Beranda Mimbar Ide Revolusi Hening: Saat Media Lama Tersingkir Diam-diam

Revolusi Hening: Saat Media Lama Tersingkir Diam-diam

0
ilustrasi

Oleh : Fajar Lingga Prasetya.,S.AB

(Analis Kebijakan Ahli Pertama  Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Pemerintahan  Lembaga Administrasi Negara)

Di masa lalu, media konvensional adalah mercusuar informasi. Televisi mendikte ritme harian masyarakat, koran menjadi rujukan utama wacana publik, radio menemani perjalanan, dan majalah memperkaya ruang diskusi. Namun kini, kita menyaksikan pergeseran besar: satu demi satu media lama kehilangan pijakan di tengah gelombang digital. Ini bukan sekadar perubahan teknologi, tetapi pergeseran ekosistem yang mendalam.

Kasus demi kasus menjadi sinyal. Kompas Sport TV menghentikan siaran, ANTV mengurangi cakupan, MNC merampingkan struktur direksi. Di sisi lain, harian cetak terus menurun oplahnya. Beberapa media daerah bahkan berhenti terbit. Radio kehilangan pendengar muda, majalah cetak bertransformasi atau tutup permanen. Semua ini adalah tanda bahwa media lama tengah goyah dan digantikan oleh media baru yang lebih ringan, gesit, dan relevan.

ADVERTISEMENT

Di tengah kehancuran itu, muncul pemain baru yang tidak memiliki studio, tidak perlu redaksi besar, dan tidak terikat jam tayang. YouTube, TikTok, Spotify, Netflix, Substack, hingga X (Twitter) kini menjadi ruang konsumsi informasi dan hiburan yang jauh lebih fleksibel. Algoritma menjadi kurator utama. Bukan editor atau produser lagi yang menentukan apa yang layak dikonsumsi publik, melainkan machine learning yang membaca pola klik, durasi tonton, dan komentar pengguna.

Dampaknya luar biasa. Deddy Corbuzier dengan Close The Door, Denny Sumargo dengan Curhat Bang, hingga Podkesmas membuktikan bahwa tanpa infrastruktur besar, mereka bisa meraih jutaan penonton sehingga melampaui sebagian besar acara TV nasional. Jurnalis independen seperti Narasi, Tirto, atau Project Multatuli memanfaatkan distribusi digital untuk menghidupkan jurnalisme berkualitas tanpa perlu mesin cetak.

Menurut laporan We Are Social dan Hootsuite (2024), rata-rata pengguna internet di Indonesia menghabiskan lebih dari 3 jam per hari untuk menonton video daring. Konsumsi berita kini lebih banyak dilakukan melalui media sosial (54%) ketimbang situs berita resmi (36%). Data dari Dewan Pers juga menunjukkan penurunan signifikan jumlah pembaca koran fisik selama lima tahun terakhir.

Masalah utamanya adalah relevansi. Media konvensional kerap lamban merespons isu, terlalu birokratis, dan tidak adaptif terhadap selera generasi digital. Format panjang, bahasa formal, hingga struktur redaksional yang kaku menjauhkan mereka dari audiens muda yang menginginkan informasi yang cepat, singkat, dan interaktif.

Lebih jauh, beban biaya menjadi penghambat lain. TV, koran, dan radio membutuhkan modal besar, perizinan kompleks, serta perangkat yang mahal. Sementara kreator digital cukup bermodal ponsel, kamera ringan, dan ide segar. Ketimpangan ini membuat transformasi media konvensional makin berat.

Apa yang Harus Dilakukan? Pertama, media konvensional tidak cukup hanya beralih ke digital. Mereka harus benar-benar berubah dari segi format, pendekatan, dan cara kerja. Mendistribusikan berita cetak ke e-paper saja tidak cukup. Diperlukan pendekatan multiplatform, multiplayout, dan multidisiplin. Kedua, kolaborasi harus dibuka lebar. Media arus utama perlu belajar dari kreator digital dalam membangun engagement. Format seperti podcast, video pendek, diskusi interaktif, dan live session bisa menjadi sarana baru untuk mempertahankan loyalitas audiens. Ketiga, regulasi perlu direformasi. Ketimpangan antara media konvensional yang dibatasi banyak regulasi dan platform digital yang bebas nilai harus segera dikaji ulang. Perlindungan terhadap jurnalisme profesional tetap perlu, tapi jangan sampai membunuh inovasi dan daya saing. Keempat, perlu investasi dalam media literacy. Masyarakat perlu diedukasi agar bisa membedakan informasi berkualitas dengan hoaks, serta tetap menghargai nilai jurnalistik dalam lautan konten digital yang tidak semuanya kredibel.

Kesimpulannya, media konvensional tidak sedang mati, tapi sedang mengalami “seleksi alam”. Yang tidak beradaptasi akan hilang. Yang berani berubah akan menemukan bentuk baru. Dunia informasi telah berpindah dari ruang redaksi ke ruang algoritma.Yang bisa bertahan bukan yang punya sumber daya besar, tapi yang paling relevan, cepat, dan dekat dengan publik.Kini, bukan lagi soal siapa yang paling keras menyuarakan informasi. Tapi siapa yang paling didengar—dan itu seringkali ditentukan oleh satu hal: algoritma.

Facebook Comments Box