Oleh : Sitti Nurliani Khanazahrah*
Sejak kecil, Ramadan bagi saya selalu terasa lebih tenang. Setelah sahur, saya senang menikmati udara subuh yang masih sejuk. Tidak ada kebisingan, tidak ada kesibukan. Hanya langit yang perlahan terang dan suasana yang hening nan damai.
Di siang hari, semuanya berjalan lebih pelan. Saya lebih banyak membaca Al-Qur’an, berhenti sebentar, lalu membaca lagi. Tidak ada yang tergesa-gesa. Ramadan selalu memberi ruang untuk diam, berpikir, dan menikmati waktu yang berjalan lebih lambat.
Tetapi, Ramadan hari ini terasa berbeda. Ia tidak lagi menawarkan hening dan ketenangan, tetapi justru menjadi momen yang ramai dalam ruang digital. Setiap kali membuka ponsel, selalu saja ada sesuatu yang muncul.
Entah itu kutipan ayat dengan font estetik, potongan ceramah yang diedit dramatis, unggahan menu sahur dan berbuka yang disusun seindah mungkin, bahkan dokumentasi shalat tarawih dengan latar musik yang melankolis. Ramadan hari ini bukan hanya soal menjalani, namun juga soal mencitrakan bahwa kita sedang menjalaninya.
Tentu saja, berbagi inspirasi itu baik. Tetapi rasanya ada sesuatu yang mengusik. Ramadan yang dulu merupakan pengalaman personal, kini berubah menjadi sesuatu yang performatif. Kita tidak lagi sekadar berpuasa, tetapi harus terlihat berpuasa. Kita tidak lagi sekadar beribadah, tetapi harus mendokumentasikan ibadah itu. Seolah-olah, tanpa bukti digital, pengalaman spiritual kita terasa kurang bermakna.
Jean Baudrillard (1929-2007) pernah membahas konsep hiperrealitas. Suatu kondisi di mana representasi lebih penting daripada realitas itu sendiri. Sepertinya, Ramadan di era digital ini mengalami hal serupa. Ia tidak lagi sekadar perjalanan batin, tetapi menjadi konstruksi sosial yang terus-menerus direproduksi.
Kesalehan yang dulu adalah ruang intim antara manusia dan Tuhan, kini menjadi tontonan. Tarawih yang dulu kita jalani dalam kekhusyukan, kini menjadi konten. Do’a yang seharusnya lahir dari relung hati terdalam, kini berubah menjadi status media sosial. Kesalehan kini harus disaksikan, divalidasi, dan diukur oleh algoritma.
Padahal dalam Islam, ibadah tidak pernah dimaksudkan untuk dipamerkan. Imam Al-Ghazali (1058-1111) dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa ibadah bukan soal bagaimana ia tampak di mata manusia, tetapi bagaimana ia menjadi jalan untuk mendekat kepada Tuhan. Syariat, menurutnya, hanyalah permukaan, hakikatlah yang menjadi tujuan. Namun di era digital ini, kita justru lebih sibuk membangun citra kesalehan daripada benar-benar menghayatinya.
Ada ironi yang tak bisa kita dihindari. Ramadan adalah bulan pengendalian diri, tetapi justru di bulan ini, kita semakin terperangkap dalam konsumsi digital yang berlebihan. Bangun sahur, kita langsung mengecek media sosial. Menjelang berbuka, kita sibuk membandingkan hidangan kita dengan unggahan orang lain. Setelah tarawih, kita tergoda menonton video hingga larut malam. Ramadan yang seharusnya membawa kita pada hening dan penghayatan terdalam, justru yang terjadi adalah sebaliknya.
Dan di balik semua itu, ada sesuatu yang lebih subtil bekerja, yaitu kapitalisme. Ramadan kini bukan hanya pengalaman spiritual, namun juga industri. Ada pasar yang bergerak di balik semua ini. Mulai dari bisnis makanan berbuka, promosi baju Muslim, hingga aplikasi yang menawarkan pengalaman religius secara instan. Kapitalisme benar-benar bekerja dengan cara yang halus. Ia tidak melarang kita beribadah, tetapi ia mengubah cara kita memahami ibadah.
Saat ini, di mana segalanya serba dikomodifikasi, kesalehan pun menjadi barang dagangan. Kita disodorkan program khataman Al-Qur’an dalam paket eksklusif, ceramah agama yang diselipi iklan, atau aplikasi yang menjanjikan “Ramadan yang lebih berkah” hanya dengan satu klik. Semua ini memberi ilusi bahwa spiritualitas bisa diperoleh dengan cara instan, padahal hakikat ibadah selalu menuntut perjalanan yang lebih mendalam dan personal.
Dalam tasawuf, keterasingan spiritual ini bisa dijelaskan melalui konsep hijab dari Ibn Arabi (1165-1240), yaitu tirai yang menghalangi manusia dari cahaya ketuhanan. Hijab ini tidak selalu berupa dosa atau maksiat, tetapi bisa juga berupa keterikatan kita pada sesuatu yang tampak religius tetapi sebenarnya menjauhkan kita dari Tuhan. Jika Ramadan kita habiskan dalam kebisingan digital, maka media sosial itu sendiri bisa menjadi hijab yang menghalangi kita dari pengalaman spiritual yang sejati.
Mungkin saja, dalam kondisi seperti ini, kita perlu meninjau ulang cara kita menjalani Ramadan. Bukan berarti menolak teknologi, tetapi menjadi lebih sadar bagaimana kita menggunakannya. Kita bisa mencoba berpuasa dari kebisingan digital, mengurangi keterlibatan dalam tren yang bersifat performatif, dan membiarkan beberapa momen tetap menjadi pengalaman pribadi tanpa perlu dibagikan. Kita bisa lebih banyak membaca, lebih banyak merenung, atau lebih banyak mendengar.
Jalaluddin Rumi (1207-1273) pernah berkata, “Diam adalah bahasa Tuhan, segala sesuatu selainnya adalah terjemahan yang buruk.” Ramadan, lebih dari sekadar menahan lapar dan haus. Ia adalah waktu untuk melepaskan diri dari distraksi duniawi dan memasuki ruang batin yang lebih dalam. Juga kesempatan untuk kembali kepada keheningan, bukan sebagai kekosongan, tetapi sebagai ruang untuk mendengar suara-suara yang sering kita abaikan. Suara nurani, suara hati, atau bahkan suara keheningan itu sendiri.
Tetapi kembali lagi, Ramadan adalah soal pilihan. Kita bisa memilih untuk tenggelam dalam arus digital yang tanpa henti, atau kita bisa menjadikannya sebagai ruang kontemplatif yang sesungguhnya. Jawaban atas pilihan ini tidak bisa ditemukan di layar ponsel, tetapi hanya bisa ditemukan dalam ruang hening yang kita ciptakan sendiri.