Penulis : Dr. Ahmad Yani, S.H. MH.*
Saya memulai Tulisan ini dengan seandainya. Mungkin berandai-andai saya ini akan dianggap kufur takdir Allah. Tetapi bukan itu maksud saya, saya menggunakan “seandainya” di sini sebagai perbandingan integritas dan moral politik bangsa ini.
Kita teruskan andai ini, “seandainya Agresi Militer Belanda yang terjadi tahun 1948 itu dihadapi oleh politisi dengan integritas dan moral seperti sekarang ini, republik Indonesia hanya berumur 3 tahun.
Dan kalau sekiranya Pembentukan Negara Boneka – Republik Indonesia Serikat – Indonesia diisi oleh politisi sekarang mungkin mereka sudah mengambil untung dari Van Mook meskipun taruhannya tanah air.
Belanda dan Van mook setelah menyatakan “Republik Indonesia sudah tidak ada” dan menduduki Ibukota Yogyakarta, mereka hanya tinggal membagi-bagi uang ke politisi, mengendalikan Prajurit, memberi donor LSM dan membayar sebagian kelompok sosial, untuk diam atau membela sikap Belanda itu.
Jangankan uang itu, uang rakyat saja dicuri setiap hari, ratusan triliun duit negara raib, bahkan korupsi di Pertamina diperkirakan mencapai 1000 triliun. Mendengar korupsi yang besar-besar ini saya ngeri, kalau begini terus republik ini tidak memiliki masa depan apapun, kecuali menjadi negara gagal dan bubar.
Tapi agresi dan pernyataan “Republik Indonesia sudah Bubar”, itu terjadi ditengah-tengah pejuang dan politisi yang berintegritas, memiliki moral republikan yang tidak bisa disepelekan.
Siaran Radio pernyataan republik bubar itu, justru dijawab dengan semangat perjuangan yang dahsyat. Belanda boleh jumawa karena secara fisik menduduki Yogja, dan menangkap pemimpin Republik, tetapi mereka harus akui, mereka tidak berpikir bahwa di Sumatera Barat masih ada seorang menteri Republik yang hebat, Namanya Sjafruddin Prawiranegara.
di bawah situasi nasional yang mencekam, Pak Sjaf mengambil inisiatif membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Apa jadinya kalau seandainya PDRI tidak ada?, republik akan benar-benar bubar seperti Kata Siaran Radio Belanda itu. Pak Sjaf memimpin perang gerilya di Sumatera dan Jenderal Soedirman memimpin gerilya di Jawa di bawah otoritas PDRI yang dipimpin Pak Sjaf.
Tetapi pertahanan Republik untuk kedua kalinya diakali oleh Belanda. Lewat Perjanjian Meja Bundar yang diadakan di Den Haag, Belanda memecah Republik menjadi negara-negara Serikat.
Republik yang tadinya terdiri dari daerah-daerah dan keresidenan, menjadi negara Serikat, yang oleh Para Sejarawan disebut sebagai negara bikinan Van Mook.
Negara Boneka bikinan itu, tidak memberikan masa depan apa-apa bagi Indonesia Merdeka, justru akan terjerumus ke dalam politik pecah belah. Situasinya integrasi nasional sedang dalam keadaan genting. Tetapi bagi Politisi zaman itu, tidak ada kata berhenti untuk memperjuangkan negara dan tanah air.
Kalau pada saat Agresi Militer Belanda, Sjafruddin Prawiranegara berperan besar mempertahankan Republik yang dinyatakan tidak ada oleh Belanda itu, kini sahabatnya, sesama Partainya, Partai Islam Masyumi, Mohammad Natsir menyelamatkan Republik dari Negara Serikat bikinan Van Mook itu.
Natsir tampil mengambil bagian, menyatakan Mosi Integral setelah dua bulan lebih menyampaikan gagasannya ke semua negara-negara bagian.
“Tidak mudah, kata Pak Natsir, Dua bulan setengah saya melakukan lobby. lebih-lebih dengan negara-negara bagian di luar Jawa. Umpamanya negara bagian di Sumatra dan Madura. Setelah selesai semua, lantas saya adakan “mosi integral” yang kabur-kabur. Katanya sambil ketawa. Lanjutnya, mosi itu dibuat kabur, sebab kita menghadapi Belanda. Jangan sampai nanti Belanda bikin kacau lagi. Belanda tidak boleh tahu ke mana perginya rencana itu.”
Untuk mencapai rencana mosi itu, Pak Natsir bicara dengan fraksi-fraksi di Parlemen, dengan Kasimo dari Partai Katolik, dengan Tambunan dari Partai Kristen, dan sebagainya.
