Oleh: Fajar Lingga Prasetya.,S.AB
(Analis Kebijakan Ahli Pertama Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara)
Wakil Presiden Gibran Rakabuming raka, konten kreator ferry irwandi bahkan beberapa pakar pernah membahas tentang bonus demografi di Indonesia. Bonus demografi adalah kondisi di mana proporsi penduduk usia produktif (sekitar 15–64 tahun) dalam suatu negara lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk usia non-produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Momentum bonus demografi yang dialami Indonesia pada periode 2030–2045 membuka peluang luar biasa bagi kemajuan bangsa. Generasi muda yang mendominasi struktur demografi saat ini menjadi sumber daya strategis yang dapat mengakselerasi pencapaian visi Indonesia Emas 2045. Namun, keberhasilan tersebut sangat bergantung pada sejauh mana pemerintah mampu memberdayakan pemuda, tidak hanya dalam birokrasi pemerintahan, tetapi juga dalam berbagai sektor seperti sektor ekonomi, sosial, budaya, dan inovasi. Pemuda tidak hanya menjadi obyek yang disebut sebagai “Bonus Demografi” tapi juga dijadikan subyek, disiapkan dan dilibatkan dalam menyambut apa yang disebut bonus demografi tersebut.
Sayangnya, masih terdapat kecenderungan bahwa generasi muda belum benar-benar diberi ruang yang cukup untuk tampil sebagai pemimpin, penggerak, dan inovator pembangunan. Kesempatan anak muda di Indonesia untuk mendapatkan posisi strategis atau peran penting masih minim dibandingkan dengan kelompok senior. Budaya senioritas, preferensi terhadap pengalaman panjang, dan dominasi jaringan lama membuat anak muda sering kali harus menunggu atau berjuang lebih keras untuk mendapatkan peluang yang sama. Hal ini terlihat di dunia kerja, politik, dan akademik, di mana posisi penting masih banyak diisi oleh senior. Meskipun ada beberapa kemajuan dan contoh anak muda yang berhasil, secara umum akses dan kesempatan belum merata, sehingga potensi generasi muda belum sepenuhnya terakomodasi. Bahkan dalam dunia birokrasi munculnya wacana perpanjangan usia pensiun PNS juga dapat menghambat regenerasi di level kepemimpinan dan mempersempit kesempatan anak muda dalam birokrasi.
Selain faktor kesempatan, dari laporan CNN Indonesia (April 2025) juga menyoroti kenyataan pahit bahwa generasi muda Indonesia masih banyak terjebak dalam situasi pengangguran dan pekerjaan informal yang tidak layak. Meskipun secara statistik mereka dianggap sebagai bonus demografi, pada praktiknya banyak di antara mereka yang tidak memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan aspirasinya. Artinya, potensi demografis ini belum terkonversi menjadi kekuatan ekonomi dan sosial yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh negara agar bonus demografi tidak berubah menjadi beban demografi, bahkan menjadi salah satu aspek penyumbang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dalam konteks pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil dalam beberapa tahun terakhir seharusnya menjadi peluang strategis untuk mempercepat investasi dalam pembangunan SDM. Berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia dilihat dari pertumbuhan PDB Indonesia tercatat sebesar 5,31% pada 2022, 5,05% pada 2023, dan 5,03% di kuartal I tahun 2024 (year-on-year). Namun, pertumbuhan ini masih didominasi sumbangan dari hasil sumber daya alam, belum sepenuhnya mencerminkan peningkatan kualitas modal manusia. Ketimpangan ini menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya inklusif atau ditopang oleh kecerdasan dan produktivitas masyarakatnya. Data dari World Population Review tahun 2024 menunjukkan bahwa rata-rata IQ penduduk Indonesia berada pada angka 78,49, nilai ini menduduki peringkat ke-126 dari 199 negara. Ini mencerminkan masih rendahnya kualitas pendidikan, gizi, dan pengembangan potensi intelektual masyarakat. Padahal, kualitas SDM adalah kunci yang sangat sentral dalam pertumbuhan ekonomi nasional, karena SDM yang unggul merupakan penggerak utama produktivitas, inovasi, dan transformasi sektor-sektor ekonomi menuju arah yang lebih berkelanjutan dan berdaya saing.
