Beranda Ekologi Ato dan Benda Antik Pulau Peling

Ato dan Benda Antik Pulau Peling

0
Pak Ato (berbaju hijau)

Oleh : Idham Malik*

Baru pada Minggu, 3 November 2024, saya dan Riyami (istri) dapat melihat langsung koleksi benda antik milik Pak Ato. Sebelumnya, saya hanya mendengar cerita, mereka bilang banyak orang di Pulau Peling menyimpan koleksi benda antik, seperti porselin cina, pisau, mata uang, dan lain-lain. Ato juga sering bilang begitu waktu ngobrol bersamanya di rumah panggung mungilnya milik Erni Aladjai di pesisir Desa Ambelang. Hanya saja, piring cina sekadar terselip di antara cerita pengalaman hidupnya yang penuh warna.

Masyarakat umumnya, apalagi warga Bangkep mengenal Ato sebagai sosok peduli hutan bakau. Sembilan tahun Ato menanam bakau secara konsisten di daerah pasang surut Ambelang. Kisah ini pun sudah dituliskan secara lengkap dalam situs berita Mongabay.co.id. Nama Ato kian tenar. Terakhir Ato menjadi pembicara dalam forum dialog lingkungan yang difasilitasi Burung Indonesia pada pameran Ulang tahun Bangkep ke-25, Rabu, 30 Oktober 2024. Saya memandang Ato jauh dari panggung, dalam hati saya, Pak Ato ini tampak seperti orang kaget, ia merasa yang ia lakukan itu adalah hal biasa atau alamiah, hanya respon orang banyak yang luar biasa.

Ketika bertemu, tanpa basa-basi langsung saya bertanya, apakah boleh melihat piring-piring cina? Ato mengantar kami ke dapur. Diperlihatkan satu persatu koleksi antik itu, katanya sudah banyak lepas karena terjual dan diberikan ke teman-teman dekat sebagai tanda mata.

Kami senang sekali, sebab seperti menemukan harta karun. Terus terang, saya awam soal benda-benda kuno. Biasanya hanya lihat-lihat sepintas di museum, tapi rasa ingin tahu belum muncul. Baru saja kuriositas hadir. Apalagi kami juga diperlihatkan beragam jenis mata uang, seperti mata uang VOC (Vereeningde Oostingdische Compagnie) dan Hindia Belanda.

Katanya, ia menemukan benda-benda kuno itu di dalam gua, hutan, dan kampung tua yang pernah tenggelam (monos) bernama Koakon, kampung ini dekat Ambelang. Lama saya tersadar, hobi Ato yang keluar masuk hampir semua gua di Pulau Peling ternyata punya maksud; mencari benda antik. Ato ini bukan sekadar menjelajahi gua seperti mahasiswa kehutanan, hanya cari tahu dan selfie. Tentu saja, pengalamannya dalam menyusuri beragam jenis gua tetap asyik untuk didengar.

Hobi ini ia kerjakan pada akhir 1990-an, mengikuti kebiasaan beberapa orang di kampung Ambelang. Seiring waktu, Ato lebih dikenal mahir dalam mendeteksi benda antik, keberaniannya juga tidak ada yang meragukan. Jika mendatangi suatu tempat yang dikira ada keramik-piring cina, dia tidak langsung menggali, tapi duduk sebentar menghabiskan sebatang atau dua barang rokok. “Saya biasanya memperhatikan posisi cahaya yang masuk ke gua, untuk menentukan titik penggalian,” ujarnya. Dalam mengatasi rasa takut, Ato punya ritual khusus sebelum melakukan penggalian, agar tuan rumah benda-benda antik tidak terusik. Ato menyadari hobinya itu penuh risiko. Mau kata apa lagi, justru itu yang menghidupkan jiwa Ato.

Saya menanyakan posisi benda antik ini ditemukan, katanya antara 1 sampai 1,5 meter dari permukaan tanah. Terdapat yang lebih dalam, tapi alat Ato hanya cangkul dan tongkat besi. Menggali itu harus dengan bantuan ekskavator. Saya pernah mendengar hal ini dari Sumarto, teman dari Desa Seano, katanya saat pembangunan gedung sekolah di Tataba, ekskavator menggali tanah dan ditemukan banyak piring cina. Sayangnya piring tersebut banyak hancur terkena mulut ekskavator.

Benda antik berupa piring cina dan beragam porselin itu biasanya ditemukan bersama dengan seonggok tengkorak. Ini seperti yang dikatakan Pak Paus Nggolan dari Seano, yang juga pecinta benda antik, dahulu kala ketika orang Pulau Peling meninggal sering dikubur bersama benda berharganya.

“Kebiasaan itu terhenti sejak orang Pulau Peling mengenal agama, khususnya agama Islam. Sedangkan agama Kristen masih banyak yang begitu, benda-benda kesayangan di simpan bersama mayat dalam peti,” ujar Paus.

