Tim Peneliti : Nur Fauzi Zaahirah, Narsisius Alsidus Soo, Fachira Said dan Frederikus A. Kefi
Matakita.co, Yogyakarta – Disparitas hunian layak di Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi sorotan utama, bukan hanya sebagai masalah infrastruktur, tetapi sebagai indikator krusial bagi kesejahteraan masyarakat. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa proporsi rumah layak huni di beberapa wilayah timur Indonesia, termasuk NTT, masih di bawah 50%. Sebuah studi mendalam oleh tim Data Analytic Class Program Studi Magister Administrasi Publik (MAP) UGM mengungkapkan urgensi intervensi berbasis data untuk mengatasi ketimpangan ini.
Penelitian tersebut menemukan korelasi yang signifikan antara akses hunian layak dengan indikator kesejahteraan. Setiap peningkatan 1% rumah layak huni di suatu daerah dapat meningkatkan Angka Harapan Hidup (AHH) sebesar 0,29 tahun. Sebagai contoh, Kota Kupang yang memiliki persentase hunian layak sekitar 79% juga mencatat AHH tertinggi, yakni sekitar 72 tahun. Sebaliknya, wilayah seperti Sabu Raijua dan Alor yang memiliki persentase hunian layak rendah, turut menunjukkan AHH yang paling rendah. Hal yang perlu di garisbawahi ialah kualitas tempat tinggal memiliki dampak langsung pada kesehatan dan umur panjang masyarakat
Lebih jauh, studi ini menyoroti bahwa peningkatan 1% rumah layak huni berkorelasi kuat dengan kenaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) hampir 1 poin penuh. Temuan ini membuktikan bahwa hunian layak bukan sekadar tempat tinggal, melainkan titik awal yang vital dalam pembangunan manusia secara keseluruhan, mencakup aspek pendidikan, kesehatan, dan ekonomi
Meskipun NTT menunjukkan tren peningkatan persentase rumah tangga dengan akses hunian layak, dari 32,08% pada tahun 2019 menjadi 46,88% pada tahun 2024, ketimpangan antarwilayah justru semakin melebar. Kabupaten-kabupaten di perbatasan dan kepulauan, seperti Timor Tengah Selatan, Alor, dan Belu, masih sangat tertinggal dibandingkan dengan kota-kota besar seperti Kupang. Ini menandakan bahwa kebijakan yang berlaku saat ini belum secara optimal menjangkau wilayah yang paling membutuhkan.
Untuk menjawab tantangan ini, tim peneliti merekomendasikan strategi kebijakan berbasis data yang konkret dan terukur. Rekomendasi tersebut meliputi:
- Redistribusi Anggaran Perumahan: Alokasi dana pembangunan perumahan harus didasarkan pada tingkat ketertinggalan akses hunian, memprioritaskan wilayah dengan indeks hunian layak rendah seperti Alor, Sabu Raijua, dan Timor Tengah Selatan. Ini dapat diwujudkan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Tematik Hunian Layak dan Dana Insentif Daerah (DID) berbasis performa.
- Model Intervensi Hunian Komprehensif: Pembangunan rumah harus terintegrasi dengan penyediaan infrastruktur dasar seperti air bersih, sanitasi, konektivitas jalan, serta layanan pendidikan dan kesehatan. Pendekatan modular dan kolaborasi Public-Private Partnership (PPP) disarankan untuk mempercepat realisasi
- Subsidi Bahan Bangunan Lokal dan Padat Karya: Pemerintah dapat menerapkan skema subsidi bahan bangunan lokal berbasis e-voucher yang memungkinkan masyarakat membangun rumah sesuai kebutuhan dan budaya lokal, sekaligus menggerakkan ekonomi daerah. Program ini harus dibarengi dengan pelibatan tenaga kerja lokal melalui skema padat karya tunai, memberikan penghasilan dan keterampilan
“Rumah layak harus diredefinisi sebagai pilar pembangunan manusia, bukan sekadar tempat tinggal fisik,” tegas salah satu peneliti dari tim UGM, Nur Fauzi Zaahirah kepada matakita.co (12/6/2025).