Oleh : Aksan Al-Bimawi*
Puasa adalah ibadah yang tak hanya menjadi bagian dari kehidupan agama umat Islam, tetapi juga menyimpan makna mendalam tentang eksistensi manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Dalam perspektif ontologis, puasa mengajak kita untuk merenungkan lebih jauh tentang ketundukan manusia kepada Tuhan sebagai asal dari segala keberadaan. Bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, puasa mencerminkan kesadaran akan keterbatasan diri manusia dan pengakuan bahwa segala yang ada berasal dari Tuhan. Ibadah ini memperkuat pemahaman bahwa manusia, dengan segala keterbatasannya, senantiasa bergantung pada perintah dan kasih sayang-Nya.
Melalui puasa, kita diajak untuk menyelami hakikat eksistensi kita yang sejati, yaitu untuk hidup dalam ketundukan kepada-Nya, serta menjalani kehidupan dengan kesadaran penuh akan peran kita sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan. Sebagai sarana spiritual, puasa memfokuskan setiap aspek kehidupan manusia untuk lebih dekat dengan tujuan utama eksistensi: mengabdi kepada Tuhan yang Maha Kuasa.
Tulisan ini mengkaji bagaimana puasa, sebagai ibadah wajib dalam Islam, mencerminkan eksistensi manusia yang terhubung dengan ketundukan kepada Tuhan. Selain itu, artikel ini juga menyoroti relevansi pandangan filsafat dalam memahami konsep keberadaan manusia dan peran ketundukan tersebut dalam kehidupan spiritual umat Islam.
Ontologi dan Makna Puasa
Ontologi, dalam filsafat, merujuk pada cabang filsafat yang mempelajari tentang keberadaan, hakikat eksistensi, dan struktur realitas. Dalam pandangan Islam, konsep ontologi keberadaan manusia tidak dapat dilepaskan dari pemahaman tentang Tuhan sebagai Pencipta yang mutlak. Seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an, “Dan Aku (Tuhan) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (Q.S. Adh-Dhariyat: 56). Ayat ini menggambarkan bahwa seluruh eksistensi manusia berakar pada satu tujuan: untuk beribadah kepada Tuhan. Dalam konteks ini, puasa dapat dilihat sebagai sarana yang menghubungkan manusia dengan Tuhan, yang melibatkan keberadaan mereka dalam ketundukan dan penghambaan sepenuhnya kepada-Nya.
Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga sebuah bentuk perwujudan dari ketundukan diri manusia kepada perintah Tuhan. Ketundukan ini adalah esensi dari keberadaan manusia itu sendiri. Dalam pemikiran filsuf seperti Immanuel Kant, keberadaan manusia dikaitkan dengan konsep moralitas yang menuntut manusia untuk mengikuti perintah yang lebih tinggi. Kant menyatakan, “Kebebasan manusia tidak berarti kebebasan untuk bertindak sewenang-wenang, melainkan kebebasan untuk mengikuti hukum moral yang lebih tinggi” (Baca Groundwork for the Metaphysics of Morals oleh Immanuel Kant 1785). Dalam konteks ini, puasa bisa dipandang sebagai manifestasi dari kebebasan moral yang lebih tinggi, yaitu kebebasan untuk menundukkan nafsu dan mengikuti perintah Tuhan.
Puasa: Ketundukan Terhadap Pencipta dan Kepatuhan Kolektif
Penting untuk menyadari bahwa puasa dalam Islam bukanlah sekadar ritual fisik. Dalam perspektif ontologis, puasa adalah sebuah pengalaman yang memperlihatkan keterbatasan manusia dan ketergantungannya pada Tuhan. Sebagaimana Al-Qur’an menyatakan, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183). Ayat ini menegaskan bahwa puasa adalah sarana untuk mencapai ketakwaan, yaitu kesadaran penuh akan ketergantungan dan ketundukan kepada Tuhan. Dalam pemahaman ontologis, ketundukan ini menjadi landasan dari hakikat keberadaan manusia, di mana tubuh, pikiran, dan jiwa semua diarahkan kepada Tuhan sebagai tujuan utama eksistensi mereka.
Keterbatasan manusia dalam menjalani puasa juga mengingatkan kita pada konsep filsafat eksistensial yang dikembangkan oleh Jean-Paul Sartre. Sartre berpendapat bahwa keberadaan manusia adalah sebuah kebebasan yang harus dipahami dalam konteks tanggung jawab moral terhadap dunia dan Tuhan. Dalam pandangan Sartre, “Manusia tidak dilahirkan dengan tujuan tertentu, tetapi dia sendiri yang memberi makna pada hidupnya melalui pilihannya” (Sartre, Being and Nothingness). Dengan demikian, puasa, sebagai pilihan moral yang dilakukan oleh setiap individu, adalah sebuah pengakuan terhadap keberadaan manusia yang penuh keterbatasan, namun juga penuh kebebasan untuk memilih untuk menundukkan diri kepada Tuhan.
Selain dimensi pribadi dan spiritual, puasa juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Dalam kerangka ontologi, puasa menghubungkan setiap individu dengan masyarakat, karena puasa adalah kewajiban kolektif yang menyatukan umat Islam dalam satu kesatuan tindakan. Melalui puasa, setiap individu tidak hanya menyaksikan eksistensinya dalam hubungan dengan Tuhan, tetapi juga dalam relasi sosial dengan sesama. Hal ini tercermin dalam ayat Al-Qur’an, “Makan dan minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Q.S. Al-Baqarah: 187). Ayat ini menegaskan pentingnya batasan waktu yang ditentukan dalam puasa, yang memupuk kedisiplinan bersama dan mempererat solidaritas sosial.
Filsuf sosial seperti Karl Marx pernah berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang eksistensinya tidak dapat dipisahkan dari masyarakat (Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844). Dengan demikian, puasa, sebagai kewajiban sosial, mencerminkan kenyataan bahwa keberadaan individu selalu terkait dengan kesejahteraan dan keharmonisan komunitasnya. Puasa bukan hanya ibadah yang mendekatkan individu kepada Tuhan, tetapi juga sebuah praktik yang memperkuat nilai-nilai sosial dalam masyarakat.
Dalam perspektif ontologis, puasa mengungkapkan dimensi mendalam tentang keberadaan manusia yang tidak terlepas dari ketundukan kepada Tuhan. Puasa adalah bentuk pengakuan terhadap eksistensi Tuhan sebagai Pencipta yang Maha Kuasa, di mana manusia dengan segala keterbatasannya memilih untuk menundukkan diri pada perintah-Nya. Dalam kerangka filsafat, puasa mengajak kita untuk memahami bahwa keberadaan manusia bukanlah sebuah kebebasan mutlak, tetapi kebebasan yang terikat oleh hukum moral yang lebih tinggi. Melalui puasa, kita belajar untuk menghargai ketergantungan kita pada Tuhan dan menyadari peran kita dalam komunitas sosial yang lebih luas.
Dalam konteks ini, puasa dapat dipahami bukan sekadar ritual agama semata, tetapi sebuah pengalaman ontologis yang mengajarkan kita tentang hakikat diri kita sebagai makhluk yang diciptakan dengan tujuan tertentu: untuk beribadah kepada Tuhan dan hidup dalam kedamaian bersama sesama. Dalam pandangan ini, puasa menjadi sarana untuk mencapai kesadaran penuh akan eksistensi manusia dalam ketundukan kepada Tuhan, yang bukan hanya membentuk spiritualitas individu, tetapi juga memelihara keharmonisan sosial dalam komunitas.
*) Penulis adalah Pengurus Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan