Beranda Literasi Judi Online: Klik di Tanah Air, Laba di Tanah Asing

Judi Online: Klik di Tanah Air, Laba di Tanah Asing

0
Moch. Fauzan Zarkasi, SH., MH*.
Moch. Fauzan Zarkasi, SH., MH*.

Oleh: Moch. Fauzan Zarkasi, SH., MH*.

Mungkin kita bisa mulai dari angka: Rp 800 triliun. Angka itu bukan nilai investasi tahunan. Bukan pula anggaran pendidikan, kesehatan atau pertahanan. Itu adalah jumlah perputaran uang dari aktivitas judi online di Indonesia sepanjang tahun 2024. Angka resmi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Angka itu tak berteriak, tak berlumur darah. Tapi ia menyimpan luka. Ia mengalir dari jari-jari warga yang mencari mukjizat di layar ponsel. Uang itu tak masuk ke sawah, pabrik, atau sekolah. Ia menguap ke server-server asing, berdengung di negeri seberang, di sudut Asia Tenggara: Kamboja.

Law on the Management of Integrated Resorts and Commercial Gambling

ADVERTISEMENT

Kamboja bukanlah pendatang baru dalam orkestra perjudian Asia Tenggara. Sejak 1994, ketika luka perang saudara mulai reda, negeri itu membuka lebar pintunya bagi investor asing membangun kasino. Sebuah keputusan yang mungkin pragmatis: ketika ekonomi jatuh, segala pintu tampak sah untuk diketuk.

Tapi pintu itu, ternyata, tidak hanya mengantar keuntungan. Ia juga menjadi lorong gelap menuju kehancuran sosial. Pada 1996, pemerintah Kamboja akhirnya melarang warganya sendiri berjudi. Namun, dalam ironi yang pelik, mereka tetap mengizinkan warga negara asing bermain dan investor asing membangun. Pada konteks ini, hukum terkesan tidak hadir menghapus kejahatan, melainkan menyalurkannya secara tertib, teratur, dan menjaga keuntungan.

Kota-kota perjudian lalu berkembang: Bavet, Poipet, Phnom Penh, dan Sihanoukville. Yang terakhir bahkan pernah dijuluki media asing sebagai “the new digital Macao”. Dan pada 2020, pandemi belum sepenuhnya reda, Kamboja meresmikan Law on the Management of Integrated Resorts and Commercial Gambling (LMCG). Sebuah regulasi yang membingkai industri perjudian sebagai sektor ekonomi sah dan menarik bagi para investor.

Tapi seperti banyak hukum lain yang lahir terlalu rapi, regulasi ini justru menyembunyikan kabut. Ia tidak mengungkap siapa pemilik kasino, apa model bisnisnya, dan dari mana datangnya pekerja-pekerja muda yang kemudian terkunci di dalamnya.

Para Pemimpi yang Terjebak

Data dari Migrant Care menyebutkan: sejak 2022 hingga April 2023, terdapat 223 aduan perdagangan orang yang terkait langsung dengan judi online dan penipuan digital. Dari jumlah itu, 202 kasus terjadi di Kamboja.

Mayoritas korban adalah anak-anak muda Indonesia. Mereka dijanjikan pekerjaan bergaji besar, diberi tiket pesawat, dikirim dengan mimpi, dipulangkan dengan trauma dan luka batin. Mereka yang awalnya ingin menjadi penyintas, justru berubah menjadi umpan.

Tapi tidak semua dijebak. Ada juga yang datang dengan sadar. Mereka tahu apa yang menunggu, dan memilih tetap berangkat. Karena dalam dunia yang tak menawarkan pilihan atau harapan, keputusasaan bisa terlihat seperti kehendak bebas. Maka muncullah jutaan pemain aktif dari Indonesia.

Menurut PPATK, total deposit mereka mencapai Rp 51 triliun. Sebuah angka yang membuktikan bahwa dalam candu digital ini, kita bukan hanya korban. Kita juga pasar.

Dampak dari fenomena ini pun terasa lintas batas. Kamboja, misalnya, mencatat penerimaan pajak sebesar 63 juta USD dari sektor perjudian dan lotre pada 2024, naik 85 persen dari tahun sebelumnya. Padahal, rata-rata pendapatan tahunan warga mereka hanya sekitar Rp.33 juta. Bandingkan dengan Indonesia, di mana daya beli per kapita mencapai Rp76 juta. Jika perjudian adalah industri, maka Indonesia bukan sekadar pasar. Ia adalah ladang emas.

