Oleh : Muh Nur Ichzan*
Pilkada, sebagai momen demokrasi lokal, kini semakin banyak dipengaruhi oleh perkembangan media. Dalam beberapa tahun terakhir, kampanye politik tidak lagi hanya berlangsung di ruang fisik atau melalui debat terbuka, tetapi juga merambah dunia layar—baik itu televisi, media sosial, maupun platform digital lainnya. Di sini, strategi visual menjadi alat yang sangat ampuh, sementara manipulasi opini publik sering kali menjadi sorotan utama. Aspek ini saling berinteraksi dan mempengaruhi proses pemilihan kepala daerah.
Di era digital ini, strategi visual dalam kampanye pilkada telah menjadi faktor penentu dalam menarik perhatian publik. Gambar, video, dan meme yang digunakan dalam iklan atau materi kampanye di media sosial, televisi, atau bahkan papan reklame, memiliki daya tarik yang lebih besar dibandingkan teks biasa. Para kandidat pun semakin cerdas dalam memanfaatkan teknologi dan jjuga berfungsi untuk membangun identitas politik yang dapat diterima oleh khalayak luas. Dalam hal ini, media sosial berperan besar, di mana setiap unggahan, foto, atau video dapat mempengaruhi persepsi pemilih.
Selain itu, media sosial sering kali digunakan untuk memperkuat citra tertentu yang tidak selalu mencerminkan kenyataan. Misalnya, pemanfaatan algoritma untuk menyaring informasi yang masuk ke timeline pengguna atau penggunaan bot untuk meningkatkan engagement terhadap pesan tertentu. Semua ini dapat menciptakan ilusi bahwa dukungan terhadap calon tertentu sangat besar, padahal kenyataannya tidak demikian. Strategi visual dan manipulasi opini publik melalui media memiliki dampak besar pada keputusan pemilih.
Pemilih yang cenderung tidak memiliki waktu atau kesempatan untuk menyaring informasi secara mendalam akan lebih mudah terpengaruh oleh pesan-pesan visual yang disajikan di layar mereka. Hal ini membuat kampanye pilkada lebih bergantung pada citra dan persepsi yang dibangun, bukan pada substansi atau visi calon kepala daerah. Selain itu, dengan semakin terfragmentasinya media dan meningkatnya polarisasi sosial, pemilih dapat terjebak dalam ruang yang hanya menerima informasi yang sesuai dengan pandangan mereka dan menolak informasi yang datang dari sumber yang berbeda. Hal ini mebuat masyarajat tidak percayaan terhadap calon atau partai politik yang tidak sejalan dengan keyakinan mereka. Ditengah penggunaan visual yang masif dan manipulasi opini publik, merupakan tantangan terbesar bagi Demokrasi. Peran media menjadi sangat penting disini. Penting juga bagi pemilih untuk lebih kritis dan tidak hanya terbuai oleh tampilan visual atau narasi yang disajikan di layar. Pendidikan politik yang lebih baik dan kesadaran akan pentingnya verifikasi informasi dapat membantu publik dalam membuat pilihan yang lebih rasional dan berdasarkan pada visi serta misi calon kepala daerah, bukan sekadar citra yang dibangun.
Kampanye pilkada di era digital memang menawarkan banyak peluang bagi kandidat untuk memperkenalkan diri dan memperluas jangkauannya. Namun, penggunaan strategi visual yang canggih sering kali disertai dengan potensi manipulasi opini publik yang sangat besar. Pemilih harus lebih waspada terhadap informasi yang diterima dan memastikan dalam membuat keputusan berdasarkan informasi yang akurat.
*) Penulis adalah Mahsiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Hasanuddin