Oleh: Wiranti, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Unhas).
Hari Pendidikan Nasional bukan sekadar momentum seremonial tahunan. Ia adalah titik refleksi mendalam tentang makna ilmu, keadaban, dan masa depan bangsa. Sebagai dosen hukum, saya meyakini bahwa pendidikan bukan hanya perkara transfer of knowledge (transfer pengetahuan), tetapi juga transfer of value (pewarisan nilai). Dalam dunia yang kian terjebak dalam materialisme dan pragmatisme, pendidikan harus tetap menjadi cahaya yang menuntun bukan hanya kecerdasan akal, tetapi juga kebeningan hati.
Ilmu yang tercerabut dari nilai kehilangan arah. Gelar akademik tanpa integritas hanya akan melahirkan kekuasaan tanpa tanggung jawab. Maka dalam konteks pendidikan nasional, kita perlu bertanya secara jujur. Apakah sistem pendidikan kita hari ini sedang membentuk manusia utuh yang berpikir, merasa, dan bertindak demi kemaslahatan bersama? Atau justru terjebak dalam logika pasar yang menilai keberhasilan pendidikan dari angka, ranking, dan ijazah semata?
Pendidikan sejatinya adalah jalan peradaban. Di dalamnya terkandung harapan untuk membentuk manusia sebagai subjek etis, bukan sekadar objek produksi. Dalam konstitusi kita, Pasal 28C Ayat (1) UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Namun jaminan tersebut belum selalu bermuara pada keadilan substantif. Kesenjangan mutu pendidikan antara kota dan daerah, antara pusat dan pinggiran, masih sangat nyata. Maka membumikan ilmu berarti memastikan bahwa pendidikan menyentuh seluruh anak bangsa, tanpa diskriminasi.
Ki Hadjar Dewantara, tokoh yang kita peringati hari ini, pernah menyampaikan filosofi pendidikan yang visioner: “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani (di depan memberi teladan, ditengah membangun semangat, dan di belakang memberikan dorongan). Sehingga dapat dimaknai bahwa pendidikan adalah laku kepemimpinan yang menuntut teladan, inspirasi, dan pendampingan. Ia bukan sekadar institusi, tetapi proses hidup yang mencerminkan hubungan antara pengetahuan, moralitas, dan keadaban publik.
Dalam pendidikan hukum khususnya, saya menyaksikan urgensi yang sangat besar untuk membumikan ilmu. Pendidikan hukum tidak boleh berhenti pada penguasaan pasal dan teori. Ia harus menumbuhkan kepekaan terhadap keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum tidak hidup dalam teks, melainkan dalam konteks. Maka lulusan hukum yang baik bukan hanya ia yang tahu undang-undang, tetapi yang mampu menjadikan hukum sebagai alat pembebasan, bukan penindasan.
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap tantangan serius dunia pendidikan saat ini, bahwa ada birokratisasi yang berlebihan dan komersialisasi pendidikan tinggi. Dalam situasi seperti ini, kita perlu keberanian moral untuk kembali menempatkan pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia bukan sekadar pabrik sertifikat.
Pendidikan bukanlah produk instan. Ia adalah proses jangka panjang yang menuntut ketekunan, keteladanan, dan ketulusan. Oleh karena itu, membumikan ilmu adalah upaya berkelanjutan untuk mengaitkan antara pemikiran dan kenyataan, antara idealisme dan implementasi. Pendidikan yang baik akan selalu hadir di tengah masyarakat menginspirasi, membimbing, dan mengubah.