Oleh : Sitti Nurliani Khanazahrah*
Langit sedang mendung ketika saya selesai mengisi seminar diskusi di suatu cafe di Makassar. Saya tidak langsung pulang. Saya lalu duduk di meja yang kosong sambil memesan hidangan yang cocok di saat cuaca mendung.
Sembari melanjutkan buku bacaan saya, di meja sebelah, sepasang anak muda sedang asyik bercakap sambil memegang buku dengan sampul bergambar perempuan bersayap, berjudul The Art of Healing. Mereka tertawa kecil, lalu memotret kopi mereka, dan akhirnya swafoto dengan caption, “healing dulu ya.”
Saya hanya tersenyum. Bukan karena sinis, tetapi karena saya paham bahwa kita semua, mungkin tanpa terkecuali, sedang dalam proses pemulihan. Ada luka yang tidak selesai di masa kecil. Ada tekanan kerja, kehilangan orang tercinta, atau sekadar rasa lelah eksistensial yang tak bisa diberi nama. Kita mencari-cari kata yang tepat, dan akhirnya “healing” menjadi jawaban generik yang diterima oleh publik.
Namun demikian, saya bertanya dalam hati. Apa sebenarnya yang sedang disembuhkan? Dan apakah mungkin kita menyembuhkan diri hanya dengan secangkir kopi dan caption inspiratif? Ataukah itu bagian dari budaya baru, yaitu budaya yang berupaya menangkap rasa lelah manusia modern dengan estetika yang menenangkan?
Fenomena healing memang bukan semata tren. Ia adalah manifestasi dari kebutuhan manusia modern yang letih. Dunia bergerak dan berputar begitu cepat. Hidup dipenuhi ekspektasi. Kita dituntut untuk selalu bahagia dan produktif. Tidak heran jika istilah seperti self-care, self-love, inner child, atau trauma menjadi bagian dari kosakata harian. Bahkan, sudah menjadi identitas.
Sebagai manusia yang tumbuh dalam lintasan budaya Timur yang kolektif dan nilai spiritual yang kuat, saya melihat ini sebagai gejala menarik. Di satu sisi, ia membuka ruang untuk kesadaran baru tentang kesehatan mental dan spiritual. Namun di sisi lain, ia juga mengandung paradoks. Healing yang awalnya bersifat personal dan intim berubah menjadi pertunjukan kolektif yang penuh tuntutan baru.
Pertama, mari kita lihat sisi baiknya. Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental kini tidak lagi dianggap tabu. Banyak dari kita yang mulai mengenali luka masa lalu, memaafkan diri sendiri, dan mencari pertolongan profesional. Healing bukan lagi soal mistik atau kekuatan magis, tetapi proses psikologis dan spiritual yang perlu dilalui secara sadar.
Carl Jung (1875-1961) menyebutkan bahwa setiap manusia menyimpan bayangan (shadow) dalam dirinya, yaitu sisi gelap yang kerap ditolak, disembunyikan, atau ditakuti. Proses healing bisa dilihat sebagai rekonsiliasi dengan bayangan itu, sebuah perjalanan ke dalam diri sendiri untuk mengakui bahwa kita tidak harus selalu sempurna. Dalam puisi-puisi Jalaluddin Rumi (1207-1273), luka adalah tempat masuknya cahaya. Kita tumbuh bukan karena tidak pernah sakit, melainkan karena mampu menjadikan rasa sakit sebagai guru.
Saya mengenal beberapa teman yang menemukan makna baru dalam hidupnya melalui proses healing. Mereka belajar mencintai diri sendiri, berdamai dengan tubuh yang tak sesuai standar kecantikan media, atau melepaskan relasi toksik yang selama ini dipertahankan karena takut kesepian. Dalam konteks ini, budaya healing memberi ruang bagi orang-orang untuk bernafas, menjeda, dan menata ulang relasi dengan diri dan dunia.
Akan tetapi, seperti semua hal yang menyentuh wilayah populer, healing pun tidak luput dari komodifikasi. Ia hadir dalam bentuk konten media sosial, paket retret, kutipan motivasi, atau bahkan produk-produk yang dijual dengan label “self-love starter kit.” Di sinilah kegelisahan mulai tumbuh. Apakah kita sungguh menyembuhkan diri, atau sekadar terlihat seperti orang yang sedang menyembuhkan diri?
Byung-Chul Han (1959), seorang filsuf Korea-Jerman, menyebut era ini sebagai era “masyarakat kelelahan”. Kita bukan lagi diperintah oleh otoritas luar, tetapi oleh dorongan internal untuk terus bekerja, terus berkembang, dan terus bahagia. Bahkan healing pun menjadi proyek pribadi yang harus diselesaikan dengan sempurna. Kita tidak diberi ruang untuk gagal, apalagi terluka terlalu lama. Luka harus estetik, puitik, dan bisa dijadikan konten.
