Beranda Mimbar Ide Renungan Efektivitas Kinerja Ditengah Efisiensi Anggaran

Renungan Efektivitas Kinerja Ditengah Efisiensi Anggaran

0

Penulis : Nur Khasanah Latief, S.IP

(Analis Kebijakan Ahli Pertama Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Pemerintahan LAN RI)

Kata “Efisiensi” menjadi sangat fenomenal diakhir tahun 2024 hingga semester pertama tahun 2025. Penyebabnya adalah niat Presiden Prabowo untuk menyelamatkan APBN dari “kebocoran”. Sebagaimana yang dipidatokan pasca pelantikan sebagai Presiden RI pada tanggal 20 Oktober 2024 yang lalu, bahwa perubahan yang melahirkan tantangan tidak menentu harus dihadapi dengan kehati-hatian dan perencanaan yang baik termasuk melalui pengendalian ekonomi yaitu penghematan dan pengurangan kebocoran anggaran pada semua tingkatan. Pidato tersebut menandai penghematan anggaran di sektor pemerintahan berupa pengurangan 50% anggaran perjalanan dinas luar negeri.

Mengawali tahun 2025 sebagai tahun pertama kinerja pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2025 yang berisi Amanah penghematan anggaran bagi Kementerian/Lembaga (K/L). Arahan tersebut dituangkan dalam aturan Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025. Dalam surat tersebut ditetapkan besaran efisiensi anggaran K/L tahun 2025 yaitu 256,10 Triliun serta efisinsi anggaran transfer ke daerah sebesar 50,5 Triliun.

ADVERTISEMENT

Komponen terbesar dari efisiensi lingkup K/L yaitu; alat tulis kantor sebesar 90%; percetakan dan souvenir serta sewa Gedung, kendaraan dan peralatan di angka >70%; kegiatan seremonial, seminar, kajian dan analisis, honorarium dan belanja jasa, serta perjalanan dinas dan belanja lainnya sebesar >50%; serta beberapa komponen lainnya yang juga berada pada angka efisiensi yang cukup besar yaitu sekitar 10-40%. Total komponen efisiensi bagi K/L sejumlah 16 item.

Sebuah permulaan memang selalu terasa begitu sulit

Seperti itulah perasaan serta kondisi di instansi pemerintah khususnya K/L saat ini. Para Pegawai Negeri Sipil (PNS) “dipaksa” untuk keluar dari zona nyaman terhadap kondisi ideal dalam menjalankan tugas negara. K/L segera berapat baik secara internal maupun dengan Kementerian keuangan dalam rangka menyusun skema efisiensi terbaik untuk memenuhi target efisiensi yang ditetapkan. Di sisi lain, Pimpinan memainkan peran memberi motivasi kepada seluruh pegawai satuan kerja dan unit masing-masing agar efisiensi tidak berdampak pada motivasi kerja dan kualitas pelayanan yang diberikan kepada stakeholder/masyarakat.

Berkaca dari Argentina tentang Efisiensi Anggaran

Kebijakan efisiensi anggaran di pemerintahan kita bukanlah yang pertama dan satu-satunya di dunia. Setali tiga uang dengan langkah yang diambil oleh Presiden Argentina (2023-sekarang), Javier Gerardo Milei, pada awal kepemimpinannya yang memangkas anggaran negara menjadikan negara tersebut surplus dan tercatat sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua setelah negara Amerika Serikat pada tahun 2024 lalu. Hal tersebut sebagai upaya meredam inflasi yang terjadi diawal masa jabatannya. Efisiensi anggaran yang dilakukan antara lain melalui pengurangan anggaran bagi pegawai negeri, hingga yang lebih ekstrim berupa pemecatan 45.000 pegawai; pengurangan anggaran Pendidikan; serta pemberhentian proyek pekerjaan infrastruktur publik.

Sebuah renungan; seberapa efektif birokrasi bekerja?

Namun, yang terberat bukan tentang anggaran yang dipangkas. Yang terberat bagi birokrasi pemerintahan adalah bagaimana menyikapi narasi-narasi terkait stigma masyarakat terhadap efektivitas kerja birokrasi yang selama ini dipandang kurang. Kemudian, membawa kita pada renungan jauh ke belakang yaitu benarkah kita kurang efektif berkinerja ditengah anggaran dan fasilitas yang memanjakan? Sejauh mana kita bergantung pada anggaran dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat?

