Beranda Ekologi Gerbang Neraka dari Timur

Gerbang Neraka dari Timur

0

Oleh: Muhammad Ian Hidayat Anwar*

Berjalan sore hari di tepian pantai memang menjadi aktifitas menyenangkan. Setelah penat dari aktivitas perkotaan yang menyebalkan.

Sore itu kami berada di Kelurahan Tallo, ujung timur kota Makassar yang letak geografisnya berada di pesisir. Seperti orang orang normal pada umumnya, berburu sunset.

Warna jingga memantik kawan kawan yang membersamai membacakan puisi nya masing. Mulai dari sastra Sujiwo Tejo sampai Jalaludin Rumi terdengar sore itu.

Sebenarnya saya juga ingin membacakan puisi WS Rendra sore itu. Puisinya berjudul “Mata Luka Sengkong Karta” kupikir bisa kembali membawa kita ke masa lalu, syairnya menceritakan kekejaman orang orang awam terhadap orang orang lain yang dituduh parsiapan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tetapi kupikir kata “Kejam” mengganggu suasana sore itu. Benakku terpikir kata kejam ketika melihat kontradiksi pembangunan di sebelah barat pantai dengan kondisi permukiman nelayan di Tallo.

Belum lagi warna air laut di tempat itu berwarna hitam dan berbau.

Di sebelah barat permukiman nelayan ada proyek besar yang sedang dijalankan PT Pelindo bersama dengan Pemkot Makassar. Proyek “Makassar New Port (disingkat MNP)”, digadang gadang pelabuhan ini akan menjadi salah satu yang terbesar di Asia. Pelabuhan ini merupakan salah dari proyek “Gerbang Timur Indonesia”. Pelabuhan ini sebagai interkonektivitas di Indonesia Timur untuk menjamin ketersediaan muatan, sehingga pelayaran dari dan ke Makassar-Hongkong dan Makassar-Dili dapat dilakukan secara rutin setiap minggu. Dengan rute yang ada sekarang ini yakni Pelabuhan Makassar-Jakarta-Bututu-Manila-Batangas (Filipina), Hongkong-Shekou (Cina)-Manila serta Cebu. Proyek ini konon membantu masyarakat Kota Makassar dan Sulsel pada umumnya akan dapat menikmati barang yang murah dan juga bisa meningkatkan pendapatan daerah Sulsel.

Sayangnya, keberadaan pelabuhan ini tidak dibarengi dengan kesadaran lingkungan yang baik. Limbah pabrik dan aktifitas perkapalan merusak ekosistem laut. Celakanya lagi, sebagian besar penduduk di permukiman Tallo menggantungkan hidupnya di laut. Mereka sebagian besar berprofesi sebagai nelayan tradisional dan nelayan lokal.

Kerusakan ekosistem laut sangat berdampak buruk bagi keberlangsungan ekonomi mereka. Mawar (bukan nama asil) seorang yang kami temui, mengatakan bahwa dulunya mereka bisa mendapatkan kepiting dan tude (sejenis kerang) hingga lima ember dalam sehari. Tapi, semenjak pembangunan MNP mereka hanya mampu menghasilkan 1 ember dalam sehari.

“Dulu itu bisa kudapat 5 ember paling banyak, tapi sekarang biar satu susah sekali”

Jurnal penelitian “Tingkat Pencemaran Pada Saat Pasang Dan Surut Di Perairan Pantai Kota Makassar” menyebutkan pencemaran laut di Makassar akibat limbah logam berat, diakibatkan oleh aktifitas industri yang berlebihan.

Hal ini akan diperparah nantinya ketika aktifitas di Pelabuhan MNP sebagai “Gerbang Indonesia Timur” berjalan secara massif. Kondisi Nelayan Tallo akan sangat memprihatinkan, laut yang menjadi sumber ruang hidup akan sangat tercemari. Negara seharusnya sadar bahwa aktifitas akumulasi kapital akan merusak ruang hidup masyarakat tradisional perkotaan, terlebih masyarakat pesisir.

*) Penulis adalah Seorang Pemerhati Lingkungan

Facebook Comments