Saya pernah membaca sebuah iklan retret healing dengan tagline: “Pulih, semangat, dan kembali produktif!” Saya melihat ada keganjilan di sana. Seolah-olah pemulihan bukan untuk pulih itu sendiri, tetapi untuk kembali menjadi roda yang berputar. Kita disembuhkan bukan agar lebih utuh sebagai manusia, tetapi agar bisa kembali perform di panggung sosial dan ekonomi. Dalam kerangka ini, self-love bukan lagi laku spiritual, melainkan lebih sebagai konsumsi estetis.
Erich Fromm (1900-1980) dalam The Art of Loving menyebutkan bahwa cinta diri yang sejati bukan narsisme, melainkan penerimaan radikal terhadap eksistensi kita, dengan segala keterbatasannya. Namun dalam budaya digital, batas antara self-love dan narsisme menjadi kabur. Kita ingin mencintai diri sendiri, tetapi sering kali hanya berakhir mencintai versi diri yang terlihat bagus di layar orang lain.
Pun Instagram menjadi altar baru. Kita persembahkan rasa lelah, tangis diam-diam, dan harapan untuk pulih dalam bentuk foto atau gambar yang tersusun indah. Dengan berlatar daun-daun hijau, bantal empuk, lilin aromaterapi, dan caption yang menyentuh. Apakah itu salah? Tidak. Tetapi pertanyaannya: apakah itu cukup?
Bagi saya, healing sejati tidak selalu harus terlihat indah. Ia bisa berantakan, sunyi, bahkan menyakitkan. Ia tidak selalu bisa dikatakan dalam kutipan puitik. Kadang ia hanya berupa satu malam panjang di mana kita menangis tanpa tahu kenapa, lalu tidur dan bangun dengan dada yang sedikit lebih lapang.
Simone Weil (1909-1943) pernah mengatakan bahwa penderitaan adalah momen spiritual yang paling sunyi. Di sana, manusia bertemu dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Healing, dalam pengertian ini, bukan sekadar mengobati luka, namun membiarkan luka itu membuka ruang keheningan. Di tengah keheningan itulah mungkin kita bertemu Tuhan, atau diri kita yang paling jujur.
Dalam sufisme, terutama dalam puisi-puisi Rumi dan Attar, proses penyembuhan jiwa digambarkan sebagai perjalanan jauh, seperti kisah Musyawarah Burung yang mencari Sang Raja Burung, Simurgh. Mereka menempuh tujuh lembah, yaitu cinta, pengetahuan, pengasingan, pencarian, keheranan, kefanaan, dan akhirnya keesaan. Healing bukan sekadar self-care, tetapi sebuah laku spiritual yang menuntut keberanian, kejujuran, dan kerendahan hati.
Dan yang paling penting. Tidak semua luka harus disembuhkan segera. Ada luka yang perlu waktu. Ada yang tidak akan pernah sembuh, namun kita bisa belajar hidup berdampingan dengannya. Seperti seseorang yang kehilangan orang tua, atau mengalami trauma masa kecil. Mereka mungkin tidak pernah “pulih” sepenuhnya. Tetapi mereka belajar mencintai diri mereka yang tetap bisa bertahan.
Budaya healing, jika ditarik terlalu jauh, bisa berubah menjadi tekanan baru. Kita dipaksa untuk selalu tampil strong, mindful, dan tenang. Kita menjadi malu mengakui bahwa kita belum baik-baik saja. Padahal, justru dalam pengakuan itulah proses penyembuhan dimulai.
Saya teringat seorang sahabat yang berkata: “Aku sudah ikut retret, journaling tiap hari, meditasi, namun tetap merasa hampa. Mungkin karena aku sedang berusaha memulihkan diri, bukan karena ingin sembuh, namun karena aku merasa harus kelihatan seperti orang yang sedang sembuh.”
Itu membuat saya mulai merenung. Bahwa mungkin saja, yang paling menyembuhkan bukan kutipan Rumi atau kopi hangat. Melainkan pelukan dari seseorang yang tidak menuntut kita untuk segera sembuh. Atau seseorang yang mau duduk diam bersama kita dalam kegelapan, tanpa merasa harus menyalakan lilin.
Saya meyakini bahwa cinta diri bukan sekadar kata, tetapi lebih sebagai laku. Ia bukan aksesoris identitas, melainkan keberanian untuk hadir utuh bersama luka, gelap, dan segala yang tak selesai. Dan juga healing adalah sebuah perjalanan yang kadang terang, kadang mendung, namun selalu layak dijalani.
Bagi saya, kita tidak harus menjadi versi terbaik dari diri sendiri setiap saat. Terkadang, cukup menjadi versi yang mampu bertahan hari ini, dan itu pun sudah cukup.
Maka, ketika kamu merasa belum sembuh, belum bahagia, atau belum bisa memaafkan diri sendiri, tak apa. Kita semua sedang belajar. Tak perlu buru-buru. Tak harus difoto. Tak usah dibagikan. Pelan-pelan saja. Karena sejatinya, kita semua adalah luka yang sedang berjalan pulang.