Beranda Mimbar Ide Pilkada dan Terusiknya Nasionalisme Kita

Pilkada dan Terusiknya Nasionalisme Kita

0
Ilustrasi

oleh : Restu Tulus Lestari*

Nasionalisme adalah jantung kebangsaan kita. Namun sayangnya, Akhir-akhir ini Nasionalisme menjadi topik yang hangat diperbincangkan oleh masyarakat jelang pemilihan kepala daerah. Bahkan klaim pancasilais, anti pancasilais mewarnai dinding – dinding media sosial kita. bahkan tak jarang, isu nasionalisme ini menjadi jualan politik kandidat tertentu di setiap panggung politik. hal ini menyebabkan perdebatan, bahkan perpecahan ditengah masyarakat. namun pada hakikatnya, perdebatan ini bisa diakhiri jika masyarakat memahami subtansi nasionalisme itu sendiri. olehnya itu, Pertanyaan mendasar yang perlu kita jawab adalah apakah Nasionalisme itu? Mengapa akhir-akhir ini Nasionalisme hangat diperbincangkan oleh masyarakat ?

Secara umum, Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia yang mempunyai tujuan atau cita-cita yang sama dalam mewujudkan kepentingan nasional, dan nasionalisme juga merupakan rasa ingin mempertahankan negaranya, baik dari internal maupun eksternal.

Sebagai bangsa dengan masyarakat yang Plural, tentu untuk membentuk rasa Nasionalisme bukanlah perkara yang mudah, Tidak terkecuali di Indonesia. Banyaknya suku bangsa tentu menjadi salah satu faktor yang mampu menghambat upaya pembentukan serta penanaman paham Nasionalisme ini. Namun degan segala upaya Soekarno sebagai bapak Proklamator bangsa Indonesia, mampu menepis dan menyelesaikan masalah terssebut. Dengan kepala dingin beliau mampu mencarikan solusi untuk menyatukan masyarakat yang plural ini. Ketika bung Karno ditanya oleh bung Hatta mengenai dasar apa yang hendak bung Karno gunakan sebagai alat untuk mempersatukan seluruh suku bangsa yang ada serta menanamkan paham nasionalisme ini, dengan penuh keyakinan bung Karno mengatakan bahwa akan menyatukan suku-suku bangsa yang ada dengan dasar rasa senasib sebagai bangsa yang terjajajah. Nasionalisme ini yang kelak terjewantahkan dalam konsep Berdikari. Dalam sidang umum IV MPRS, tahun 1966 bung Karno memberi makna tentang Berdikari, yaitu:

“…bahwa berdikari tidak berarti mengurangi melainkan memperluas kerja sama internasional, terutama antara semua negara yang baru merdeka. Yang ditolak oleh berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kepada kerja sama yang sederajat dan saling mnguntungkan. Berdikari bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip dari cara kita mencapai tujuan itu, prinsip untuk melaksanakan pembangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada negara atau bangsa lain. Adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak berarti kita tidk mau kerja sama berdasarkan sama derajat dan saling menguntungkan.”

Sehingga jelas nasionalisme ala bung Karno sangat berbeda dengan karakter nasionalisme Eropa, yang dalam salah satu artikelnya yang berjudul ‘Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme’ (1926), bung Karno menjelaskan bahwa :

“Nasionalisme Eropa ialah suatu nasionalisme yang bersifat menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasinalisme perdagangan yang untung atau rugi, nasionalisme semacam itu akhirnya akan binasa,”

Bila kita lihat lebih dalam bahwa makna dari nasionalisme Indonesia adalah Nasionalisme yang berpihak pada kepentingan rakyat, juga Nasionalisme yang terbentuk oleh kesadaran masyarakat Indonesia itu sendiri, serta merupakan nasionalisme anti penjajahan baik secara internal maupun eksternal karena melihat kondisi bangsa Indonesia pada saat itu masih merupakan bangsa yang terjajah.

