Beranda Mimbar Ide Implikasi dan Tindak Lanjut Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024

Implikasi dan Tindak Lanjut Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024

0
Sumber foto : Official Inews

Oleh : Fajar Lingga Prasetya.,S.AB

(Analis Kebijakan Ahli Pertama Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Pemerintahan Lembaga Administrasi Negara)

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024 merupakan hasil dari pengujian konstitusionalitas terhadap norma dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Permohonan ini diajukan oleh sejumlah pihak, termasuk kalangan akademisi dan pemerhati demokrasi, yang menilai bahwa pemilu serentak sebagaimana dilaksanakan pada 2019 dan 2024 menimbulkan beban luar biasa bagi penyelenggara dan pemilih. Pemilu serentak tersebut menggabungkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota dalam satu hari yang sama, yang dinilai mengaburkan kualitas partisipasi pemilih serta meningkatkan risiko logistik, administratif, dan teknis. Pemohon berargumen bahwa pelaksanaan pemilu serentak model tersebut mengakibatkan pemilih tidak dapat fokus pada setiap tingkatan pemilu secara optimal, serta berpotensi mereduksi kualitas demokrasi lokal. Selain itu, mereka juga mengangkat permasalahan sistemik seperti kematian petugas KPPS akibat kelelahan ekstrem, kekacauan penghitungan suara, serta rendahnya partisipasi kritis terhadap pemilu legislatif daerah.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK melalui Putusan No. 135/PUU-XXII/2024 akhirnya mengabulkan permohonan untuk menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu legislatif daerah harus dipisahkan dari pemilu nasional dengan tenggat minimal dua tahun setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Putusan ini berlaku mulai Pemilu 2029 dan menjadi tonggak penting dalam reformasi sistem kepemiluan nasional. Pemisahan ini didasarkan atas pertimbangan efektivitas, efisiensi, dan penguatan demokrasi substantif, namun juga membawa konsekuensi sistemik terhadap struktur regulasi, kelembagaan, dan pembiayaan pemilu.

Keputusan ini memiliki kelebihan dan kekurangan, diantaranya sebagai berikut :

No Kelebihan Penjelasan
1 Mengurangi Beban Logistik dan Teknis Pemilu serentak 2019 dan 2024 membebani KPU, Bawaslu, aparat keamanan, hingga menyebabkan kelelahan massal. Pemisahan jadwal akan membuat distribusi beban kerja lebih proporsional dan manusiawi.
2 Memperkuat Akuntabilitas Politik Lokal DPRD tidak lagi “terseret” dalam arus nasionalisasi politik (coattail effect), sehingga rakyat dapat menilai dan memilih caleg lokal lebih objektif berdasarkan kebutuhan daerah.
3 Meningkatkan Kualitas Demokrasi Pemilih akan fokus pada isu dan kandidat yang relevan dengan level pemilu. Tidak terjadi tumpang tindih antara isu nasional dan lokal yang selama ini membuat pemilu tidak substantif.
4 Sinkronisasi Lebih Baik dengan Pilkada DPRD sebagai mitra kepala daerah akan dipilih dalam waktu yang sama dengan kepala daerah, memungkinkan terjadinya keselarasan visi-misi dan efektivitas pemerintahan lokal.
5 Memungkinkan Evaluasi Bertahap Dengan jeda dua tahun, pemerintah dan KPU punya waktu untuk mengevaluasi hasil pemilu nasional sebelum menyelenggarakan pemilu lokal. Ini membuka ruang perbaikan prosedur dan teknis.

