Beranda Kampus Ketahanan Pangan dalam Perencanaan Kota Berkelanjutan

Ketahanan Pangan dalam Perencanaan Kota Berkelanjutan

0
Engki Fatiawan*

Oleh: Engki Fatiawan*

Tren urbanisasi kian meningkat seiring berjalannya waktu. Hampir 55% penduduk di dunia tinggal di perkotaan dan 85% dari populasi global tinggal dalam jarak 3 jam dari Kota (FAO, 2019). Di Indonesia lebih dari 50% penduduknya tinggal di kota. Angka tersebut akan terus mengalami peningkatan. Data dari World Bank (2019), memperlihatkan lebih dari 70% penduduk Indonesia akan menetap di kota pada tahun 2045.

Peningkatan jumlah penduduk di perkotaan terjadi karena kota menjadi sentral perekonomian sehingga dapat menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Hal itu juga ditunjang karena infrastruktur perkotaan yang memadai serta kualitas hidup lebih tinggi dan peluang pendidikan yang baik juga ditawarkan. Selain itu, faktor pendorong berpindahnya orang-orang dari desa ke kota yaitu tingkat kemiskinan di desa meningkat karena kurangnya lapangan pekerjaan dan lahan pertanian semakin berkurang. Ditambah lagi faktor lingkungan yang buruk, misalnya daerah pedesaan rawan terkena bencana seperti longsor, banjir, dan tanah yang tidak subur lagi untuk pertanian.

Perkembangan teknologi juga menjadi faktor pendorong urbanisasi. Selain dari aksesibilitas yang mudah dan cepat, teknologi juga banyak memberikan gambaran perkotaan dari berbagai sisi. Gambaran perkotaan sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan mampu menarik masyarakat untuk memperluas jangkauan dalam memperoleh pekerjaan. Setidaknya dengan hidup di kota dapat sedikit mengubah kualitas hidup jika dibandingkan menetap di desa.

ADVERTISEMENT

Tren peningkatan urbanisasi pada dasarnya memiliki masalah sehingga pemerintah kota kewalahan menghadapinya. Masalah paling mendasar ini yaitu semakin berkurangnya ruang hidup. Lahan yang dulunya sebagai ruang terbuka hijau atau lahan pertanian kini teralih fungsi menjadi pemukiman penduduk. Semakin berkurangnya ruang ini menyebabkan banyaknya perkampungan kumuh yang mengisi lahan rawa-rawa dan daerah sempadan sungai atau kanal-kanal perkotaan.

Hal tersebut di atas dapat mengurangi estetika lingkungan perkotaan serta berdampak pada munculnya genangan air karena daerah resapan air semakin berkurang. Selain itu, peningkatan gas karbon juga semakin meningkat seiring dengan banyak pergerakan masyarakat kota yang menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil. Ditambah lagi dengan pola konsumsi yang tinggi sehingga menimbulkan permasalahan sampah yang semakin meningkat. Sementara lahan pembuangan sampah juga semakin berkurang.

Lahan yang semakin berkurang berimbas pada produksi pangan sehingga kota tidak dapat mencukupi pangannya sendiri. Akibatnya, kota rentan terhadap kekurangan pangan. Untuk memenuhi pangan perkotaan maka daerah pedesaan sekitar perkotaan menjadi pemasok utama. Olehnya itu, dibutuhkan sinergi kebijakan multi pemangku kebijakan perkotaan – perdesaan.

Terdapat salah satu sistem pertanian yang dapat diterapkan di kota yaitu sistem urban farming atau pertanian perkotaan. Pertanian perkotaan merupakan sistem pertanian dengan skala kebutuhan lahan yang tidak luas. Pertanian perkotaan dapat dilakukan di areal pemukiman baik di rumah-rumah warga, pinggiran lorong, atau di sekitar fasilitas umum.

Pertanian perkotaan ini dapat dengan mudah dilakukan melalui bantuan teknologi. Terdapat pertanian dengan menggunakan sistem hidroponik yang tanpa menggunakan media tanah sebagai tempat tumbuh tanaman. Selain itu, ada juga yang disebut sebagai pertanian vertikal yang dapat dikembangkan di dinding-dinding rumah dan lorong-lorong kota. Sistem pertanian tersebut dapat diintegrasikan dengan budidaya ikan air tawar sehingga dapat menjadi nilai tambah ketersediaan pangannya yang disebut integrated farming system.

Dalam penerapan sistem pertanian tersebut perlu dibuatkan kelompok tani perkotaan yang dapat menjalankan sistem tersebut, mulai dari proses budidaya hingga proses pemasaran. Kelompok tani perkotaan ini harus berbasis RT yang bertugas melakukan budidaya pertanian. Akan tetapi, sebelum kelompok tani ini bekerja harus diberikan peningkatan kapasitas terlebih dahulu sehingga output yang diinginkan tercapai. Selain itu, kelompok tani tersebut harus terkoordinasi dan diberikan pendampingan oleh ahli.

Namun, hal tersebut tidak dengan mudah untuk dicapai akan tetapi, kota harus merencanakan mengenai ketahanan pangan dan gizi untuk masyarakatnya. Food and Agriculture Organization (FAO) sendiri menyatakan bahwa pertanian perkotaan ini hanya berbasis pada pemenuhan kebutuhan rumah. Akan tetapi, dengan adanya sistem pertanian tersebut maka setiap keluarga dapat memenuhi kebutuhan pangannya. Walaupun saat ini masih banyak yang belum menerapkan karena memang belum banyak perkotaan yang menerapkan hal tersebut. Selain dari kurangnya instrumen hukum dan kebijakan yang mengatur, masalah lain yang dihadapi yaitu kebutuhan sumber daya keuangan dan sumber daya manusia yang besar.

Alternatif yang ditawarkan yaitu sinergi antara kota dan desa dalam menyediakan pangan. Desa yang masih memiliki potensi pertanian yang luas menjadi pemasok pangan ke kota-kota terdekat. Walaupun misalnya akan diterapkan pertanian perkotaan tetapi, produksinya hanya sebatas pada pemenuhan kebutuhan sayuran sementara untuk kebutuhan pokok beras masih membutuhkan penelitian dan perencanaan yang mendalam untuk mengembangkannya. Olehnya itu, dibutuhkan kebijakan yang inklusif dan sinergi multi pemangku kebijakan dalam mencapai ketahanan pangan dan gizi kota yang berkelanjutan.

*) Penulis adalah Alumni Fakultas Pertanian Unhas & Ketua Korkom IMM Unhas

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT