Beranda Cerpen Naura

Naura

0

Oleh : Rijal Januari Utomo*

Di bawah sebuah lampu kamar yang remang, tampak meringkuk seorang anak perempuan dengan rambut dikepang dua, matanya biru, tatapannya menerawang. Entah ke mana imajinya saat ini menjelajah, ada getir dalam raut mungilnya.
Pada salah satu sudut kamar itu, dengan hiasan seadanya berdiri sebatang Cemara dengan bintang pada puncaknya. Suasana di luar rumah hening, malam ini gencatan senjata. Kontras dengan apa yang terjadi dengan anak itu.
Namanya Naura, seorang anak keturunan Kristen Palestina. Anak yang kini
melewati malam natalnya dengan sebuah harapan.
*****
“Ayah, mengapa kita tidak mengungsi saja seperti kerabat-kerabat kita yang lain?” ucapnya lirih.
“Tidak nak, Ayah akan malu pada ibumu sekiranya itu yang kita lakukan”
“Tapi Ayah, aku takut”
Pria itu hanya tersenyum lantas mencium kening buah hatinya dengan penuh kasih
sayang.
“Tak usah khawatir sayang, tidurlah. Ayah janji akan menjagamu seperti Ayah menjaga tanah kita ini. Jangan lupa sampaikan salamku pada Ibumu jika kau memimpikannya”.
Anak itu tersenyum. Senyum yang selalu menjadi musik indah diantara desingan anak peluru, senyum yang menjelma oase diantara padang reruntuhan.
*****
Pagi hari bertamu seperti biasanya. Ya, seperti biasanya. Penjajahan tak pernah mengenal suku, ras, dan agama manapun. Tak terkecuali keluarga kecil itu. Berpopulasi hanya lebih kurang 1% dari jumlah keseluruhan warga, komunitas Kristen yang bermukim di sebuah kota kecil di perbatasan menjalani hari-harinya dengan harmonis dan hidup berdampingan bersama penduduk muslim mayorits.
Sebelum akhirnya invasi itu terjadi.
Dingin menelisik hingga ke sumsum tulang belakang, namun itu tak cukup
untuk meruntuhkan semangat pria itu. Dari luar kediamannya, blokade serdadu bak parade anak sekolahan mengelilingi wilayah. Kendaraan siap tempur hilir-mudik seolah siap membumi hanguskan siapa saja. Sebuah keadaan yang mampu meruntuhkan mental siapa saja.
Namun malam ini adalah malam natal.
Hanya itu yang ada di benak pria itu. “Setidaknya Naura harus tersenyum dengan sangat indah malam ini” batinnya.
Keluarga kecil itu untuk pertama kalinya akan melewati malam natal tanpa sosok seorang perempuan tangguh bersama mereka. Sosok yang menjadi alasan pria itu dan Naura enggan mengungsi bersama kerabat-kerabatnya.
“Kau lihat sayang, anakmu akan tumbuh berani layaknya dirimu” batinnya lagi, dan kali ini diiringi genangan di kelopak matanya.
*****
Naura yang terbangun dari tidurnya mendapati sunyi di sekeliling rumahnya. Ayahnya sudah sedari tadi meninggalkan kediamannya. Anak itu memang telah terbiasa ditinggal sendirian.
Mendiami Negeri yang disulut perang berkepanjangan, membuat Ayah Naura harus selalu meninggalkan anaknya sendiri di rumah, dan bermain kucing-kucingan dengan penjaga batas wilayah demi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Intifadha yang meledak beberapa hari yang lalu, membuat pekerjaan pria itu
bukan lagi sekedar main kucing-kucingan seperti biasanya. Pasukan penjajah yang
berhasil dipukul mundur sebelum akhirnya kembali bisa menetralkan wilayah berkat bantuan serdadu tambahan, telah membuat pengawasan seketat mungkin. Seolah mereka tak akan membiarkan benda sekecil apapun luput dari radar mereka, bahkan semut sekalipun.
*****

Tak akan kau temukan senja yang indah di sana, Alih-alih jingga mentari yang
kau harapkan, hanya pertunjukan asap bekas ledakan yang kau dapatkan.
Menjelang malam, Ayah Naura tak kunjung kembali. Naura yang sudah sedari tadi membereskan ini-itu untuk persiapan malam natalnya, kini mulai risau. Pohon Cemara telah ia hias dan letakkan sedemikian rupa, persis seperti setahun lalu, hari yang sama di
saat dia kehilangan Ibunya.
“Ayah, di mana?…” Panggilnya dalam hati.
“Ayah, Naura takut. Paman jahat yang berseragam tadi sore kembali ke daerah kita. Memeriksa satu-persatu tiap sudut rumah. Naura tak tahu kita salah apa Ayah.”
Anak itu mulai terisak
“Walau sekarang di luar rumah sudah tidak ada lagi peluru yang melayang-layang, tapi Naura masih gemetaran Ayah. Naura takut kalau-kalau Paman  jahat yang berseragam kembali ke sini. Ayah di mana?…”
Kini dia Menangis dengan kencang.
“Malam ini Naura hanya ingin Ayah menemaniku. Naura tidak mau sendiri lagi Ayah. Bukankah malam ini seharusnya kita bahagia?
Ayah, aku sedih. Aku jadi ingat Ibu.”
Gencatan senjata yang terjadi setelah bentrok tadi siang, membuat malam itu
sangat mencekam. Sisa-sisa dentuman ledakan mesiu dan suara barisan anak peluru masih terngiang di telinga Naura.
Dari salah satu sudut kamar, sayup-sayup terdengar suara radio. Satu-satunya media yang selama ini menghubungkan Naura dengan dunia luar “….Pasca bentrok yang terjadi antara Hamas dengan tentara Israel tadi siang, belasan rumah dilaporkan hancur dan seorang warga sipil meninggal akibat terkena ledakan bom. Belum diketahui identitas korban sejauh ini. Petugas evakuasi sementara menyelidiki identitas korban. Sempat dikabarkan korban sebelumnya berusaha untuk menerobos blokade sebelum akhirnya terkena ledakan…..”
Sekujur tubuh Naura seketika menggigil, ada sesuatu yang mengganjal dari berita yang barusan dia dengarkan.
Seolah harapan yang sedari tadi berusaha dia tumbuhkan perlahan tersedot perlahan-lahan. Dengan sisa-sisa harapan yang dia miliki saat ini, Naura berusaha melawan kekhawatirannya.
“Ayah, aku mohon jangan.”
“…..Tim evakuasi akhirnya berhasil mengetahui identitas korban. Dari salah
satu kartu identitas yang diperoleh di tempat kejadian. Diketahui bahwa korban adalah seorang Nasrani bernama Musallam Al-Karim…..”
Kalimat itu menyedot semua sisa-sisa harapan. Sisa-sisa harapan yang dimiliki gadis
kecil bernama Naura Musallam.
“Ayah, sampaikan salamku pada Ibu, dan Tuhan.”
We wish you a merry christmas… We wish you a merrychristmas. Naura bernyanyi sambil terisak. Sendirian.
*****
Di bawah sebuah lampu kamar yang remang, tampak meringkuk seorang
anak perempuan dengan rambut dikepang dua, matanya biru, tatapannya menerawang. Entah ke mana imajinya saat ini menjelajah, ada getir dalam raut mungilnya.
Lalu di salah satu sudut kamar itu, dengan hiasan seadanya berdiri sebatang Cemara dengan bintang pada puncaknya. Suasana di luar rumah hening, malam ini gencatan senjata. kontras dengan apa yang terjadi dengan anak itu.
Namanya Naura, seorang anak keturunan Kristen Palestina. Anak yang kini
melewati malam natalnya dengan tanpa harapan.

*) Penulis merupakan Alumni Teknik Sipil Politeknik Negeri Ujung Pandang

Facebook Comments
ADVERTISEMENT