Setelah berbicara dengan Negara-negara bagian dan Partai-Parlemen, Pak Natsir mengajukan mosi Integral Pada Tanggal 3 April 1950. Dengan kesederhanaan yang berwibawa, integritas dan moral republikan yang bersahaja, Natsir menyatakan dalam Sidang Parlemen RIS:
“Saya memajukan satu mosi kepada pemerintah yang bunyinya demikian. Dewan Pewakilan Rakyat Sementara RIS dalam rapatnnya tanggal 3 April 1950 menimbang sangat perlunya penyelesaian yang integral dan pragmatis terhadap akibat-akibat pekembangan politik yang sangat cepat jalannya pada waktu yang akhir-akhir ini. Memperhatikan suara-suara rakyat dari bebagai daerah, dan mosi-mosi Dewan Perwakilan Rakyat sebagai saluran dari suara-suara rakyat itu, untuk melebur daerah-daerah buatan Belanda dan mengabungkannya ke dalam Republik Indonesia.”
Pidato Pak Natsir itu disambut dengan tepuk tangan yang meriah oleh seluruh Fraksi di Parlemen. Bung Hatta Wakil Presiden dengan sangat indah mengakui jasa besar Pak Natsir mengajukan mosi integral itu, dengan mengatakan : “Peringatan Proklamasi 17 Agustus 1950 merupakan Proklamasi kedua setelah kita kembali menjadi NKRI”.
Presiden Soekarno dengan cukup bangga dan hormat dengan mosi integral itu. Ketika ditanya Wartawan Asa Bafagih Harian Merdeka, siapa yang akan menjadi Perdana Menteri setelah kembalinya NKRI, Soekarno Menjawab “Ya, siapa lagi kalau bukan Natsir dari Masyumi, mereka punya konsepsi menyelamatkan republik melalui Konstitusi”.
Apa jadinya Indonesia kalau tidak ada politisi yang hebat dan berintegritas tinggi seperti para pejuang masa itu?
Mereka tidak pernah menyatakan kompromi apapun yang merugikan republik, juga tidak mengambil untung apapun untuk diri mereka sendiri. Mereka berdiri bukan dengan Slogan NKRI Harga Mati! Seperti yang didengungkan oleh para politisi korup dan pengadu domba.
Mereka menyatakannya dalam kata dan perbuatan, dalam konsepsi dan aksi, dalam kisah dan keteladanan. Mereka tidak juga ingin dianggap hebat, dan menjadi polisi “don besar” yang merasa berkuasa atau berjasa.
Terbukti, Pak Natsir, Pak Sjaf, Bung Sjahrir, Bung Hatta hidup dan kesederhanaan yang tidak bisa dipahami oleh siapapun. Mereka adalah mantan pejabat tinggi negara ini, dengan nama dan jasa besar, tokh belakangan mereka juga dianggap subversif oleh temannya seperjuangannya sendiri.
Jangan lupa, Pak Natsir adalah Perdana Menteri (PM) tahun 1950-1951. Dia juga pernah menjadi Menteri Penerangan tahun 1946-1947 di masa PM Sutan Syahrir dan tahun 1948-1949 saat PM dijabat Mohammad Hatta.
Menjadi pejabat negara setinggi itu tidak membuat beliau berubah penampilan. Rumah, pakaian, kendaraan, dan gaya hidupnya tetap bersahaja. Bahkan dia pernah terlihat memakai jas bertambal.
“Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan,” tulis Guru Besar Universitas Cornell, George McTurnan Kahin. Kahin mengaku melihat sendiri Natsir mengenakan jas bertambal. Kemejanya hanya dua setel dan sudah butut. Dia, yang mengenal sosok Natsir dari Agus Salim, mengungkapkan bahwa staf Kementerian Penerangan mengumpulkan uang untuk membelikan pakaian sang bos agar terlihat sebagai seorang menteri.
Jadi dengan kesederhanaan yang begitu bersahaja, mereka mempertahankan republik dengan konsepsi dan tindakan nyata.
Keteladanan yang paling langka pada politisi belakangan ini, adalah kesesuaian antara kata dan Perbuatan. “Pak Natsir itu orang yang tidak pecah kongsi antara kata-kata dengan perbuatan.” Kata Lukman Hakiem.
Betapa banyak politisi bersumpah, namun mengkhianati sumpahnya, betapa banyak politisi berjanji hanya untuk mengelabui rakyat, betapa banyak pejabat berjanji, tapi hanya untuk menipu rakyatnya?.
Tentu kalau politisi seperti ini yang ada di masa revolusi, republik tidak akan pernah ada hingga hari ini. Namun kita tidak boleh pesimis, NKRI harus tetap diperjuangkan, politisi akan berganti, pejabat bisa datang dan pergi, tetapi republik adalah janji ibu pertiwi.
Semoga kita tetap istiqomah memperjuangkan NKRI dan istiqomah terhadap keteladanan yang diajarkan oleh para tokoh-tokoh bangsa di masa lalu.
Karena itu, peringatan mosi integral Natsir bukan sekedar memperingati pidato yang bersejarah itu dan Lahirnya NKRI, tetapi juga tentang keteladanan, tentang integritas, tentang moralitas, tentang kebajikan yang dilahirkan oleh masa lalu dan sejarah bangsa kita, untuk kita teladani sepanjang sejarah republik.
*) Penulis adalah Ketua Umum Partai Masyumi