 

No Kekurangan Penjelasan
1 Bertentangan dengan Semangat Pasal 22E UUD 1945 Pasal tersebut menyebut “pemilu diselenggarakan secara serentak” untuk DPR, DPD, Presiden, dan DPRD setiap 5 tahun. Putusan ini dapat ditafsirkan melanggar prinsip keserentakan konstitusional.
2 Memicu Instabilitas Politik Berkepanjangan Pemilu berlangsung dua kali dalam lima tahun berpotensi membuat masyarakat terus berada dalam suasana politisasi, yang memperlemah stabilitas sosial dan pembangunan.
3 Meningkatkan Biaya Politik dan Anggaran Negara Pemisahan pemilu memaksa pengadaan logistik, tenaga kerja, dan pengamanan dua kali, bukan satu kali. Ini menambah pemborosan fiskal jika tidak diatur dengan efisien.
4 Membutuhkan Revisi Banyak UU Dampak sistemik terhadap UU Pemilu, UU Pilkada, UU MD3, dan UU Pemerintahan Daerah. Perubahan ini sangat kompleks dan rawan disharmoni antar aturan.
5 Risiko Manipulasi Wewenang Legislatif Daerah Jika DPRD dan Kepala Daerah terpilih secara bersamaan, dikhawatirkan DPRD menjadi terlalu “tunduk” atau tidak kritis terhadap kepala daerah karena berasal dari koalisi yang sama (menurunkan fungsi pengawasan).

Untuk mengatasi berbagai kekurangan yang muncul akibat pemisahan pemilu nasional dan daerah sebagaimana diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, diperlukan serangkaian langkah kebijakan yang dirancang secara strategis, adaptif, dan berkelanjutan. Langkah-langkah ini tidak hanya bertujuan menjawab tantangan teknis dan fiskal, tetapi juga memastikan kualitas demokrasi tetap terjaga dalam proses transisi sistem kepemiluan yang baru. Berikut beberapa upaya konkret yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya:

  1. Penetapan Kalender Pemilu Tetap

Penetapan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah secara permanen melalui regulasi yang baku merupakan langkah strategis untuk menjamin kepastian politik dan stabilitas pemerintahan di Indonesia. Dengan mengatur siklus waktu pemilu secara tetap misalnya Pemilu Nasional dilaksanakan pada 2029 dan Pemilu Daerah pada 2031, maka pemerintah dan penyelenggara pemilu dapat merancang tahapan teknis, perencanaan anggaran, serta pendidikan politik masyarakat secara lebih terstruktur dan terukur. Kepastian ini tidak hanya memperkuat legitimasi proses elektoral, tetapi juga memberikan ruang bagi pemerintah yang terpilih untuk menjalankan program pembangunan tanpa terganggu oleh suasana kontestasi politik yang terlalu sering. Di sisi lain, pemisahan waktu yang jelas antara pemilu nasional dan daerah juga mendorong pemilih untuk lebih fokus pada isu dan kandidat yang sesuai dengan level pemerintahan yang dipilih, sehingga kualitas demokrasi substantif di tingkat nasional maupun lokal dapat meningkat.

2. Pembatasan Masa Kampanye Politik

Dalam rangka mengurangi dampak negatif dari kampanye politik yang terlalu lama dan berlebihan, terutama saat pemilu dilaksanakan dua kali dalam satu periode (nasional dan daerah), perlu dilakukan penguatan atau pembaruan terhadap regulasi yang mengatur teknis kampanye secara rinci sebagai berikut

  • Waktu kampanye perlu dibatasi agar tidak terlalu panjang dan tidak mengganggu stabilitas pemerintahan atau memperpanjang suhu politik. Kampanye yang terlalu lama dapat menciptakan ketegangan sosial yang berlarut-larut di masyarakat.
  • Metode kampanye seperti rapat umum, pemasangan alat peraga, dan penggunaan media sosial, harus dikendalikan secara ketat untuk mencegah penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye negatif yang dapat memperdalam polarisasi antar kelompok masyarakat
  • Media kampanye baik konvensional (TV, baliho, spanduk) maupun digital (Facebook, Instagram, TikTok, WhatsApp), harus diatur agar tetap dalam koridor etika politik, tidak memanipulasi informasi, dan tidak memicu konflik horizontal.
  • Penguatan peran Badan Pengawas Pemilu serta penerapan sanksi yang tegas dari pelanggaran juga wajib dikuatkan untuk lebih menertibkan kampanye diberbagai media.