Ada juga benda antik berupa keramik, uang logam dan parang ditemukan bukan di dekat kuburan, tapi dalam hutan ataupun dalam gua. Lantaran kebiasaan para leluhur untuk mengubur harta bendanya dalam tanah atau di dalam gua bersembunyikan di balik batu besar.

Mengenai alasan orang dulu selalu mengubur benda-benda berharga seperti piring cina dan gong, saya memperoleh sepotong jawaban saat berdiskusi dengan Mahmud, warga Landonan Bebeau. “Dulu, mama dari istri saya masih melihat keluarganya simpan gong putih di hutan, di kubur dan ditutup batu besar. Jaman itu, Belanda suka cari gong. Orang tua takut gong dan barang berharganya diambil sama Belanda, jadi barang itu dikubur,” kata Mahmud.

Sayangnya, gong itu seperti menghilang atau istilah di sini sebutnya ‘gaib’. “barangkali, nanti yang temukan adalah keturunannya,” ujar Mahmud.

Saya curiganya, barang antik ini juga sengaja dikubur lantaran seringnya pada dahulu kala kampung-kampung di Pulau Peling didatangi para perompak-bajak laut, yang mungkin tidak hanya menculik orang untuk dijadikan budak, tapi juga mencari barang-barang berharga. Atau mungkin saja terkubur akibat gempa dahsyat di masa lalu.

Siapa tahu?

Saya diskusikan juga hal ini ke Akdirun saat mengunjungi rumahnya di Desa Landonan pada Selasa malam, 5 November, “Saya kurang tahu kenapa orang-orang tua dulu itu simpan barang berharga dalam tanah. Sementara mereka tidak memberi tahu anak-anak sebelum meninggal,” kata Akdirun (82). Kakek Akdirun katanya punya 12 piring besar, tapi dikubur semua, dia tidak tahu posisi benda itu dikubur dimana.

Ato memperlihatkan beragam porselin yang tersisa. Ada yang serupa mangkuk kecil dengan motif abstrak menyerupai kuda, juga mangkuk tempat kapur sirih dengan penutup huruf Tiongkok, ada motif retak-retak atau orang istilahkan pecah seribu, piring ‘holland’ dengan gambar istana dengan pangeran berkuda, ada piring cina yang sudah sangat kuno, ada gelas yang sangat ringan dan di bagian pantatnya jika disinar akan muncul gambar burung srigunting. Sepertinya benda-benda ini berasal dari beragam tempat, seperti Cina, Jepang, dan Korea, dengan beragam zaman, seperti dinasti Han, Ming di Cina dan zaman Goryeo di Korea.

Istri saya terus bertanya mengenai harga masing-masing piring, Ato bilang proselin yang ada di situ berkisar Rp. 500.000 – Rp. 700.000.

Ato cerita mengenai tatakan gelas atau kendi berwarna hijau. Itu disebutnya saladon atau celadon. Jika ditaksir, harga sebuah piring, teko, guci ‘saladon’ ini dapat lebih dari Rp. 100 juta. “Kalau suatu tempat di Banggai (Banggai Laut dan Banggai Kepulauan) yang menemukan saladon, pasti langsung ramai orang bacari di situ,” kata Ato.

Selasa sore, 5 November, saya mampir di rumah seorang kolektor benda antik di Desa Seano, bernama Paus Nggolan. Dia menunjukkan guci kecil berwarna hijau. Saya kaget sewaktu ia mengatakan ini porselin saladon. Katanya itu dulu dapatnya dari orang di Pulau Peling, ia tukar dengan dua gong ditambah sejumlah uang. Paus sendiri memiliki koleksi tong/guci air yang jumlahnya puluhan, beberapa gong, dan piring. Sayangnya saya tidak melihat koleksi piringnya. Hanya piring yang tertempel di dinding yang dapat saya lihat. Saya pun tahu dari Paus kalau jaman dulu orang Banggai menjadikan gong sebagai alat tukar dan mahar perempuan. Barangkali dahulu gong digunakan sebagai alat musik ritual, sehingga cukup banyak yang menyimpan sebagai barang berharga. Sementara guci dulunya banyak digunakan sebagai tempat menyimpan minyak/lemak ikan paus, yang digunakan digunakan di kapal-kapal jaman dulu serta berfungsi sebagai bahan penerangan.

Tentu kita bertanya-tanya, kenapa banyak benda antik di Pulau Peling ini? Tampaknya terdapat beberapa teori yang saya dengar ataupun baca-analisa sekenanya. Ketika berdialog dengan Dr. Ferdy Salamat, ia berasumsi jaman dulu Pulau Peling ini tempat persinggahan pelaut-pedagang dari Cina. Mereka singgah di Pulau Peling untuk mengaso-istirahat sekaligus mencari bahan pangan. Nah, mereka menukar piring-piring itu dengan ubi banggai ataupun bahan pangan lainnya. Ubi banggai sendiri menurut hasil penelitian secara genetik berasal dari negeri Tiongkok. Barangkali saja, dahulu para pelaut Cina itu memperkenalkan jenis ubi yang berasal dari Cina ke penduduk Pulau Peling, sebab ada kesamaan geologi antara Pulau Peling dengan daratan Cina, yaitu tanah berkapur-gamping karst.