Banyak yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam mendukung partisipasi aktif generasi muda yang notabene disebut bonus demografi bagi Indonesia, diantaranya:
Meningkatkan Keterlibatan Generasi Muda dalam Pembangunan
Untuk memberikan peran yang lebih nyata bagi generasi muda dalam pembangunan, pemerintah perlu menerapkan pendekatan partisipatif yang sistematis dan berkelanjutan. Pertama, dengan membuka ruang-ruang partisipasi formal seperti pelibatan generasi muda dalam proses perencanaan pembangunan daerah melalui forum-forum musrenbang, dewan pemuda, atau perwakilan dalam badan legislatif dan eksekutif lokal. Kedua, pemerintah dapat mengembangkan program pelatihan kepemimpinan pemuda berbasis proyek nyata yang ditujukan untuk menyelesaikan tantangan lokal. Ketiga, negara perlu mendorong keterlibatan pemuda dalam proyek infrastruktur sosial seperti pengelolaan lingkungan, transformasi digital desa, edukasi kesehatan masyarakat, dan program literasi berbasis komunitas. Selain itu, penting untuk memberikan dukungan anggaran dan regulasi kepada organisasi pemuda serta komunitas kreatif agar dapat berkembang menjadi agen perubahan di daerahnya masing-masing. Langkah afirmatif lainnya yang dapat dilakukan adalah melalui penyusunan kuota khusus untuk pemuda dalam setiap program strategis nasional dan daerah, serta menciptakan mekanisme monitoring yang melibatkan pemuda itu sendiri sebagai evaluator program. Dengan demikian, generasi muda tidak hanya menjadi sasaran kebijakan, tetapi juga pelaku aktif dalam pembangunan.
Pendidikan Vokasi Berbasis Kebutuhan Daerah
Pendidikan vokasi memiliki peran penting dalam menyiapkan generasi muda agar siap terjun ke dunia kerja secara langsung dan sesuai dengan kebutuhan sektor-sektor produktif di daerah. Dalam konteks bonus demografi, pendidikan vokasi bukan hanya pelengkap, melainkan pilar utama untuk memastikan bahwa angkatan kerja muda Indonesia benar-benar terserap dan produktif. Pertama, pemerintah perlu menyusun dan memperluas program pendidikan vokasi yang berbasis potensi unggulan daerah, seperti pertanian modern, pariwisata lokal, industri kreatif berbasis budaya, dan ekonomi hijau. Model pendidikan seperti ini harus bersifat adaptif dan kontekstual, bukan seragam dan sentralistik. Artinya, kurikulum vokasi di daerah pesisir harus berbeda dari daerah pegunungan, sesuai dengan kebutuhan dan peluang masing-masing wilayah. Kedua, dibutuhkan kemitraan yang kuat antara lembaga pendidikan vokasi seperti SMK, politeknik, dan balai latihan kerja dengan dunia industri dan pemerintah daerah. Model link-and-match tidak boleh sekadar slogan, tetapi diwujudkan melalui perjanjian kerjasama yang konkret, penyusunan kurikulum bersama, magang industri, dan perekrutan langsung lulusan. Ketiga, pemerintah perlu memberikan insentif kepada industri yang membuka ruang bagi lulusan vokasi, misalnya melalui potongan pajak atau subsidi pelatihan internal. Pemerintah juga dapat mendorong pembukaan kelas vokasi berbasis praktik kerja lapangan, terutama di daerah dengan tingkat pengangguran muda tinggi. Dengan demikian, pendidikan vokasi benar-benar menjadi jembatan antara sekolah dan dunia kerja, bukan sekadar tempat menuntut ilmu tanpa arah. yang selaras dengan potensi unggulan daerah seperti pertanian, pariwisata, industri kreatif, dan ekonomi hijau. Mendorong kemitraan antara SMK, politeknik, dunia industri, dan pemerintah daerah untuk memperkuat link-and-match. Memberikan insentif bagi industri yang merekrut lulusan vokasi serta mendukung pembukaan kelas vokasi berbasis praktik kerja lapangan.