State Corporate Crime

Mungkin sedari awal kita telah salah langkah: terlalu cepat menunjuk pelaku, terlalu lambat mengenali sistem. Dalam ruang gelap bernama judi online, yang tampak di permukaan hanyalah bayangan-bayangan individu. Penjudi yang tergoda, agen yang menawarkan cepat kaya, bandar yang menyaru sebagai pengusaha.

Tapi bayangan itu tak akan muncul tanpa cahaya kekuasaan di belakangnya. Kita tidak hanya sedang bicara tentang pelanggaran hukum, melainkan tentang sebuah jaringan kejahatan yang tumbuh dalam simbiosis antara negara dan korporasi. Inilah kejahatan yang telah dijelaskan oleh Kramer dan Michalowski sebagai state-corporate crime. Sebuah kolaborasi yang tidak selalu diam-diam, tapi selalu sistematis.

Negara, dalam konstruksi teori ini tidak hanya membiarkan. Ia menyusun regulasi, menyediakan infrastruktur, bahkan terkesan menutup mata ketika eksploitasi terdeteksi. Di sisi lain, korporasi digital dari operator judi hingga platform pembayaran menjadi simpul dari produksi dan distribusi yang berperan dalam memudahkan arus.

Dan Indonesia? Di konteks ini hadir sebagai pasar: terjerat dalam ilusi. Sepuluh juta pemain aktif. Lima puluh satu triliun uang yang tersedot ke layar. Tak ada paksaan. Tapi semua diarahkan oleh sistem yang memahami kelemahan kita: kemiskinan, frustrasi, dan hasrat untuk sukses tanpa proses.

Inilah wajah baru kejahatan: legal secara prosedural, tapi menghancurkan secara struktural. Ia tidak dibisikkan dalam lorong gelap, tapi diumumkan lewat iklan, disebar lewat media sosial, dan dilanggengkan oleh sistem yang terlalu pragmatis untuk peduli.

Dan seperti semua kejahatan besar dalam sejarah, ia butuh ekosistem yang membiarkan. Dunia yang terlalu letih untuk marah, serta terlalu pelupa untuk bertanya siapa yang sebenarnya menang dan siapa yang sejatinya dirugikan.

Mengokohkan Benteng Kedaulatan

Lalu pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan Indonesia? Pertama, perkuat diplomasi regional. Isu ini tidak cukup ditangani dalam rapat kementerian atau pidato parlemen. Ini harus menjadi agenda ASEAN, sebuah desakan kolektif untuk membentuk kode etik digital lintas batas. Jangan biarkan keuntungan ekonomi satu negara menjadi kutukan moral bagi tetangganya.

Kedua, regulasi digital tak bisa berhenti pada pemblokiran. Judi online hidup dari ekosistem yang lebih luas: dompet digital yang memfasilitasi transaksi, algoritma yang menyebarkan promosi terselubung, dan tenaga kerja ilegal yang menggerakkan operasi lintas negara. Negara harus masuk ke dalam ekosistem ini: mengawasi aliran uang, menekan penyebaran konten, dan membongkar jaringan yang menjadikan kemiskinan dan kesepian sebagai komoditas.

Ketiga, bangun literasi risiko di level akar rumput. Judi online tumbuh dari rasa tidak punya masa depan. Maka masa depan itu harus diciptakan lebih dahulu: pendidikan vokasi, pelatihan usaha, dan lapangan pekerjaan yang mengakomodasi optimisme.

Keempat, libatkan yang paling dekat: keluarga, tokoh agama, karang taruna, dan pemerintah lingkungan setempat. Karena perang ini bukan antara negara dan situs web. Ini perang sunyi antara manusia dan rasa kosong di dalam dirinya.

Pada akhirnya, judi online bukan hanya soal undang-undang atau perjanjian diplomatik. Ia adalah cermin bahwa betapa di balik klik yang sederhana, tersembunyi kompleksitas global: tentang ekonomi yang pincang, hukum yang tertinggal, dan moral yang perlahan menjadi barang mewah di tengah hiruk-pikuk peradaban digital.

*) Penulis adalah Pemerhati Kriminal, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Facebook Comments Box