Oleh: Ermansyah R. Hindi*
Nietzsche mungkin telah ditakdirkan lahir untuk menggerutu, menari, merenung, dan merusuh pikiran di tengah keasyikan yang berbahaya manusia modern. Masih tetap patut menjejaki gairah Nietzsche dalam kehingar-bingaran politik Indoensia di saat masyarakat lebih dikenal sebagai masyarakat yang religius.
Bukan sekali saja peristiwa terulang dicoba ditata ulang bersama retakan dan celah didalamnya telah menelan korban kengelanturan retoris, kerja sama-kemitraan, kemajuan, kemajemukan, dan bahkan kebebasan itu sendiri. Terdapat sesuatu yang mengherankan dan meleluconkan, mengapa agama bersifat transenden, ilahiah dan suci begitu mudah goyah sekaligus dirayu demi kepentingan instan. Ini karena agama (i) bagi pemeluknya tidak lagi menghidupkan dan menggerakkan kedalam nilai-nilai abadi kedalam dirinya maupun sosial dibandingkan politik kuasa yang hanya mengejakulasikan kepentingannya, sekalipun ada suatu masa bagi umat beragama semampu mungkin untuk memperjuangkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip agama melalui perjuangan politik; (ii) terdapat anggapan, bahwa kesalehan dan kemuliaan hanya diberikan hanya pada agamawan, ulama atau ruhaniawan sehingga konsekuensinya, setiap ucapan, pikiran dan tindakannya dibayang-bayangi larangan untuk berbuat pelanggaran, dosa dan kejahatan lainnya yang persis akan mengakibatkan dikotomi kehidupan dan pemikiran, sebaliknya dimana orang-orang yang tidak menyandang predikat demikian bagi dirinya akan menjadi alasan untuk melakukan tindakan semau gue di luar agama secara terang-terangan maupun tersembunyi sekaligus tidak langsung kebebasannya juga akan menjadi tawanan dan kehampaan baginya; (iii) pemeluk agama formal terutama kalangan mayoritas merasa bangga sebagai penentu jalannya sejarah dan eporia masa depan negeri. Mereka sudah cukup hanya memanjatkan doa-doa, munajat dan berbicara tulus dan menyejukkan batin, menenangkan suasana atau sambil ikhtiar memperjuangkan nasib umat beragama yang terancam bahaya ketidakadilan dari pihak lain. Umat beragama semestinya dalam dirinya ditanamkan, ditumbuhkan dan disebarkan nilai-nilai kemanusiaan, pluralitas dan keterbukaan menuju kuasa lainnya dalam kehidupan yang tertular dengan pemikiran agama yang lebih cair, bergema dan kritis. Tetapi, belum tentulah mereka berbicara begitu saja, lalu membuktikannya secara moral apalagi dalam tindakan nyata. Tidaklah berlebihan bagi setiap umat beragama akan terbebas dari bayangannya sendiri dan dari momok yang ada dalam pikiran dan fantasinya yang dibuat olehnya sendiri selain orang-orang yang telah mencapai tingkat pengetahuan agama yang tinggi. Pada umumnya, agama memiliki skandal terbesar nan senyap, tatkala merosotnya pemikiran yang mendasarkan pada agama. Dalam hal ini, “skandal korupsi sama pentingnya dengan skandal agama”. “Agama adalah ilusi sejauh kebenaran yang direngkuhnya tidak lagi mengikuti rujukan dan asal-usul, kecuali fantasi dangkal dari kuasa yang mapan”. Sehingga hal ini, ‘fantasi kuasa yang mapan’ akan mewaspadai pembaharuan pemikiran agama.