“Tekniknya pedagang cina menyimpan piring di suatu tempat (tempat bertukar), nanti datang orang gunung turun membawa ubi dan ditukarlah benda itu dengan ubi sesuai takarannya,” ujar Ato, lain waktu menjelaskan hal itu.

Hal ini sejalan dengan temuan porselin-porselin itu dengan rentang waktu beragam dan ada yang sudah sangat tua. Dari google ditemukan benda-benda sejenis berasal dari negeri Cina abad ke 2-20 m (juga dalam kurun Dinasti Tang, Song dan Ming), Thailand abad 13-18 m, Vietnam abad 8-10 m, Eropa abad 17-20 m, Jepang abad 17-20 dan Timur Tengah abad 7-14 m.

Saya mencoba menganalisanya dengan membaca artikel Hasanuddin dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Utara, berjudul ‘Banggai dalam Pelayaran dan Perdagangan Abad Ke-19 di Kawasan Timur Sulawesi’. Pulau Banggai dan Pulau Peling terletak di bagian timur Pulau Sulawesi dan berhadapan dengan Laut Maluku, Teluk Tomini, dan Teluk Tolo-Laut Banda. Terdapat perjumpaan budaya dan politik dengan Ternate, Gowa, Bone, Mandar, Wajo, Boalemo, Gorontalo, Bajo, Buton, Bungku, Parigi dan Kepulauan Togian.

Lantaran itu, Kerajaan Banggai menyerap banyak pelaut dari beragam negeri untuk singgah berdagang berbagai komoditas kunci, seperti kopra, biji besi, sisik penyu, kayu cendana, teripang, sarang burung, damar, dan rotan. Termasuk peralatan besi negeri-negeri Maluku diperoleh dari Banggai.

Menarik dalam artikel itu, sepertinya menjelaskan kalau porselin cina ini tidak hanya dibawa oleh pedagang cina, tapi juga pedagang dari negeri bawah angin, seperti para pelaut Bugis. Pelaut Bugis mengumpulkan produk dari berbagai pelabuhan, seperti Buton, Bungku, Salabangka, Banggai membawa membawa serbuk emas, kayu cendana, sarang burung, dan cangkang penyu pada musim pelayaran angin muson barat, bahkan hingga ke Singapura. Sekembalinya dari Singapura, mereka membawa candu (opium) Cina, peralatan dapur Cina, sutra mentah Cina, kain wol Eropa, dan komoditas lainnya (Pelras, 2006: 362).

Apalagi ketika Banggai mulai terjaring dalam koloni Hindia Belanda, sebelumnya pun tergolong jaringan VOC pastinya. Dalam catatan Kolonial Verslag tahun 1883, terdapat suatu kontrak pengaturan penebangan dan pengangkutan kayu, dimana Banggai sering didatangi pedagang Cina dari Gorontalo untuk membeli damar dan rotan yang kemudian diangkut ke Gorontalo. Kemudian Belanda mengatur jasa pengangkutan barang dengan dominasi Perusahaan kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), pedagang Cina lebih memilih KPM karena lebih besar untuk memuat kopra ke Gorontalo, walaupun masih terdapat saingan dari kapal-kapal bugis.

Saya pun membayangkan saat-saat transaksi barang-barang itu, di pasar Pulau Banggai beredar banyak piring dan porselin, baik dari Cina, Jepang, Vietnam, Korea, dan juga dari Belanda. Orang-orang besar Banggai, juga dari Pulau Peling datang ke sana untuk melirik-lirik, sembari membawa kopra, rotan, sagu, ubi banggai dalam perahu, kemudian ditukarnya sebagian dengan porselin itu. Juga tentu menyimpan uang Belanda sebagai alat tukar. Kemudian mereka kembali ke Peling untuk disimpan menjadi barang berharga.

Ato adalah generasi belakangan pencari barang antik. ”Kami sebenarnya hanya dapat sisa-sisa pencarian orang dulu. Jadi yang tidak ditemukan orang-orang sebelumnya, itu yang kami cari,” katanya. Ato punya harapan, suatu saat koleksinya dapat berguna, baik bagi keluarga dan kerabatnya, juga bagi Kabupaten Banggai Kepulauan. ”Mungkin suatu saat nanti, pemerintah mau buat museum, koleksinya dapat dibeli pemerintah untuk dipamerkan,” ujar Ato. Dalam batin saya mengatakan, itu pasti akan sangat berguna bagi generasi berikutnya, untuk lebih memahami sejarah perjalanan para leluhurnya dari Bangsa Sea-sea, Bajo dan Banggai. 

*) Penulis adalah pemerhati Lingkungan dan Kader Hijau Muhammadiyah

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT