Penulis : Nur Khasanah Latief
(Analis Kebijakan Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Pemerintahan LAN RI)
Awal tahun 2000-an, masyarakat Indonesia sangat familiar dengan sebuah kuis yang tayang di salah satu stasiun televisi swasta yaitu kuis “Who Wants to Be a Millionaire”. Kuis tersebut merupakan adaptasi program dari Inggris dengan judul yang sama. Pada saat penayangannya, kuis “Who Wants to Be a Millionaire” sangat diminati sehingga meraih rating yang cukup tinggi karena konsepnya yang unik dan potensi memenangkan hadiah yang menarik. “Who Wants to Be a Millionaire” juga memberikan kesempatan bagi penonton yang ditunjuk menjadi peserta untuk menguji pengetahuan maupun sebatas menyaksikan bagaimana peserta lainnya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terbilang sulit.
Membayangkan kuis “Who Wants to Be a Millionaire” dimana setiap peserta harus menjawab pertanyaan demi pertanyaan serta naik level berdasarkan pengetahuan dan kemampuan. Tak ada ruang untuk tebak-tebakan asal, apalagi naik level hanya karena kenal dengan host. Konsep ini sebenarnya sangat mirip dengan sistem merit—sebuah gagasan dalam manajemen karir dan kinerja bagi Pegawai Negeri Sipil (ASN).
Secara ideal, sistem merit adalah fondasi birokrasi modern dimana promosi diberikan kepada yang kompeten, mutasi dilakukan berdasarkan kebutuhan dan kapasitas, dan kinerja menjadi indikator utama dalam menentukan siapa yang layak naik atau justru perlu mendapatkan pembinaan. Bukan karena senioritas, bukan pula karena kedekatan personal dengan atasan. Namun, sebagai sebuah “permainan kuis”, ada konsep kompetitif yang bisa ditiru dalam penerapan sistem merit, ada pula skenario yang kurang relevan dari “Who Wants to Be a Millionaire” – yaitu titik aman. Dalam praktiknya, sistem merit kerap berhadapan dengan tembok besar bernama budaya kasihan, rasa tidak enak, atau kepentingan pribadi. Reward (penghargaan) dijalankan, tetapi punishment (konsekuensi) sering dihindari. Akibatnya, karir ASN seperti sisi yang kurang relevan dari “Who Wants to Be a Millionaire” yaitu selalu punya “titik aman”—tidak peduli performa.
Memahami Sistem Merit ASN, Konsep Kompetitif “Who Wants to Be a Millionaire”
Kalau kita bayangkan birokrasi seperti peserta kuis Who Wants to Be a Millionaire, maka sistem merit ibarat soal-soal yang harus dijawab dengan analisa dan pengalaman—bukan asal tebak tanpa bangunan kompetensi yang kuat, bukan pula berdasarkan siapa yang mengenal pembawa acara (host). Disinilah konsep sistem merit Aparatur Sipil Negara (ASN) masuk sebagai penentu utama dalam seleksi, pengembangan, hingga promosi ASN yang profesional.
Sistem merit adalah kebijakan dan manajemen SDM ASN yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja. Ini ditegaskan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Konsep ini hadir sebagai respons atas praktik-praktik lama yang masih membuka celah bagi nepotisme dan tidak profesionalisme dalam birokrasi. Dalam UU ASN, konsep reward dan punishment menjadi bagian penting dari sistem merit dalam manajemen ASN.
- Reward (Penghargaan) dalam UU ASN No. 20 Tahun 2023
Reward diberikan kepada ASN yang menunjukkan kinerja, kompetensi, dan perilaku yang unggul. Bentuk penghargaan diatur dalam beberapa pasal yang berkaitan dengan manajemen kinerja, pengembangan karier, dan penghargaan atas prestasi. Bentuk reward mencakup:
- Promosi jabatan (Pasal 52–53): Pengangkatan dalam jabatan harus didasarkan pada kompetensi, kinerja, dan kualifikasi, sesuai prinsip sistem merit.
- Kenaikan pangkat dan tunjangan berbasis kinerja (Pasal 48): Kinerja ASN menjadi dasar utama untuk pemberian tunjangan dan kenaikan pangkat, tidak semata-mata karena masa kerja.
- Penghargaan dan pengakuan (Pasal 49 ayat (1)): ASN yang berprestasi dapat diberikan penghargaan secara moral dan/atau material, yang dapat berupa sertifikat, beasiswa, piagam, hingga hadiah uang atau fasilitas pengembangan diri.
- Punishment (Hukuman/Disiplin) dalam UU ASN No. 20 Tahun 2023
Punishment atau sanksi dikenakan terhadap ASN yang; melanggar disiplin, tidak mencapai target kinerja, dan melanggar kode etik dan kode perilaku. Bentuk punishment mencakup:
- Sanksi Disiplin (Pasal 54 ayat (2)): Sanksi terdiri atas teguran lisan/tertulis, penundaan kenaikan gaji/kenaikan pangkat, penurunan jabatan, pembebasan dari jabatan, pemberhentian sebagai ASN.
- Demosi atau rotasi karena tidak kompeten (Pasal 53 ayat (2)): ASN yang tidak memenuhi kinerja atau tidak kompeten dapat dipindahkan, diturunkan jabatannya, atau dibebaskan dari jabatannya.
- Pemutusan Hubungan Kerja/Pemberhentian (Pasal 56–57): ASN dapat diberhentikan secara hormat atau tidak hormat jika terbukti melanggar hukum, tidak disiplin, atau tidak menunjukkan perbaikan setelah pembinaan.
Sistem Merit Setengah Hati – Sisi Skenario Kuis yang Kurang Relevan “Titik Aman”
Dalam kuis “Who Wants to Be a Millionaire”, setiap peserta punya “titik aman”. Misalnya, ketika peserta berhasil menjawab soal ke-5, meskipun gagal di soal ke-6, mereka tetap pulang dengan sejumlah hadiah. Nah, dalam birokrasi kita, ASN pun seolah punya “titik aman” yang membuat mereka tetap nyaman—apa pun performanya. Seperti dijelaskan sebelumnya, sistem merit menurut UU ASN No. 20 Tahun 2023, tak hanya bicara soal reward. Ia juga mencakup aspek punishment. Namun, dalam praktiknya, system merit kita masih pada level lebih rajin memberi hadiah dibanding menerapkan konsekuensi.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa mekanisme punishment jarang digunakan secara tegas, kecuali jika pelanggaran sudah terang benderang seperti korupsi, asusila, atau mangkir berbulan-bulan. Bahkan untuk ASN yang tidak mencapai target kerja atau menunjukkan kinerja stagnan bertahun-tahun, langkah seperti demosi masih dipandang sebagai hal yang “kasihan”, “tidak tega”, atau bahkan “mengganggu suasana kantor”. Kondisi ini semakin “didukung” dengan penilaian e-kinerja dimana banyak bersifat kualitatif naratif yang rawan subjektif.
Ini menimbulkan persepsi bahwa jadi ASN itu seperti ikut kuis, tapi tidak pernah ada risiko gagal total. Selalu ada zona nyaman, bahkan ketika tidak perform sekalipun. Padahal, dalam semangat sistem merit, jabatan bukan hadiah seumur hidup, tetapi harus terus diuji melalui capaian, evaluasi, dan akuntabilitas. Jika reward dijalankan tetapi punishment dikesampingkan, sistem merit hanya menjadi formalitas administratif. ASN jadi seperti peserta kuis yang bisa terus melaju ke babak selanjutnya bukan karena tahu jawaban, tapi karena “tidak tega dieliminasi”.
Penilaian Kinerja ; Kualitatif – Normatif?
Dalam sistem merit yang ideal, kinerja adalah modal utama. Siapa yang berkinerja baik, naik kelas. Siapa yang gagal mencapai target, diberi peringatan, pembinaan, bahkan bisa diturunkan jabatannya. Namun dalam praktik birokrasi kita, logika ini seringkali tidak berjalan.
Bayangkan seorang ASN yang target kerjanya tidak tercapai selama berbulan-bulan—program tidak berjalan, sering hadir terlambat, bahkan sering absen dari rapat. Tapi di akhir tahun, nilai kinerja tetap “Baik”, atau malah “Sangat Baik”. Tidak ada demosi, tidak ada konsekuensi. Bahkan tunjangan kinerja bisa tetap cair. Seperti peserta kuis yang gagal menjawab pertanyaan, tapi tetap mendapat hadiah hiburan hanya karena “berusaha”.
Salah satu akar masalahnya terletak pada penilaian e-kinerja yang masih bersifat kualitatif dan normatif:
- Banyak instansi yang menilai berdasarkan deskripsi naratif, bukan pencapaian kuantitatif yang terukur.
- Target kinerja sering tidak SMART (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bound), sehingga sulit mengukur keberhasilannya secara objektif.