Merujuk pada Indeks Efektivitas Pemerintah yang dilakukan oleh World Bank (2023), Indonesia hanya berada pada urutan ke 58 (dari 193 negara) sebagai negara dengan pemerintahan paling efektif. Indeks ini mengukur kualitas layanan publik, layanan sipil, perumusan dan implementasi kebijakan, dan kredibilitas komitmen pemerintah untuk meningkatkan atau mempertahankan aspek-aspek tersebut. Skala indeks tersebut yaitu -2,5 (efektivitas terendah) sampai 2,5 (efektivitas tertinggi). Sedangkan, Indonesia tertinggal jauh dengan indeks 0,58 poin yang mengindikasikan efektivitas kinerja pemerintahan belum optimal dan masih cenderung rendah.

Sumber : Katadata merujuk ke Indeks Efektivitas Pemerintahan oleh Bank Dunia (2023)

Selain itu, Survei Litbang Kompas (Februari 2025) yang melibatkan 529 responden dari 38 provinsi tentang Persepsi Masyarakat terkait Efisiensi Anggaran menunjukkan sebanyak 73,3% responden menilai bahwa belanja pemerintah selama ini memang belum efisien. Ditemukan pula bahwa efisiensi ini dapat mengurangi beban APBN (27,1%), mengurangi kebocoran uang rakyat (24,4%), dan mengurangi belanja tidak produktif (22,5%).

Dalam perjalanannya, kebijakan efisiensi anggaran “memaksa” pemerintahan bertransformasi. Sejumlah kebijakan lahir sebagai upaya adaptif agar pelayanan tetap berjalan tanpa anggaran dan fasilitas yang memanjakan. Beberapa data menunjukkan bahwa efisiensi anggaran memiliki dampak positif baik berhubungan secara langsung maupun tidak langsung terhadap transparansi, akuntabilitas, dan stabilitas fiskal, antara lain:

  • Indonesia mengalami peningkatan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari 34 ke 38 pada awal 2025, menunjukkan adanya perbaikan dalam persepsi publik terhadap upaya pemerintah memberantas korupsi dan menyederhanakan birokrasi.
  • Survei Nasional Indikator Politik Indonesia (Maret 2025) menunjukkan bahwa 64% masyarakat menganggap efisiensi anggaran sebagai indikator penting dari transparansi dan akuntabilitas pemerintahan (2025). Hal ini menunjukkan dukungan Masyarakat serta sinyal kepercayaan publik terhadap kebijakan tersebut.
  • Rasio utang pemerintah turun dari 38,6% menjadi 37,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dibandingkan tahun sebelumnya, menunjukkan dampak positif efisiensi anggaran terhadap stabilitas fiskal.

Perubahan lain sebagai dampak dari kebijakan tersebut bagi birokrasi yaitu; pelayanan berbasis digital semakin dikembangkan, terbangun budaya berpikir kreatif dan inovatif agar pelayanan tetap optimal dengan sumberdaya yang terbatas, serta jangka panjangnya akan memperbaiki citra birokrasi dan mengembalikan kepercayaan publik. Tantangan ke depannya adalah memastikan bahwa efisiensi anggaran tidak mengorbankan kualitas layanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah harus terus memantau dan menyesuaikan kebijakan agar efisiensi anggaran dapat berjalan seimbang dengan pelayanan publik yang optimal. Serta yang tidak kalah penting, kebijakan efisiensi anggaran menjadi penyadar bahwa ternyata efektivitas kinerja bukan tergantung pada anggaran yang tidak efisien. Jangan sampai birokrasi kita terlena kembali dengan kebijakan dibukanya blokir anggaran yang sejatinya bertujuan agar dapat direalisasikan dalam mendukung program-program prioritas Pembangunan nasional. Singkatnya, menurut Djajendra, seorang soft skill motivator bahwa “Pelayanan merupakan sebuah perilaku yang terus-menerus wajib diperbaiki untuk bisa menjadi lebih manusiawi terhadap yang dilayani”. Tambahan dari penulis, dengan atau tanpa bergelimpahan anggaran.

Facebook Comments Box