Rasa-rasanya pembahasan mengenai Nasionalisme ini sudah terselesaikan berkaitan dengan penjelasan serta pemaknaannya. Namun seperti yang kami tuliskan di atas bahwa Nasionalisme kembali hangat diperbincangkan oleh masyarakat di Indonesia, dan masalah sentral dari lahirnya kembali pembahasan tentang Nasionalisme disebabkan oleh masalah Pilkada Jakarta yang coba dibenturkan dengan isu pluralitas. Sehingga rasa Nasionalis yang sudah terbangun digoyahkan kembali melalui isu-isu SARA. Tentunya ini sangat mempengaruhi stabilitas Nasional, yang mana pertarungan Politik untuk menjadi kepala daerah dilakukan dengan segala cara termasuk sekat Ras juga Agama. Parahnya lagi Pertarungan politik yang konyol ini terjadi di Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjadi kiblat Pemerintahan serta pusat pemberitaan media.

Semestinya, Pemerintah pusat sebgai lembaga tertinggi Eksekutif berkoordinasi dengan lembaga Legislatif maupun Yudikatif mampu menengahi serta memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang hakikat kehidupan bernegara, tentu atas dasar nasionalisme.

Namun yang terjadi adalah sebaliknya, pemerintah sebagai penyebar Hoax terbaik turut meramaikan perdebatan panjang ini. istilah penyebar hoax terbaik ini di perkenalkan Rocky Gerung, Akademisi Universitas Indonesia yang dijelaskan salah satu acara TV Nasional. menurutnya pemerintah dengan berbagai infrastruktur harusnya mencerdaskan masyarakat, bukan menggunakannya untuk menyebarkan hoax. Beberapa perdebatan dan cap anti Nasionalisme untuk kelompok ormas tertentu membuat konflik semakin meruncing. negara dengan kuasanya langsung membubarkan tanpa proses peradilan dan menjelaskannya kepublik. hal ini memperkeruh keadaan. dominasi kekuatan “partai penguasa” dalam mengontrol pemerintahan menjadi salah satu penyebabnya. dimana kehendannya lebih pada membesarkan partai politiknya. hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh karl Marx bahwa :

“Negara tidak mengabdi kepada kepentingan seluruh masyarakat, melainkan hanya melayani kepentingan klas-klas social terntu saja, menjadi alat suatu klas dominan untuk mempertahankan kedudukan mereka (Magnis-Suseno, 1991;259).”

Negara yang dimaksud di sini adalah oknum pemerintah yang terlibat dalam mengurus negara. Di Indonesia tentunya ini sangat relevan dengan apa yang terjadi dewasa ini. Kemudian diperkuat lagi oleh pernyataan Megawati Soekarno Putri ketua umum PDI-P dalam pidatonya mengatakan bahwa “Jokowi (Presiden RI) adalah petugas Partai”,

Ini tentu mengindikasikan bahwa sistem perpolitikan di Indonesia masih bersifat Feodalistik. Yang mana pemerintah seharusnya memperhatikan kesejahteraan rakyat malah harus memenuhi keinginan partainya terlebih dahulu. Lagi-lagi ini semua akan mempengaruhi sifat Nasionalisme masyarakat dan akan lebih mementingan ego kelompok atau bahkan ego kedaerahan,Yang menjadi ketakutan penulis bahwa jangan sampai kasus yang terjadi di Jakarta terulang di Sulawesi Selatan, sebab dalam waktu dekat akan dilaksanakan proses pemlihan kepala daerah. Karena bila kita lihat lebih jauh bahwa pertarungan yang terjadi di Jakarta memberikan efek yang sangat signifikan pada pemilihan-pemilihan kepala daerah di daerah lain. Lebih-lebih kepada kader-kader partai politik yang akan bertarung dalam Pilkada yang memiliki latar belakang partai yang sama dengan petarung di Pilkada Jakarta.

Sehingga penting kiranya untuk menjaga stabilitas nasional termasuk daerah dengan tidak menjadikan sekat golonngan dan mengorbankan nasionalisme untuk menyerang lawan politik dan menjadi pemenang dalam pertarungan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Karena semestinya menjadi pemimpin adalah karena untuk mengabdi kepada masyarakat bukan malah menyensarakan masyarakat.

*)Penulis adalah mahasiswa Sastra Indonesia Univeristas Hasanuddin

Facebook Comments