Ilusi agama mungkin saja dapat menghantui kita selama para pemeluknya memiliki skandal pemikiran (Islam sering digiring oleh pemeluknya kedalam ‘oposisi duaan’, seperti “orang luar”-“orang dalam”, “kita”-“mereka”, “kaya”-“miskin”, padahal sesungguhnya hal itu masih dalam perkara kemanusiaan). Sudah tentu kita kan melihat suatu perbedaan dalam kesibukan mencari nafkah hidup, pekerja dan berpikir, kita disibukkan dengan berita-berita atas nama kebebasan, bahwa agama ternyata lahir dan dianut dengan seluruh kisah yang menyertainya benar-benar dikatakan suatu kesuksesan dalam kesejarahannya, jika orang-orang yang dianugerahi bakat untuk berilusi agama dan dikarunia insting untuk berkuasa sedapat mungkin memainkan permainan topeng dibalik petanda keagamaan. Satu-satunya kebenaran kuasa-agama yang ditopengkannya adalah amoral dan kepura-puraan. Selain dari moralitas, kebenaran agama adalah kebenaran yang bersifat instingtual yang menegaskan pula kebenaran adalah ilusi. Kini, kebenaran agamalah, akhirnya menjadi sebuah tontonan yang mencerahkan sekaligus menakutkan tidak hanya terjadi di belahan Barat, tetapi juga menyelinap di selah-selah politisasi agama dengan segala simbolnya melanda di tanah air kita. Dalam The Birth of Tragedy and The Genealogy of Moral, teks-Nietzsche memberikan gambaran: ”Pada saat kehendak akan kebenaran menyingsing kesadaran dirinya sendiri, etika semestinya binasa sekarang. Ini adalah tontonan besar dari seribu adegan yang akan memakan waktu selama dua abad ke depan di Eropa, tontonan yang paling mengerikan, paling dipermasalahkan dan juga paling memberikan harapan” (1956: 297-298). Suatu saat, kita juga menyaksikan setiap permainan politik, pertumpahan darah, perang, dan kekerasan lainnya yang mengatasnamakan agama telah menghancurkan nalar. Selanjutnya, bisa jadi, apapun agama yang dianutnya terutama kalangan mayoritas tidak hanya dipredikatkan pada agama formal lainnya yang minoritas dengan ajaran atau dogmanya akan bayang-bayangi oleh bentuk kuasa lainnya (melalui organisasi keagamaan dan politik) yang terkendali dan terprogram melalui politik kuasa negara yang pada akhirnya akan merusak keyakinan dan moralitas umat beragama tertentu. Kecenderungan seseorang pada keyakinan dan moralitas yang baik setelah terbuai dalam kenikmatan secuil. Ia tidak lebih kebaikan seraya bermuka manis, menjilat dan menghamba pada kuasa ganda: negara dan agama merupakan bagian dari pengetahuan klasik yang datang dan pergi seiring dengan kenikmatan dan kepentingan. Apa itu agama? Agama muncul jika terdapat kelompok dan partai berdasarkan agama dan non agama yang mendukung rezim kuasa negara, dalam perjalanannya mengalami skandal penyelewengan atau korupsi akan dicarikan satu alasan agar tidak berlarut-larut dan terjerat hukum, justeru rezim politik kuasa negaralah melindungi dan membuatnya tidak disentuh hukum. Apapun agama dan haluan politiknya begitulah kenyataannya. Jika agama dikuasai oleh kekuatan yang tidak sama nilai, esensi dan sifatnya, ia tidak akan mampu merahi cita-cita yang lebih agung. Karena itu, prinsip kebebasan manusia itulah untuk memilih agama atau tidak yang akan dipertanggungjawawab. Kebebasan terlepas apakah ia ilusi atau tidak akan tercermin pada kebaikan dan kejahatan. Pada dasarnya, agama mengajarkan tentang kebaikan dan kejahatan atau keburukan. Nietzsche mengingatkan “… Di seberang kebaikan dan kejahatan. Saya tidak bermaksud “Di seberang kebaikan dan keburukan” pada seluruh peristiwa” (1956: 187). Paralogisme tersusun kembali batu bata bangunan yang berserakan dan berbicara melalui tempo pembolak-balikan kebaikan dan kejahatan. “Aku baik, jadi engkau jahat”, “Aku baik