untuk menjawab dinamika kebutuhan dan tuntutan masyarakat modern. Transformasi ini diperlukan untuk menciptakan sistem yang lebih adil, efektif, dan responsif terhadap perubahan sosial yang terjadi.
“Transformasi dalam sistem peradilan pidana tidak hanya mencakup aspek hukum, tetapi juga mencakup aspek kelembagaan dan pelaksanaan di lapangan,” ujar Surianto. Ia menekankan bahwa keberhasilan transformasi ini bergantung pada sinergi antara aparat penegak hukum, lembaga pemasyarakatan, dan masyarakat luas. Regulasi yang menjadi dasar dalam transformasi ini antara lain adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Surianto juga menjelaskan bahwa transformasi pemasyarakatan harus berlandaskan pada prinsip-prinsip pemasyarakatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, prinsip-prinsip tersebut meliputi pengayoman, nondiskriminasi, kemanusiaan, gotong royong, kemandirian, dan profesionalitas. Selain itu, prinsip bahwa kehilangan kemerdekaan adalah satu-satunya penderitaan yang dijatuhkan kepada narapidana juga menjadi landasan utama dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan.
Lebih lanjut, Surianto menyoroti konsep Griya Abhipraya sebagai salah satu inovasi dalam sistem pemasyarakatan. Berdasarkan Pedoman Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-36.OT.02.02 Tahun 2022, Griya Abhipraya berfungsi sebagai tempat atau wadah untuk menyelenggarakan kegiatan pemberdayaan bagi tersangka, tahanan, anak, dan warga binaan. Kegiatan ini mencakup pelatihan di bidang kepribadian, kemandirian, hukum, dan kemasyarakatan. Tujuannya adalah untuk memperbaiki kualitas hidup warga binaan agar dapat hidup secara wajar dan diterima kembali oleh masyarakat setelah menjalani masa hukuman.
“Konsep Griya Abhipraya merupakan implementasi nyata dari filosofi pemasyarakatan, yaitu pemulihan kesatuan hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupan. Dengan adanya kolaborasi antara Balai Pemasyarakatan (Bapas), Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan (Pokmas Lipas), dan pemerintah, diharapkan proses reintegrasi sosial dapat berjalan dengan lebih efektif,” berdasarkan uraian Surianto.
Dalam konteks sistem peradilan pidana anak, Surianto juga menekankan pentingnya penerapan asas keadilan restoratif. Ia mengingatkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pemidanaan harus menjadi upaya terakhir, dengan mengutamakan pembinaan dan penghindaran pembalasan. Penyidik, penuntut umum, dan hakim wajib mempertimbangkan faktor-faktor seperti kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian dari Balai Pemasyarakatan, dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat sebelum menjatuhkan hukuman kepada anak.
Melalui kuliah umum ini, FH Unhas berharap dapat memberikan kontribusi nyata dalam pengembangan ilmu hukum dan sistem peradilan pidana di Indonesia. Dekan Fakultas Hukum Unhas dalam sambutannya menyampaikan harapan agar para mahasiswa dapat mengambil pelajaran berharga dari pemaparan ini dan mengaplikasikannya dalam dunia profesional nantinya. “Kuliah umum ini menjadi momentum untuk memperkuat pemahaman dan membangun kesadaran kritis tentang pentingnya sistem peradilan pidana yang humanis dan berkeadilan,” tutupnya.