Oleh: Rismawati Nur*
Sejak awal berdirinya, Indonesia menegaskan diri sebagai negara republik yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, supremasi hukum, dan partisipasi warga dalam penyelenggaraan negara. Hal ini tercermin dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.” Pasal ini merupakan salah satu ketentuan yang tidak pernah mengalami perubahan.
Bahkan jauh sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Pada tahun 1925, Tan Malaka telah lebih dulu menggagas konsep negara republik dalam karyanya yang berjudul Naar de Republiek Indonesia atau Menuju Republik Indonesia. Dalam gagasannya, ia memandang republik sebagai realitas politik yang merdeka dari kolonialisme, dengan membandingkannya dengan revolusi di Prancis dan Amerika. Di Indonesia, konsep revolusi republikan menjadi bagian dari identitas nasional yang menekankan pemerintahan berbasis pada otonomi dan kedaulatan rakyat.
Secara umum, pemahaman awam tentang republik dan republikanisme sering kali terbatas pada bentuk pemerintahan non-monarki (Robet, 2021). Sebab republikanisme dimaknai sebagai pemerintahan yang menolak sistem monarki, konsekuensi logisnya adalah kepala negara harus dipilih oleh rakyat, dan rakyatlah yang memegang kedaulatan tertinggi, sehingga Cicero dalam bukunya De Re Publica,menegaskan bahwa pemerintahan republik harus berorientasi pada kepentingan warga negara.
Sebagai negara republik, Indonesia mengadopsi prinsip republikanisme yang menekankan kebebasan, keterlibatan warga dalam pemerintahan, dan supremasi hukum. Namun, penerapannya belum selalu mencerminkan keadilan bagi semua kelompok masyarakat, terutama masyarakat adat.
Tantangan Masyarakat Adat dalam Bingkai Republikanisme
Republikanisme sebagai teori politik menekankan kebebasan sebagai non-dominasi, yang berarti tidak boleh ada kekuatan yang menindas atau mengendalikan individu maupun kelompok tanpa legitimasi. Dalam konteks masyarakat adat, konsep ini seharusnya melindungi hak-hak adat dan otonomi komunitas mereka. Namun, kenyataannya, masyarakat adat masih mengalami keterbatasan dalam mengakses hak politik dan ekonomi secara setara dengan warga negara lainnya.
Meskipun Undang-Undang Dasar 1945 telah mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat, praktik di lapangan menunjukkan bahwa mereka masih mengalami diskriminasi. Ketimpangan hak atas tanah dan sumber daya merupakan salah satu permasalahan utama yang dihadapi masyarakat adat.
Bagi masyarakat adat, tanah dan hutan adat bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga bagian dari identitas budaya serta tempat pemujaan spiritual. Namun, ekspansi industri dan eksploitasi sumber daya alam menjadi ancaman nyata terhadap hak-hak mereka.
Di Indonesia, masyarakat adat sering kali terancam oleh kebijakan pemerintah dan perusahaan yang membuka lahan untuk industri. Pembukaan tambang, alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, serta ekspansi sektor industri lainnya sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Tanah yang secara turun-temurun mereka kelola terancam hilang akibat eksploitasi tanpa partisipasi mereka. Konflik agraria pun tak terhindarkan yang pada akhirnya akan menyebabkan hilangnya akses masyarakat adat terhadap ruang hidup, ekonomi, budaya, dan bahkan akses terhadap lingkungan yang sehat karena harus hidup berdampingan dengan wilayah industri yang dibuka oleh Perusahaan yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Ketimpangan hak atas tanah dan sumber daya bagi masyarakat adat mencerminkan kegagapan negara dalam melindungi serta memenuhi hak-hak mereka. Meskipun masyarakat adat memiliki hubungan historis dan kultural yang kuat dengan tanahnya, kebijakan negara sering kali tidak berpihak. Perampasan lahan, eksploitasi sumber daya, serta minimnya pengakuan hukum memperparah ketidakadilan yang mereka alami.
Masyarakat Adat dan Prinsip Kebebasan dalam Republikanisme
Dalam perspektif republikanisme, ketimpangan yang dialami masyarakat adat mencerminkan dominasi yang menghambat kebebasan mereka. Dalam republikanisme, kebebasan bukan hanya sekadar ketiadaan intervensi, tetapi juga terbebas dari dominasi struktural yang merugikan kelompok tertentu, seperti masyarakat adat. Ketimpangan ini terjadi ketika masyarakat adat kehilangan kendali atas tanah dan sumber daya mereka yang mengakibatkan hilangnya kedaulatan serta hak untuk menentukan nasib sendiri.
Dominasi ini tidak hanya datang dari negara melalui kebijakan yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat, tetapi juga dari aktor-aktor ekonomi yang mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memperhitungkan keberlanjutan hidup komunitas lokal. Ketika hak kepemilikan dan akses terhadap tanah mereka dirampas, masyarakat adat terjebak dalam ketergantungan terhadap sistem yang tidak berpihak pada mereka. Akibatnya, mereka semakin terpinggirkan secara sosial, ekonomi, dan politik.
Dalam konsep republikanisme, kebebasan sejati hanya dapat terwujud jika tidak ada kekuatan yang dapat secara sewenang-wenang mendominasi pihak lain. Oleh karena itu, kebijakan yang memastikan perlindungan hak-hak masyarakat adat menjadi krusial untuk menghapus ketimpangan ini. Tanpa itu, mereka akan terus berada dalam bayang-bayang dominasi yang menghambat kebebasan dan kesejahteraan mereka.
*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UGM