Oleh : Ahmad Takbir Abadi*
Pernyataan yang dikeluarkan oleh Hasan Nasbi, Kepala Komunikasi Kantor Kepresidenan, terkait kasus teror kepala babi yang ditujukan kepada kantor berita Tempo di Jakarta, memicu perdebatan dan kontroversi yang cukup besar di kalangan masyarakat, terutama di dunia jurnalistik. Kasus ini bermula ketika sebuah kepala babi ditemukan di halaman kantor Tempo, sebuah tindakan yang jelas merupakan bentuk ancaman terhadap kebebasan pers. Namun, respons yang diberikan oleh Nasbi terhadap insiden tersebut justru memperburuk situasi. Dalam sebuah wawancara, Nasbi menyatakan bahwa lebih baik kepala babi tersebut dimasak saja. Pernyataan tersebut dengan cepat mendapat kecaman luas, karena dinilai tidak sensitif dan kurang menghargai keseriusan ancaman terhadap kebebasan pers yang sedang terjadi.
Sebagai pejabat publik yang berada di posisi strategis, terutama dalam bidang komunikasi pemerintah, seharusnya Nasbi memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya kehati-hatian dalam berkomunikasi. Sebagai Kepala Komunikasi, tugas utamanya adalah memastikan bahwa komunikasi pemerintah dengan publik berjalan lancar, jelas, dan penuh rasa hormat. Namun, pernyataan Nasbi ini malah menciptakan kesan bahwa ancaman terhadap jurnalis dan kebebasan pers bisa dianggap enteng dan bukan masalah serius. Padahal, ancaman tersebut merupakan bentuk intimidasi yang tidak hanya merugikan korban, tetapi juga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas dan kebebasan pers di Indonesia.
Pernyataan semacam itu, yang terkesan meremehkan dan tidak empatik, justru membuka ruang bagi interpretasi yang salah dan menciptakan ketegangan antara pemerintah dan kalangan jurnalis. Insiden ini bukan sekadar masalah satu individu atau satu kantor berita, tetapi masalah yang berkaitan dengan kebebasan pers dan hak asasi manusia secara keseluruhan. Dalam konteks ini, seorang pejabat komunikasi harusnya mengutuk keras segala bentuk teror dan kekerasan terhadap jurnalis, serta menyatakan komitmen pemerintah untuk menjaga kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi yang sangat vital.
Dalam situasi yang demikian, komunikasi yang seharusnya dilakukan oleh pejabat publik adalah komunikasi yang mampu meredakan ketegangan, memberikan rasa aman, dan memperlihatkan bahwa pemerintah berdiri di pihak yang benar dalam melindungi kebebasan berpendapat dan berinformasi. Sebagai Kepala Komunikasi, Nasbi memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan pesan dengan bijak, menciptakan suasana yang positif, dan menjelaskan langkah-langkah yang akan diambil pemerintah untuk menangani kasus tersebut dengan serius. Alih-alih meremehkan atau memperburuk situasi dengan pernyataan yang tidak sensitif, Nasbi seharusnya memberikan pesan yang jelas bahwa ancaman terhadap jurnalis adalah masalah yang sangat serius dan harus direspons dengan tegas.
Sebagai pejabat yang memiliki peran penting dalam menciptakan komunikasi yang efektif, Nasbi perlu mengingat bahwa setiap kata yang diucapkannya tidak hanya dipantau oleh media, tetapi juga oleh publik luas. Keputusan untuk memberikan respons yang kurang bijaksana, seperti dalam kasus ini, dapat merusak reputasi pemerintah dalam menjaga kebebasan pers dan hak-hak warga negara. Sebuah komunikasi yang gagal atau tidak tepat bisa menyebabkan kerusakan yang lebih besar daripada yang diantisipasi, terlebih lagi dalam situasi yang melibatkan ancaman terhadap individu atau kelompok yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Pernyataan yang lebih bijaksana seharusnya adalah yang mengutuk keras segala bentuk teror dan ancaman terhadap jurnalis. Komentar yang terkesan meremehkan ancaman terhadap jurnalis tidak hanya memperburuk citra pemerintah di mata media, tetapi juga menciptakan keraguan di kalangan masyarakat mengenai komitmen pemerintah terhadap kebebasan pers. Keberanian untuk mengutuk segala bentuk ancaman dan kekerasan terhadap jurnalis adalah langkah pertama yang perlu diambil oleh seorang pejabat publik dalam menunjukkan sikap empati dan dukungan terhadap dunia pers.
Tanggung jawab seorang Kepala Komunikasi Kantor Kepresidenan juga mencakup kemampuan untuk menyikapi situasi yang kompleks dengan bijak. Sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat, seorang pejabat komunikasi harus memastikan bahwa pesan yang disampaikan dapat mempererat hubungan, bukan justru memperburuk ketegangan. Jika Nasbi lebih berhati-hati dan mengutamakan rasa empati, reaksi terhadap pernyataan tersebut mungkin tidak akan begitu meresahkan banyak pihak. Namun, ketidaktepatan dalam merespons justru menambah keresahan dan memperbesar ketegangan yang sudah ada.
Kesimpulannya, Hasan Nasbi sebagai Kepala Komunikasi Kantor Kepresidenan, seharusnya lebih cermat dan bijaksana dalam menyikapi setiap pernyataan di media. Sebagai pejabat publik yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap pemerintah, Nasbi perlu memastikan bahwa setiap kata yang dikeluarkan mampu menciptakan suasana yang kondusif dan mendukung proses demokratis. Ketika menghadapi isu-isu sensitif seperti ancaman terhadap kebebasan pers, sikap empati dan perhatian terhadap detail sangat diperlukan. Oleh karena itu, komunikasi yang efektif tidak hanya berbicara tentang bagaimana menyampaikan pesan, tetapi juga tentang bagaimana memahami dampak dan konsekuensi dari setiap pernyataan yang dikeluarkan.
Pernyataan Nasbi yang terkesan meremehkan insiden teror kepala babi menunjukkan betapa pentingnya bagi seorang pejabat komunikasi untuk memiliki pemahaman yang mendalam tentang konteks sosial-politik dan sensitifitas terhadap isu-isu yang ada. Agar pemerintah dapat tetap menjaga kredibilitasnya, sangat diperlukan seorang komunikator publik yang tidak hanya menguasai teknik berkomunikasi, tetapi juga memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap dampak dari komunikasi tersebut. Dengan begitu, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, khususnya dalam hal perlindungan terhadap kebebasan pers, dapat terus terjaga.
*) Penulis adalah Kader Pemuda Muhammadiyah di Sulawesi Selatan