Pembangunan Youth Innovation Hubs di Kabupaten/Kota
Untuk menjawab tantangan keterbatasan ruang kreatif dan pelatihan bagi generasi muda di luar birokrasi, pemerintah perlu membangun Youth Innovation Hubs di setiap kabupaten/kota sebagai pusat pemberdayaan pemuda berbasis komunitas. Youth Hubs ini bukan sekadar ruang fisik, melainkan menjadi ekosistem pembinaan generasi muda yang terintegrasi. Youth Innovation Hubs menyediakan berbagai fasilitas seperti coworking space yang inklusif, pelatihan keterampilan secara berkala, pendampingan (mentoring) oleh praktisi dan profesional, serta akses ke jaringan pasar untuk hasil karya atau produk pemuda. Tujuannya adalah mempercepat proses transformasi ide menjadi produk atau layanan yang bernilai ekonomi dan sosial. Yang membedakan Youth Hubs dari program pelatihan biasa adalah model pengelolaannya yang kolaboratif. Hubs ini dikelola bersama oleh pemerintah daerah, sektor swasta, dan komunitas lokal. Dengan model kemitraan ini, generasi muda tidak hanya belajar dari teori, tetapi juga langsung berjejaring dengan pelaku usaha, investor, dan pemerintah. Keunggulan utama Youth Hubs adalah kemampuannya mengarahkan peserta didik atau pemuda binaan untuk masuk ke sektor-sektor unggulan daerah. Misalnya, di daerah pertanian, mereka akan dilatih dan diterjunkan ke agroindustri lokal. Di daerah wisata, mereka bisa menjadi pengelola digital promosi pariwisata. Artinya, Youth Hubs berperan sebagai ‘pabrik SDM’ lokal yang menyiapkan generasi muda untuk mengisi posisi strategis di sektor yang relevan dengan potensi daerahnya.
Sekolah Garuda
Sekolah Garuda merupakan program pendidikan menengah atas unggulan yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai bagian dari upaya mencetak generasi muda Indonesia yang kompetitif di tingkat global, khususnya di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika. Sekolah ini dirancang dengan kurikulum nasional plus internasional, seperti International Baccalaureate (IB), guna mempersiapkan siswa-siswi terbaik dari seluruh penjuru Indonesia termasuk dari daerah pelosok agar mampu melanjutkan studi ke perguruan tinggi kelas dunia, terutama di bidang sains dan teknologi mutakhir (Tempo, 2024). Selain mendorong keunggulan akademik, Sekolah Garuda juga menekankan pembentukan karakter kepemimpinan, nasionalisme, kepedulian sosial, serta pemahaman terhadap isu-isu lokal dan global melalui sistem asrama yang multikultural. Program ini memberikan beasiswa penuh bagi siswa terpilih, sehingga memastikan pemerataan akses pendidikan berkualitas tinggi tanpa memandang latar belakang ekonomi. Bukan hanya sekedar mencetak SDM unggul, pemerintah harusnya mewajibkan alumni sekolah Garuda yang sudah lulus dari kampus ternama di dunia untuk kembali ke Indonesia selepas studi guna mengabdi dan berkontribusi dalam pembangunan nasional, sebagai bagian dari strategi besar mewujudkan kemandirian dan kemajuan Indonesia di era global.
Bonus demografi bukan sekadar angka statistik, melainkan tentang jutaan anak muda Indonesia yang penuh semangat, ide, dan mimpi untuk membawa negeri ini ke arah yang lebih baik. Mereka adalah generasi yang diharapkan menjadi motor penggerak perubahan sosial dan ekonomi. Namun, di balik potensi besar itu, masih ada tantangan nyata yang harus dihadapi, dari birokrasi yang kaku, peluang kerja yang sempit, hingga keterbatasan akses modal, pendidikan bermutu, dan gizi yang memadai. Pemerintah memang telah menunjukkan komitmen lewat anggaran besar untuk pembangunan sumber daya manusia, tapi itu belum cukup. Diperlukan keberanian untuk membuat kebijakan yang sungguh-sungguh memberi ruang bagi generasi muda tampil sebagai pengambil keputusan dan pelaku utama pembangunan. Dalam situasi ekonomi yang dihantui deflasi, stagnasi birokrasi, ketimpangan pendidikan, hingga persoalan gizi yang masih mengganjal, pemberdayaan anak muda harus menjadi prioritas utama, dilakukan secara terencana dan menyeluruh. Indonesia akan lebih mudah meraih cita-cita besar menuju Indonesia Emas 2045 jika hari ini pemerintah mau sepenuhnya percaya dan memberi kesempatan kepada generasi mudanya untuk berkarya, memimpin, dan membangun negeri.