- Atasan sering enggan memberi penilaian “buruk” karena alasan rasa tidak enak, solidaritas, atau takut membuat suasana tidak nyaman di kantor.
- Tidak ada sistem kontrol silang yang efektif, misalnya penilaian lintas unit atau review independen dari bagian kepegawaian.
Akibatnya, muncul budaya “yang penting isi e-kinerja”, bukan budaya mengejar hasil dan dampak. ASN pun terbiasa berada di “titik aman”, seperti peserta kuis yang tahu bahwa seburuk apapun performanya, tetap ada level minimum yang dijamin. Lebih ironis lagi, ASN yang bekerja ekstra keras dan mencapai target kadang tidak mendapat perlakuan istimewa, karena sistem tidak cukup menghargai diferensiasi kinerja. Semua ASN seolah setara dalam hasil penilaian, meskipun kenyataannya ada yang layak naik dan ada yang semestinya diturunkan. Jika kondisi ini dibiarkan, sistem merit hanya akan menjadi jargon administratif. Padahal, semangat meritokrasi bukan hanya untuk membuat ASN “naik level”, tapi juga menciptakan lingkungan yang adil, kompetitif, dan akuntabel.
Dari Zona Aman Menuju Zona Akuntabel – Solusi Penguatan Sistem Merit ASN
Agar sistem merit tak hanya jadi jargon atau “permainan tanpa risiko”, ada sejumlah langkah strategis yang bisa diambil untuk memastikan bahwa kinerja benar-benar menjadi dasar utama dalam manajemen ASN:
- Transformasi Penilaian Kinerja dari Kualitatif ke Kuantitatif
- Penilaian kinerja ASN perlu berbasis indikator yang terukur: output, outcome, dan dampak nyata dari pekerjaan.
- Mengadopsi Perusahaan swasta, gunakan prinsip KPI (Key Performance Indicators) secara konsisten, disesuaikan dengan karakteristik jabatan.
- Penerapan Skema Reward & Punishment yang Nyata dan Transparan
- ASN yang berkinerja tinggi harus mendapat insentif yang nyata: promosi, tunjangan kinerja lebih tinggi (usulan tukin plus dapat dipertimbangkan), pelatihan strategis, dsb.
- ASN dengan nilai kinerja rendah harus masuk ke jalur pembinaan, rotasi, atau bahkan demosi jika tidak ada perbaikan signifikan dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, usulan tukin minus yang signifikan dapat dipertimbangkan.
- Penting untuk menyusun peta jenjang karier yang adaptif terhadap hasil evaluasi, bukan berdasarkan senioritas atau peta jabatan yang kaku (model segitiga terbalik).
- Membangun Sistem Reviu Independen dan Akuntabel
- Pelibatan reviewer lintas unit atau pihak ketiga (misalnya inspektorat atau pengawas internal) dalam proses evaluasi untuk menghindari bias atasan-bawahan.
- Mengembangkan mekanisme audit kinerja ASN secara berkala, terutama pada jabatan struktural dan fungsional strategis.
- Penerapan prinsip 360-degree feedback, khususnya pada jabatan-jabatan yang berdampak besar terhadap pelayanan publik.
- Reformulasi Peran KASN atau Pengganti Fungsinya
- Jika KASN sudah melemah perannya, maka fungsi pengawasan merit sistem harus diperkuat di internal instansi dan diintegrasikan dengan BKN/inspektorat.
- Lembaga atau tim yang menggantikan KASN harus tetap independen secara teknis, punya otoritas intervensi, dan didukung sistem pelaporan terbuka (whistleblower system).
- Mengubah Budaya “Asal Aman” jadi Budaya Kompeten
- Ini adalah tantangan non-teknis namun paling krusial: budaya kerja ASN harus berubah dari ‘asal hadir dan patuh’ menjadi ‘berkinerja dan bertanggung jawab’.
- Perlu dilakukan kampanye internal dan pelatihan mentalitas pelayanan berbasis nilai-nilai ASN: akuntabilitas, integritas, dan profesionalisme.
- Penguatan peran pimpinan instansi sebagai role model dalam menjunjung objektivitas dan keberanian menegakkan aturan merit, meskipun itu tidak populer.
Jika sistem merit benar-benar dijalankan secara utuh—bukan setengah hati—maka birokrasi kita akan seperti kuis yang adil: setiap ASN naik level kompeten dan berkinerja tinggi. Saat itulah kepercayaan publik pada birokrasi akan naik, dan ASN bukan lagi simbol zona nyaman, tapi motor perubahan.