Beranda Mimbar Ide Menjadi “Muda” di Tahun Pilkada

Menjadi “Muda” di Tahun Pilkada

0

Oleh : Amul Hikmah Budiman*

Baru saja kita menghela nafas terhadap euphoria pesta demokrasi tahun kemarin. Tahun 2020 ini kembali kita akan diperhadapkan dengan momentum politik bagi Republik ini. Sebanyak 270 daerah akan melakukan pemilihan kepala daerah serentak se-Indoneisa. Terkhusus di Sulawesi Selatan, sebanyak 12 Kabupaten/Kota akan melaksanakan momen lima tahunan tersebut.

Belum saja memasuki tahapan-tahapan yang diatur oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) masing-masing, atmosfer pertarungan politik sudah sangat terasa. Beberapa figur yang memberikan label pada dirinya sebagai Bakal Calon (BALON) mulai menyebar simpati masyarakat dan saling berebut rekomendasi partai sebagai kendaraan politik dalam pendaftaran nantinya.

Bagi daerah yang tidak menyelenggarakan Pilkada, mungkin hanya merasakan atmosfer ini via sosial medianya. Mereka yang berteman maya dengan para netizen yang gelar Pilkada, akan turut mengonsumsi perdebatan-perdebatan politik masing-masing jagoannya. Terlebih, jika Kabupaten/Kotanya menjadi bagian dari Pilkada tersebut, dari lorong sampai ke pusat kota, dari dunia maya hingga nyata, akan sangat terasa psikologi politik yang sudah “mewabah”. Vinil yang menggambarkan citra figur begitu ramai di berbagai sudut kota .

Seperti tahun-tahun politik sebelumnya, para kontestan tentu akan menampilkan diri sebaik-baiknya untuk menarik simpati dan merebut suara. Khusus di Sulawesi Selatan, 12 daerah ini beberapa figur yang muncul adalah mereka yang masih bisa disebut sebagai kaum muda. Meskipun secara Undang-Undang Kepemudaan menyebut ciri pemuda secara biologis dari usia 16 hingga 30 tahun. Akan tetapi, bagi Achdian (2011) menyebutkan frase “pemuda” menempati makna semakin meluas. Ia bukan sekadar rujukan pada ukuran usia seseorang, tetapi juga telah menjadi bagian dari watak dan kepribadian baru yang membedakan dengan generasi orang tua mereka. Sehingga, defenisi orang-orang secara luas menangkap identitas pemuda itu bisa dilihat dengan tampilan fresh dari sisi face,fashion, and action. Karakter progresif serta energik dalam pendekatan dan pergerakannya kepada masyarakat juga dapat merekontruksi identitas pemuda secara sosial.

Figur yang masih berusia 30-40an tahun akan masih terlihat aura mudanya dalam segala aktifitasnya. Terlebih mereka yang bertarung di atas usia 40 tahun akan memermak dirinya menjadi muda. Baik dari segi pakaian dan aktifitas kekinian. Ini yang menjadi tugas tim mereka untuk menampilkan sebaik-baiknya, baik dalam vinil maupun di sosial media. Kehadiran gaya ini mampu mengkonstruksi politik simbol dari seorang pemimpin yang menunjukan kedekatan dan keberpihakan kepada anak-anak muda atau kelompok millennial.

Menjadi “muda” tentu tidak sekadar slogan semata. Ada daya tarik yang mampu menaikkan akseptabilitas (penerimaan) seseorang terhadap figur. Jurdi (2012) menyebutkan bahwa dalam sejarah yang panjang, peran pemuda dalam perpolitikan Indonesia telah mengalami dialektika dengan berbagai konteks sosio-kultural yang dihadapinya, jauh sebelum Indonesia merdeka, pemuda telah memperlihatkan partisipasi politik yang tinggi sebagai manifestasi dari keinginan untuk membebaskan diri dari belenggu kolonialisme dan imperialisme Barat. Hal ini memberikan penegasan tentang penerimaan masyarakat secara politis terhadap identitas “muda” ini telah lahir pada fase politik pra-kemerdekaan. Kehadiran Soekarno, Hatta, Samaun, Syahrir dalam pentas politik masa lalu mampu menyentuh hati rakyat dengan gaya pemuda yang ditampilkan.

Tampil dengan simbol “muda” dianggap mampu menarik simpati semua kalangan. Tidak hanya kaum millennial, pula kalangan “emak-emak” yang mayoritas memiliki tingkat simpati dan kesukaan yang tinggi pada tampilan muda. Kita juga bisa melihat pada kontestasi Pilpres kemarin, apa yang ditampilkan Pak Jokowi dan Pak Sandiaga mampu menjadi magnet millennial dan golongan “emak-emak”. Baik dari segi penampilan maupun aktifitas kampanye yang dilakukan. Sehingga, para figur bakal calon kepala daerah ini akan saling berebut panggung “muda” terhadap penampilannya maupun aktifitas kampanyenya. Beberapa figur Balon Cakada di Sulsel mulai menampilkan hal demikian, seperti di Gowa, Makassar, Maros, Toraja Utara dan Barru.

Jika berangkat dari apa yang dikatakan oleh Suzanne Naafs & Ben White (2012) yang menyimpulkan bahwa orang muda sebagai aktor kunci dalam sebagian besar proses perubahan ekonomi dan sosial . Sudah sepatutnya para Balon tidak hanya fokus pada penampilan figur semata, mereka pun harus berlomba-lomba membentuk tim yang dihuni oleh kaum-kaum muda. Gaya dan karakteristiknya tentu akan berbeda dengan tim-tim pemenangan yang dihuni oleh politisi maupun tokoh masyarakat. Menggaet pemuda dalam tim merupakan amunisi yang baik dalam menampilkan citra. BPS pada tahun 2018 merilis jumlah usia muda di Indonesia berada pada angka 63,82 juta jiwa, sehingga nominal yang besar itu harus disentuh oleh golongannya sendiri yang lebih paham dan sadar tentang kesukaan serta kebutuhannya.

Zaman yang telah menuntut kebutuhan digital, gaya-gaya politik pun harus mengawinkan sentuhan intelektual dan kreatifitas kaum muda. Event, content visual, gift, dan door to door campaign harus dikemas secara kreatif agar mampu mengubah mindset masyarakat bahwa politik tidak selalu membosankan dan tidak kaku dalam setiap prosesnya. Kaum mudalah yang dianggap mampu mengambil peranan itu.

Namun, ada kekhawatiran pemikiran terhadap gerakan politik kaum muda. Max Weber melihat adanya keterkaitan yang erat antara tingkat ketaatan dengan penguasaan ekonomi. Dalam hal ini, ekonomi menjadi domain yang menentukan tingkah laku politik kaum muda, mereka yang ketika masih bebas dari ikatan-ikatan politik tertentu atau belum mencapai posisi kekuasaan akan meneriakkan pentingnya moralitas ditegakkan, namun ketika waktunya mereka berkuasa, justru perilaku politiknya, etika sosialnya dan akhlak pribadinya tidak lebih baik dari mereka yang dahulu dikritiknya. Ada realitas makna yang juga terjadi di beberapa golongan kaum muda, utamanya mereka yang berada pada kelompok-kelompok kekaderan. Sebuah asumsi bahwa ketika belum terikat dalam lingkaran politik tertentu, akan lebih massif mengumandangkan idealisme murni, namun jika berada pada lingkaran politik atau kekuasaaan, terlebih berada dalam tim melibatkan senior mereka yang menjadi calon, apapun pelanggaran nilai atau administratif yang ditimbulkan, segalanya akan menjadi kewajaran dan pembenaran. Fenomena ini disebut sebagai era post truth, era dimana matinya nalar dan objektifitas. Kekhawatiran ini pula sejalan dengan apa yang dikatakan Jurdi (2012) bahwa kaum muda pun dalam beberapa kontestasi politik pasca Orde Baru memiliki kecenderungan pada kekusaan oligarki semakin tampak, idealisme sebagai kaum muda sudah kehilangan magnetnya untuk membawa perubahan politik, sementara pragmatisme politik semakin menonjol. Sebagian kaum muda melakukan transmisi ke beberapa partai politik dengan cita-cita yang tidak tunggal, umumnya mengharapkan legitimasi kekuasaan. Sehingga, pada akhirnya yang lahir dari kaum-kaum muda hanyalah false conciusness atau kesadaran palsu.
Selain itu, kondisi emosional pemuda yang cenderung labil, terkadang dinamika politik yang diciptakannya akan bermuara pada saling hujat dan konflik fisik. Lalu, elit-elit politik di daerah yang cenderung berpolitik bipolar, menjadikan kaum muda sebagai garda terdepan dalam konflik politik. Sehingga, perlu kesadaran kritis bersama baik Balon ataupun “tangan kanannya” dalam memberdayakan pemuda dalam kontestasi politik.

Pandangan-pandangan inilah yang kemudian juga menjadi “warning” bagi para pemuda agar tidak terjerumus dalam zona politik yang terlalu nyaman dan melupakan esensi sebenarnya. Para elit politik dan kandidat silakan menjadi “muda” sebagai bagian dalam statregi kontestasi dan kaum muda harus benar-benar memahami posisi dan kedudukannya dalam politik. Seperti kata Pramoedya A Toer “yang harus dilakukan angkatan muda adalah bergerak! Melawan segala sesuatu yang busuk”.

*) Penulis adalah Ketua Forum Pemuda Bhinneka Tunggal Ika (FPBTI)

Facebook Comments