di pagi hari, aku jahat di sore hari“, “Engkau jahat di sore hari, engkau baik di pagi hari dan seterusnya silih berganti dalam peristiwa. Setiap saat memiliki kecenderungan berubah-ubah dan berbolak-balik. Gambaran pembanding melingkari para birokrat, teolog dan agamawan yang terhormat, terpercaya dan dermawan. Satu waktu ia akan menolong, mengayomi dan melayani, di waktu lain ia akan mengumpet, diam-diam mengincar, memotong kompas hingga menyusupkan dirinya dalam kenikmatan yang lebih megah. Agama juga muncul di saat diberikan bukan cobaan akan kelimpahan obyek, tetapi pada belas kasihan sesama, kebenciaan akan penderitaan. Ketidakhadiran akan kejahatan dan nilai-nilai agama meletakkan yang kuat dan lemah pada perhitungan nol. Kuasa agama menandakan kelemahan, misalnya, seseorang dihadapan uang yang menggoda keyakinan atau iman. Masalah nilai dari positivitas agama terletak setelah pengetahuan dan peluang untuk meraup keuntungan dan mengumpulkan kekayaan dengan cara melawan agama yang tidak terkendali akan terjatuh dalam kehampaan. Singkat kata, agama membawa kebenaran hanyalah ilusi. Kebenaran agama menjadi ilusi akan menampakkan dirinya dalam diri umat beragama yang dimulai dari kalangan bergengsi dan para petinggi yang berpikiran maju, mencakrawala dan bermoral tinggi, bukan dari orang-orang yang kuat, miskin dan lemah. Agama juga muncul dari orang-orang yang telah mencapai kebenaran, sehingga kebenaran lainnya yang datang dari pihak luar musnah dihadapannya. Pemahaman agama yang picik dipertentangkan dengan pemikiran yang plural. Sementara, agamawan paling jujur adalah yang melacurkan dirinya demi kenikmatan yang dangkal. Oleh dan dari pemeluknya yang taat dalam penampilan, agama dijadikan pelayan nafsu. Orang-orang nampaknya sementara keluar dari pemikiran klasik dan terlempar dalam pemikiran modern sampai keduanya tidak ada lagi tapal batas, karena bertopengkan agama supaya memuluskan usahanya. Pada saat agama menuju pencapaian yang tinggi, di situ pula pemeluknya membuka dan mengambil kembali topeng untuk tetap dapat bertahan hidup akibat takut akan penderitaan. Harga yang mahal menghilang dalam topeng yang dikenakan pemeluk agama, sekalipun agama sedikit demi sedikit akan kehilangan pesonanya akibat keilahian terkikis habis dalam kemanusiaan. Berkat agama yang dimainkan untuk melipatgandakan kenikmatan puncak, mereka menjadi mulia, berwibawa, necis, dan tulus yang terpengaruh dengan permainan kata-kata. Sebagian orang mendewakan nafsu untuk menegaskan posisinya sebagai Tuan, sebaliknya mereka mengekang dan menentangnya menjadi Budak. Demi keuntungan yang besar, tidak ada lagi Tuan dan Budak, singa dan keledai, kecuali ‘agama kenikmatan’ memalsukan yang lainnya. Di mata orang, ‘agama kenikmatan’ direkonsiliasi dengan keindahan kata-kata begitu bijak dari mazhab agama. Kelompok beragama yang terpikat dengan mazhab dan menganggap dirinya paling benar, bersih dan mengetahui kualitas penghayatan agama dari seseorang dan sekelompok orang yang berlainan agama. Kita masih perlu mengkambing-hitamkan cara pandang agama dari pihak lain dan agar agama formal perlu lebih banyak belajar toleransi pada kaum ateis atau beragama tetapi tidak bertuhan. Boleh jadi, orang-orang yang tidak beragama mampu mengajarkan tentang kebahagian dan kebaikan, sisanya sebagian orang beragama terjebak dalam kegembiraan akan kejahatan. Beragama yang reaktif ditandai oleh seseorang yang telah mencapai ketinggian agama, inteleknya dibisikkan dengan nafsu setan berarti makin berat pula godaannya untuk mengekang nafsu. Orang melanggar agama perlu melepaskan lelah dengan cara disayangi dan dihargai berlaku sebagaimana umumnya.
Lain halnya, sekalipun tidak akan dipaksakan menjadi suatu kemiripan pemikiran Nietzsche yang dihubungkan perkembangan politik dan agama di tanah air. Apabila dapat dikatakan di sini, bahwa kembalinya peristiwa berarti kembalinya ziarah besar milenium dipandu oleh sang penggali kubur pertama-tama mengabarkan tentang kematian Tuhan. Suatu pernyataan mengenai Tuhan suicide (bunuh diri) tiba-tiba menitis secara perlahan-lahan kedalam diri manusia saleh, luhur dan terhormat berlangsung secara nyata, simbolik dan tersembunyi. Tatanan menurut pandangan Gilles Deleuze, bahwa proposisi spekulatif membawa gagasan tentang peran Tuhan dari sudut pandangnya sendiri. Sampai saat ini, frasa Tuhan telah Mati sama sekali berbeda; ia menjadikan keberadaan Tuhan tergantung pada suatu sintesis. Pada satu sisi, Nietzsche mensintesiskan gagasan tentang Tuhan dengan waktu, menjadi, sejarah, dan manusia. Sisi lain, Tuhan ada dan telah mati dan akan ditulis ulang melalui kegilaan. “Tuhan telah menjadi Manusia” sejalan “Manusia menjadi Tuhan”. Jadi, satu frasa “Tuhan telah Mati” (dari Nietzsche) bukan proposisi metafora-retoris, tetapi proposisi ganda, yaitu proposisi ironis atau dramatis dan proposisi erotis menuju kengerian sekaligus kegairahan. Dalam Nietzschologi, kita tidak mampu membayangkan, suatuTuhan dalam pikiran, ingatan dan imajinasi tidak dapat dijadikan suatu obyek pengetahuan sintesis tanpa adanya tanda kematian yang datang padanya, suatu tanda kematian yang tidak terpikirkan atau terbayangkan. Lalu, eksistensi atau non-eksistensi dalam pemikiran kita tidak lagi menjadi penentu mutlak yang berkaitan dengan kekuatan-kekuatan yang masuk kedalam sintesis kematian Tuhan yang ironis dan erotis, bukanlah bersifat fisik. Proposisi ironis-erotis adalah sintesis yang membuatnya nyata, sehingga pada dasarnya juga pluralis, tipologis dan diferensial. Siapa yang mati dan siapa membunuh Tuhan (2002: 214-215)? Ada Tuhan yang mati secara pelan-pelan, cepat dan nyata atau ada pihak secara mutlak mengatasnamakan dan menjual Tuhan di bawah dorongan nafsu gelap dan hasrat represif bahkan selera rasional. Sesuatu yang plural dan diferensial ditandai bukanlah dari “Wajah-Nya”, melainkan cara kematian-Nya dalam kehidupan dan pemikiran. “Ketika para Tuhan mati, mereka selalu mengalami kematian yang berbeda-beda”, kata Nietzsche (Zarahustra-IV, Retired from Service, hlm. 273, Deleuze, 2002: 215). Siasat agar orang-orang tidak lepas dari cengkraman dan kepatuhan, Tuhan perlu merubah dirinya menjadi monster, yaitu monster nan kudus yang menumpahkan ‘kasih sayangnya’ dengan satu syarat mengakhiri nalar dalam kehidupan. Dalam pandangan Nietzsche, … “kemenangan” Kant’s atas aparatus konseptual dogmatis tentang teologi (Tuhan, jiwa, kebebasan, keabadian)” (1956: 292). Kita akan melihat pemikiran ilmiah, bahwa keadaan insting untuk mencari Tuhan terbentur dalam kehendak akan ketiadaan diantara rangkaian peristiwa dunia, dimana ilusi agama dan fantasi kosong Tuhan membebaskan manusia dari kelenyapan makna kehidupan. Mereka mencari kesana kemari perubahan dalam diri Tuhan di kala muda dan pikun dinetralisir oleh kasih sayang hingga sesak nafas, “Tuhan “suatu hari tercekik oleh rasa kasihan yang berlebihan” (Zarathustra IV “Retired from Service, hlm. 273, Deleuze, 2002: 210). Bagi pemeluk agama yang kritis akan menilai, bahwa ‘kedalaman yang kosong dari kesadaran agamalah’ yang mematikan Tuhan, karena keimanan seseorang telah bercampur kebencian atau dendam kesumat dibandingkan pemikiran yang jernih. Kematian Tuhan bukanlah karena lantaran pengorbanannya untuk menebus dosa manusia, tetapi manusia membuat Tuhan tandingan. Tuhan mati dalam mati tertawa ngakak. Akhirnya, kita tidak mampu lagi memikirkan kematian Tuhan berlangsung tidak dalam sekejap, karena manusia layaknya Tuhan yang dipuja-puja sepanjang hidup.
*) penulis adalah ASN Bappeda Kabupaten Jeneponto