Oleh: Moch. Fauzan Zarkasi, S.H., M.H.,*
Coba anda bayangkan, seorang ibu sedang memasak di dapur. Anak gadisnya sibuk mengupas bawang. Sang ayah duduk santai di teras, menatap gawai. Dari luar, semua tampak damai. Seperti potongan iklan keluarga bahagia. Tapi siapa sangka, di balik dapur, teras, dan ruang tengah itu, ada pikiran yang tidak pantas. Ada luka yang tersembunyi. Atau lebih buruk lagi: ada fantasi yang mestinya bikin malu, tapi justru disimpan selayaknya harta karun.
Beberapa waktu terkini, media sosial kita tercengang. Sebuah grup Facebook bernama “Fantasi Sedarah” viral. Grup yang berisi unggahan tak pantas: ayah membayangkan anak perempuannya. Kakak berfantasi soal adik sendiri. Mereka tidak bersembunyi. Justru saling menyemangati. Saling memuji. Saling melegitimasi. Saling menormalisasi.
Mereka menyebutnya “cuma fantasi.” Tapi ketika fantasi itu diumbar, dibagikan, dikomentari, dan dibanggakan, masih pantaskah itu disebut cuma?
Jika satu orang menyimpang, itu mungkin penyakit pribadi. Tapi ketika ratusan orang berkumpul, lalu menyemai penyimpangan itu sebagai kesenangan bersama, kita sedang berbicara soal epidemi sosial.
Colt Clan Sampai Rejang Lebong
Fenomena ini memang mengguncang. Tapi dunia juga pernah tercengang oleh kasus Colt Clan di Australia. Sebuah keluarga yang tinggal terpencil di hutan New South Wales, hidup dalam praktik inses lintas generasi. Anak-anak hasil hubungan sedarah tumbuh tanpa identitas ayah yang jelas, dan tanpa tahu bahwa yang mereka alami adalah kekerasan.
Yang paling mencengangkan: semua ini terbongkar setelah bertahun-tahun, saat pihak berwenang menerima laporan dari warga yang mendengar jeritan dari balik semak-semak. Dunia lalu terdiam. Bukan karena keterkejutan, tapi karena kebusukan itu ternyata bisa disembunyikan begitu lama.
Data juga berbicara. Di Amerika Serikat, 34% kasus kekerasan seksual terhadap anak dilakukan oleh anggota keluarga sendiri (Departemen Kehakiman AS, 2020). Di Malaysia, tercatat rata-rata 15 kasus inses dilaporkan tiap bulan. Tahun 2019 bahkan mencapai 300 kasus (Free Malaysia Today, 2021).
Indonesia tak kalah getir. Di Rejang Lebong, seorang kakak menghamili adik kandungnya. Di Halmahera Selatan, seorang ayah menjadikan anaknya budak seks. Di Polewali Mandar, bahkan pernah ada kabar anak lelaki memperkosa ibu kandungnya sendiri. Jika semua ini tak membuat kita gentar, lalu harus sejauh apa kemerosotan itu terjadi baru kita bersuara?
Echo Chamber dan Sekolah Devian
Secara psikologis, ini bisa tergolong parafilia: ketertarikan seksual menyimpang. Tapi menyebutnya gangguan semata tak menyelesaikan akar. Sebab gangguan bukan hanya soal otak. Tapi juga tentang sistem yang gagal melindungi.
Gagal mengawasi ruang digital yang liar. Gagal membekali anak-anak dengan nilai dan batas. Gagal menciptakan rumah yang aman untuk bertumbuh.
Lalu muncullah ekosistem yang lebih beracun dari sekadar penyakit individual. Sosiolog menyebutnya echo chamber. Ruang gema digital tempat orang hanya mendengar pendapat yang mirip dengan dirinya. Di grup-grup seperti itu, penyimpangan tak lagi menimbulkan malu. Justru mendapat pujian. Fantasi menyimpang dipoles jadi kebebasan berekspresi. Dosa dibungkus jadi candaan. Dan ketika disaksikan ribuan orang, perlahan jadi kebiasaan.
Kriminolog Edwin H. Sutherland berbicara tentang teori differential association. Ia bilang, kejahatan adalah hasil belajar. Ketika seseorang bergaul dengan kelompok yang terus-menerus membenarkan perilaku menyimpang, maka penyimpangan itu akan dianggap normal. Grup fantasi sedarah adalah “sekolah informal” dari deviansi. Di sanalah nilai, norma, dan bahkan justifikasi moral yang menyimpang ditanamkan. Pelan-pelan, tapi pasti.
Beradab Dulu, Baru Bicara Emas
Kita pun lalu bertanya, masih adakah Pancasila?
Sila kedua bicara tentang “kemanusiaan yang adil dan beradab.” Tapi kata “beradab” bukanlah ornamen. Ia bukan bunga kata dalam pidato. Ia batas antara manusia dan binatang. Ia pengingat bahwa ada hal-hal yang tidak boleh sekadar dibiarkan.
Ketika masyarakat mulai merayakan inses, ketika orang dewasa berbondong-bondong menyukai unggahan fantasi sedarah, maka kita bukan sekadar krisis moral. Kita sedang kehilangan hati nurani.
Indonesia Emas 2045 bukan hanya soal ekonomi digital dan kecerdasan buatan. Tapi juga tentang anak-anak yang tumbuh di rumah yang utuh. Di dunia maya yang punya pagar. Di lingkungan yang masih tahu malu. Yang bisa berkata, “Tidak semua hal layak dibicarakan. Tidak semua imajinasi layak dirayakan.”
Kita sedang sakit. Tapi banyak dari kita tak merasa. Mungkin karena terbiasa. Mungkin karena menganggap ini bukan urusan kita.
Tapi jika yang salah terus kita diamkan, jika yang menyimpang terus diberi ruang, maka jangan salahkan masa depan jika ia datang dalam bentuk yang kita tak pernah bayangkan.
Karena bangsa yang besar bukan hanya yang kuat ekonominya. Tapi yang mampu menjaga nurani kolektifnya. Yang tahu membatasi diri meski dunia memberi ruang tanpa batas. Yang berani menetapkan batas, bahkan saat kebanyakan memilih membiarkan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang beradab.
*) Penulis adalah Pemerhati Kriminal, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.