3. Penguatan Pendidikan Politik Masyarakat

Untuk mencegah masyarakat terpecah akibat hiruk-pikuk politik yang terus menerus, penting dilakukan kampanye pendidikan politik bagi setiap warga negara terutama di kalangan bawah / masyarakat biasa. Kampanye dapat dilakukan melalui sekolah, media, dan organisasi masyarakat. Dalamn kegiatan ini warga diajak memahami bahwa memilih pemimpin bukan sekadar soal menang/kalah, tetapi tentang tanggung jawab bersama membangun bangsa. Pemilih perlu dibekali kemampuan berpikir kritis, mengenali hoaks, dan menilai calon berdasarkan gagasan, bukan sekadar sentimen atau identitas. Dengan cara ini, masyarakat tidak mudah terseret dalam polarisasi yang memecah belah, meskipun pemilu diselenggarakan dalam waktu berdekatan, sehingga demokrasi akan tumbuh sehat bila rakyatnya bijak dalam menyikapi perbedaan.

4. Efisiensi Anggaran dan Logistik Pemilu

Untuk menekan pembengkakan biaya akibat penyelenggaraan dua kali pemilu dalam satu periode, strategi efisiensi anggaran perlu dirancang secara menyeluruh. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah penggabungan proses pengadaan logistik seperti alat coblos, surat suara, dan sistem teknologi informasi melalui mekanisme tender terintegrasi multi tahun. Ini memungkinkan perencanaan yang lebih baik serta penghematan signifikan dalam biaya unit per satuan logistik. Selain itu, infrastruktur logistik yang telah digunakan dalam Pemilu Nasional, seperti gudang, perlengkapan, dan personel KPPS yang sudah terlatih, sebaiknya dimanfaatkan kembali dalam Pemilu Daerah dengan hanya melakukan pembaruan atau penyesuaian minimal. Langkah ini mengurangi kebutuhan pelatihan ulang dan biaya perekrutan baru. Dalam jangka menengah, investasi pada sistem digitalisasi pemilu, termasuk sistem rekapitulasi suara otomatis dan penggunaan e-voting secara terbatas di wilayah tertentu, dapat menjadi solusi transformatif yang menekan biaya pencetakan dan distribusi logistik secara berulang. Jika sistem e-voting dirancang dengan matang, pendekatan ini akan menjaga efisiensi fiskal tanpa mengorbankan kualitas dan integritas pemilu.

5. Reformulasi Regulasi Sistem Pemilu

Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 menuntut revisi menyeluruh terhadap berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Untuk menjawab kompleksitas tersebut, pemerintah dan DPR perlu segera menyusun Omnibus Law Sistem Pemilu yang mengintegrasikan seluruh pengaturan tentang jadwal, masa jabatan, kewenangan lembaga penyelenggara, serta sistem pemilu nasional dan daerah ke dalam satu kerangka hukum terpadu. Mengingat cakupan dan dampak perubahan yang luas, proses perumusan omnibus law ini harus ditangani secara lintas sektor dengan pendekatan kolaboratif dan berbasis keahlian. Oleh karena itu, pembentukan tim lintas kementerian dan lembaga menjadi langkah strategis, dengan komposisi yang melibatkan DPR (Komisi II), Kemenkumham, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan pakar hukum tata negara dari berbagai universitas terkemuka. Penyusunan aturan ini sebaiknya dilakukan secara terbuka dan melibatkan banyak pihak. Draf rancangan undang-undang dan penjelasannya perlu dibuka kepada publik dan dibahas dalam forum-forum yang bisa diikuti masyarakat, agar aturan yang dihasilkan benar-benar adil, bisa diterima, dan dipercaya oleh semua kalangan.

Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 merupakan titik tolak penting dalam reformasi sistem demokrasi elektoral Indonesia. Agar putusan ini tidak menimbulkan disorientasi kebijakan dan beban politik baru, diperlukan langkah transformatif yang berbasis data, melibatkan publik, serta menjamin kesinambungan antara pusat dan daerah. Pemerintah dan DPR harus bergerak cepat untuk menyusun regulasi baru, membangun infrastruktur kepemiluan yang efisien, serta memperkuat partisipasi para ahli serta masyarakat agar demokrasi tetap sehat di tengah dinamika kontestasi yang semakin kompleks.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT